Wednesday, January 30, 2008

Menghayati Peran Komunitas

Akhirnya pesta itu usai. Sebuah pesta sastra yang melibatkan sekitar 500 orang peserta. Mereka adalah sastrawan (penyair, esais, cerpenis, dan kritikus) bersama para penggemar sastra dan guru bahasa Indonesia. Meningkatkan Peran Komunitas Sastra Sebagai Basis Perkembangan Sastra Indonesia”, demikian tema yang digelar. Sepanjang tiga hari kegiatan berlangsung demikian padat di gedung DPRD Kudus. Sungguh sayang bila dilewatkan begitu saja.

Kongres yang diselenggarakan oleh Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di hari pertama, 19 Januari 2008, memang untuk kepentingan internal. Acara itu merupakan suksesi tiga tahunan, namun baru kali ini diadakan secara besar-besaran. Terpilih sebagai Ketua KSI periode 2008-2011 adalah Ahmadun Yosi Herfanda yang sehari-hari bekerja sebagai redaksi budaya harian Republika di Jakarta. Ia menggantikan Iwan Gunadi, ketua yang telah memberikan sedikit warna pada model organisasi. Selanjutnya, KSI akan menyiapkan struktur yang terlepas dari yayasan agar dapat bergerak lebih leluasa dan berkembang secara profesional. Kongres telah menghasilkan rekomendasi yang berisi sikap kritis dan kreatif terhadap kondisi politik, sosial, dan budaya akhir-akhir ini. Rekomendasi tersebut dibacakan oleh Diah Hadaning pada malam berikutnya seusai serah terima jabatan.

Pada malam pertama, panggung diisi dengan penampilan Sujiwo Tejo, Sutardji Calzoum Bachri, dan Mustofa Bisri (Gus Mus). Peserta dari lokal begitu bahagia mendapatkan kesempatan menonton seniman yang selama ini mereka kagumi. Penampilan Fatin Hamama, anggota KSI yang membuka cabang di Kairo, sangat memukau Thomas Budi Santoso, penyair sekaligus pejabat di PT. Djarum. Perusahaan rokok itulah, melalui program Djarum Bakti Pendidikan, yang menjadi sponsor kegiatan.

Pada hari kedua, 20 Januari 2008, sejak pagi hingga menjelang maghrib, digelar 4 sesi seminar dengan tema yang berbeda. Kesempatan pertama digunakan untuk melirik sastra lokal yang berkembang di Indonesia. Dengan tema “{Perayaan Komunitas Sastra di Daerah”. menampilkan pembicara Idris Pasaribu untuk menyampaikan sastra yang tumbuh di Sumatera. Mukti Sutarman SP, sastrawan dari Kudus, membahas pertumbuhan sastra di Jawa Tengah. Untuk daerah Kalimantan, diwakili oleh Micky Hidayat. Seperti yang pernah dibahas dalam kongres cerpen di Pekanbaru tiga tahun silam, potensi sastra daerah patut dijaga dan dikembangkan sebagai aset budaya yang memperkaya khazanah kesusastraan tradisional Indonesia.

Sesi kedua menyoroti komunitas sastra sebagai basis ideologi kesusastraan. Sebagai pembicara, Dendy Sugono dari Pusat Bahasa, Aji Suyitno dari Lemhanas, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Shiho Sawai sebagai pengamat sastra komunitas. Shiho adalah mahasiswa dari Jepang yang sedang melakukan riset dan kuliah di tingkat doktoral Sastra Indonesia Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Menurut Dendy, saat ini, sastrawan harus memiliki kemampuan yang kompetitif, selain cerdas dan kreatif. Ahmadun berpendapat, bahwa dalam sebuah komunitas, anggotanya tidak selalu berkarya dengan ideologi yang sama. Sangat menarik kesimpulan Shiho Sawai tentang komunitas. “Komunitas yang anggotanya menganut satu ideologi dan berkarya secara seragam hanyalah mitos.” Kenyataannnya memang demikian, bahwa para penyair ataupun cerpenis yang tergabung dalam satu komunitas tidak serta-merta memiliki pandangan yang sama dalam menulis.

Korrie Layun Rampan dan Maman Mahayana (semestinya bersama dengan Budi Darma, namun berhalangan) membicarakan tentang estetika dalam sastra komunitas. Masing-masing menyampaikan semacam kritik terhadap beberapa penghargaan sastra yang dianggap tidak mewakili kualitas. Dalam kesempatan itu, Maman Mahayana menyayangkan praktik pemilihan buku terbaik dalam anugerah sastra Khatulistiwa Literary Award karena proses penjuriannya sangat aneh. Korrie menyampaikan menyampaikan keprihatian adanya sejumlah sastrawan lokal dengan pencapaian karya yang baik secara makna maupun estetika, tapi tidak mendapat kesempatan untuk menonjol misalnya melalui kegiatan sastra yang berskala nasional. Mereka adalah mutiara tersembunyi yang harus dilibatkan agar potensinya muncul.

Pada sesi terakhir, bertema “Sastra sebagai Kebutuhan Pembaca”, menampilkan pembicara Habibirrahman El-Shirazy dan Saut Situmorang (sementara Arswendo Atmowiloto tak dapat hadir). Keduanya berangkat dari titik tolak yang berbeda. Kang Abik (panggilan Habiburrahman) menulis novel Ayat-Ayat Cinta dengan membayangkan dirinya sebagai pembaca yang harus menyukai bacaannya. Mungkin resep itulah yang membuat buku itu sampai naik cetak 29 kali dan kini telah beredar sebanyak 400.000 eksemplar. Best seller untuk Asia Tenggara! 

Saut Situmorang menganggap seseorang yang baru menulis sekali dan dimuat di media massa, tidak layak disebut sebagai penyair atau cerpenis. Tidak semudah itu menjadi sastrawan, apalagi jika tidak mendalami atau memahami teori sastra. Menanggapi pertanyaan peserta tentang masyarakat Indonesia yang malas membaca, Saut berpendapat bahwa ada perbedaan kultur yang melatarbelakangi hal itu. Perbandingan, menurutnya, harus sesuai dengan konteks.

Malam kedua, sejumlah penyair membacakan puisi mereka. Fikar W. Eda, Wijang Warek, Arsyad Indradi, Gunoto Saparie, dan Jose Rizal Manua. Penyair Solo, Sosiawan Leak, memukau dengan puisi “Dunia Bogam Bola”. Malam itu Thomas Budi Santoso juga naik ke panggung. Para peserta acara mendapatkan 3 buku yang diluncurkan pada pesta sastra itu: (1) Tesaurus Bahasa Indonesia susunan Eko Endarmoko, (2) Komunitas Sastra Indonesia, Catatan Perjalanan, dan antologi puisi yang berbagi dua penyair: (3) Nyanyian Sepasang Daun Waru dan Dunia Bogam Bola.

Di pengujung acara, pada hari ketiga, seluruh peserta diajak wisata budaya oleh panitia. Mula-mula seluruh rombongan dibawa ke pabrik rokok Djarum Kudus. Di sana, di depan buruh pabrik, beberapa penyair di antaranya Chavchay Syaifullah dan Saut Situmorang, membaca puisi. Setelah itu, rombongan dibawa ke Menara Kudus dan Museum Kretek. Menjelang tengah hari, rombongan mampir ke pusat jenang Kudus untuk memberi kesempatan membeli oleh-oleh.

  Ya, akhirnya pesta sastra itu selesai. Pertemuan yang telah memberi kesempatan silaturahmi para sastrawan dari berbagai daerah. Acara yang dihadiri oleh para wartawan, penerbit, dan para wakil komunitas itu memberi kesan mendalam. Dalam pesta itu pula para peserta disuguhi menu khas Kudus, misalnya lenthok (sejenis kupat tahu dengan kuah bersantan), asem-asem daging , juga soto Kudus tentu saja.

“Tunggu kegiatan kami berikutnya,” kata Wowok Hesti Prabowo sebagai Ketua Panitia. “Kami akan menyelenggarakan pertemuan penulis internasional dan KSI Award.”   Sebagai komunitas yang telah berusia 11 tahun (sejak September 1996), sudah waktunya untuk memberikan sumbangan terhadap kemajuan sastra Indonesia juga dunia.

(Kurnia Effendi)

 

Menara Kudus

Salah satu obyek wisata di kota Kudus sekaligus tujuan para peziarah, adalah Menara Kudus. Tepatnya masjid Menara Kudus. Beberapa kalangan menyebutnya sebagai masjid Al Aqsa atau masjid Al Manar. Menurut riwayat, masjid itu dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi atau tahun 956 Hijriah. Batu pertamanya berasal dari Baitul Maqdis di Palestina, yang ditanam di desa Kauman, kecamatan Kota, kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Di balik masjid yang telah dipugar dan dikembangkan arsitekturnya itulah terdapat makam Sunan Kudus.

Untuk kedua kalinya saya berkunjung ke tempat itu. Kali ini bersama seorang sahabat, Gangsar Sukrisno, dari Bentang Pustaka Yogya. Jalan menuju ke sana tidak terlalu lebar. Lima ratus meter menjelang Menara Kudus, yang menempati kawasan perempatan padat itu, terasa eksotik. Persis di tepi jalan, bangunan berbentuk unik serupa candi namun tersusun dari batu bata merah, berdiri megah setinggi 18 meter. Tampak perpaduan unik antara budaya Islam dengan budaya Hindu Majapahit.

“Bata demi bata itu disusun tanpa semen,” ujar Lisa Karlina, pemandu cantik yang mengantar kami ke dalam lingkungan masjid.

“Bagaimana bisa tertata rapi dan tak berlepasan hingga hari ini?”

“Ditempel dengan putih telur,” Lisa menjelaskan dengan senyum manis terkulum.

Ajaib! Berapa kwintal telur ayam dibutuhkan untuk itu? Tapi memang selalu ada cerita seru dan luar biasa di balik petilasan yang awet hingga abad sekarang. Seperti halnya sejarah Joko Tingkir di kawasan Demak. Kedung Srengenge di Sungai Lusi benar-benar ada, berupa palung yang mengandung pusaran air. Konon di sungai itu sang pendekar menyeberang dengan jembatan berupa 40 punggung buaya.

Seperti halnya Demak, Kudus juga patut disebut kota wali. Bahkan ada dua sunan. Sunan Kudus (yang bernama asli Ja’far Shodiq) dan Sunan Muria. Terik matahari dan cuaca panas yang menyengat kota Kudus tidak mengurangi minat para penziarah untuk datang ke tempat peristirahatan terakhir Sunan Kudus. Termasuk saya yang tak hendak melewatkan kesempatan untuk melihat kegiatan yang berlangsung di dalam sana.

Komplek permakaman di belakang masjid itu ramai oleh orang-orang yang berdoa mencari berkah. Terlepas dari tuah-tuah itu, memanjatkan doa untuk sang leluhur memang sangat dianjurkan. Lantai bersih mengilat di sekeliling makam utama. Kelambu dan kain luwur masih berwarna putih bersih.

“Setiap tanggal 10 Syuro, kain luwur itu diganti. Kain yang lama biasanya menjadui rebutan karena dipercaya mendatangkan rizki bila disimpan.” Lisa kembali menjelaskan.

Suara orang-orang, lelaki perempuan, juga anak-anak, melafalkan ayat-ayat Al-Quran dengan khusyuk. Saya melepas sandal sejak dari gerbang permakaman, mengelilingi makam utama untuk mengambil gambar suasana. Tidak ada larangan  memotret. Penggunaan pengeras suara memang tidak boleh. Jadi, suara yang berdengung membaca doa itu merupakan suara orisinal para pengunjung yang bersimpuh di lantai. Di sekitarnya tampak sejumlah makam para pangeran keturunan Sunan Kudus.

Saya tak berlama-lama di dalam, karena masih akan membagi waktu untuk berkunjung ke tempat lain sebelum meninggalkan kota Kudus yang juga terkenal dengan jenang dan rokok kreteknya. Sebelum benar-benar pergi, kembali saya melihat-lihat menara dan masjid. Di beranda masjid tampak sebuah pintu yang terbuat dari kayu jati berukir, namun tertutup rapat.

“Bapak punya jabatan, nggak?” tanya Lisa begitu melihat saya tertarik hendak naik ke lantai masjid.

“Kenapa?”

“Jika bapak melewati pintu itu akan lengser,” ujarnya serius, tapi tetap dengan rona muka yang sumringah. Ah, lesung pipinya itu!

“Saya hanya karyawan kecil saja, jangan-jangan malah naik pangkat kalau masuk lewat pintu itu.” Saya menanggapi dengan bercanda. “Lalu para bupati atau gubernur kalau mau salat lewat mana?”

“Ada jalan lain, bisa dari samping.”

Sebenarnya, menara bata merah itu memang agak aneh berdiri di sisi masjid yang memiliki sepasang menara langsing menjulang. Tetapi dahulu kala tentu ada maksud Sunan saat membangunnya di atas dasar 100 meter persegi. Elemen bangunan bergaya Jawa-Hindu, mulai dari struktur sampai motifnya. Terdapat pula selasar yang disebut pradaksinapatta pada kaki menara yang umumnya menjadi ciri khas candi.

Bagian kepala menara berbentuk bangunan beratap dua lapis tajuk dengan konstruksi kayu jati yang ditopang empat saka guru. Di puncaknya terdapat semacam mustaka (kepala) mirip atap tumpang pada masjid-masjid tradisional Jawa. GH Pijper dalam buku The Minaret in Java (1947) menilai ada unsur struktur bangunan Hindu Jawa pada menara itu. Bahkan dianggap ada kesamaan dengan kuil-kuil atau pura Bali oleh AJ Bernet Kempers (1953). Fungsi dari menara itu, menurut penelitian Pijper, adalah untuk tempat mengumandangkan azan.

Ahli purbakala NJ Krom sebaliknya menyebutkan bahwa Menara Kudus bukan bangunan candi walaupun bercorak seperti candi, karena dibangun pada zaman maraknya Islam di Jawa. Memang pada ragam hiasnya tidak menunjukkan adanya corak penggambaran makhluk hidup.

Beduk dan kentongan diletakkan di pendopo di bagian kepala menara. Ini terasa sangat unik dan bahkan tak lazim. Umumnya beduk berdiri di pendopo masjid agar mudah dijangkau untuk dipukul saat masuk waktu salat. Hal unik lain pada kompleks masjid itu terdapat pada ruang wudu yang juga disusun dari bata merah. Pancurannya berbentuk kepala arca berjumlah delapan buah. Bukankah itu dekat dengan falsafah Buddha? Asta Sanghika Marga (delapan jalan utama) yang merujuk pada: pengetahuan, keputusan, perbuatan, cara hidup, daya, usaha, meditasi, dan komplementasi.

Di Kudus, sampai kini, lebih umum daging kerbau untuk dikonsumsi dibanding sapi. Rupanya hal itu pun dipengaruhi oleh tradisi Hindu yang mengagungkan binatang sapi. Walaupun kini muslim sudah dominan, masih ada yang menolak penyembelihan sapi yang konon merupakan warisan Sunan pencipta gendhing ”Mijil” dan ”Maskumambang” itu.

Tak terasa kami telah melewatkan lebih dari satu jam di kawasan Menara Kudus. Siang yang kering membuat suhu panas itu menyengat kulit. Kami pun pamit pada Lisa, mantan Duta Wisata 2004 yang tetap memilih Kudus sebagai tempat tinggal dan bekerja.

 

 

Wednesday, January 23, 2008

Menginap di Roemahkoe

Aduh, kenapa saya tak berhasil mengingat, kapan saya menginap di Roemahkoe? Rasanya pada paruh akhir tahun 2004 atau pertengahan 2005. Sebuah cita-cita yang akhirnya tercapai sejak melihatnya pertama kali saat makan malam di sana. Ya, itu sebuah restoran. Tetapi juga sebuah penginapan. Sebuah hotel butik dengan hanya 13 kamar bernuansa “tempo doeloe”.

Mari saya ceritakan awalnya.

Ketika saya melakukan tugas kantor ke Solo, saya menginap di Hotel Lor In. Seperti biasa, saya selalu ingin mencoba makanan baru atau tempat makan baru. Seorang teman di Solo mengusulkan melalui sms: “Bagaimana kalau makan malam di rumahku?”

Saya sempat bingung. Apakah di rumahnya ada acara hajatan? Namun ketika ia datang ke hotel tempat saya menginap, ia menjelaskan: “Ada sebuah restoran namanya Rumahku. Kepunyaan Pak Akbar Tanjung.” Oh!

Sesampai di sana, ternyata bangunan yang kami tuju adalah sebuah rumah kuno di kawasan Laweyan, tempat industri rumahan batik Solo. Tempat parkirnya mungkin hanya dapat menampung sekitar 10 mobil, terlindung dinding, dengan dua akses: gerbang masuk dan gerbang keluar yang terbuat dari kayu jati kokoh. Dan ternyata nama restoran itu ditulis dengan ejaan lama: Roemahkoe. Di belakangnya tertera Bed and Breakfast. Tempat apa sebenarnya ini?

Kami memilih serambi belakang sebagai tempat duduk untuk makan. Ada suara organ tunggal dengan vokal merdu penyanyi perempuan sedang menyenandungkan lagu jazz. Kami duduk dan membuka menu. Seperti disesuaikan dengan model bangunannya, menu yang tertera juga jenis masakan rumahan Solo. Mi Jawa salah satunya. Ada juga sayur lodeh tapi tentu tak cocok disantap malam. Saya pun memesan wedang ronde.

“Ini juga sebuah penginapan. Kapan-kapan menginaplah di sini,” kata teman saya. “Kita bisa melihat kamar-kamarnya.”

Pramusaji yang mendengar percakapan kami membenarkan, bahkan bereaksi sebagai seorang marketing. “Mari saya antar melihat kamarnya.”

Ia pu bergegas mengambil kunci, lalu mengajak kami ke sebuah pintu kamar di seberang tempat kami makan. “Ini kamar tipe royal suite.”

Saya mendapati kamar dengan lantai kayu parket, sebuah ranjang kayu jati masa lalu, meja rias dan toilet yang sebagian menggunakan bahan gerabah. Saya bagai berada di sebuah kamar zaman Mataram. Penerangan memang menggunakan cahaya listrik tetapi ornamen di kamar itu masih mempertahankan gaya orisinal arsitek Jawa kuno yang sangat terpengaruh Belanda.

Kamar tipe yang lain juga ditunjukkan. Deretan kamar itu terletak di lingkar luar bangunan utama, berantara taman terbuka, ada teras yang ditempati sepasang kursi kayu dan rotan di depan kamar. Posisi deretan kamar itu membentuk huruf U, di sisi kanan dan kiri masing-masing ada empat atau lima kamar, di sisi belakang ada tiga atau empat kamar yang ditengahi sebuah ruang gamelan.

Saya mengambil brosur dan malam itu juga berjanji dalam hati akan menginap di Roemahkoe pada kesempatan tugas ke Solo berikutnya.

“Benar ini milik Pak Akbar Tanjung, mantan Menteri dan Ketua DPR itu?”

“Persisnya rumah ibunya Nina Tanjung. Juragan batik yang sukses di masa lalu. Kamar-kamar itu asli seperti awalnya, hanya dulu digunakan untuk membatik. Biasanya terdiri dari beberapa grup.”

Demikianlah, kesempatan itu benar-benar datang. Saya kembali bertugas ke Solo karena harus ikut site-meeting proyek pembangunan showroom Suzuki di Klaten. Saya minta kepada kepala cabang dealer di Solo untuk mengantar check ini di Roemahkoe. Saat itu, saya ingat, makan malamnya justru di lesehan nasi liwet Wongso Lemu.

Sepulang makan saya sempat ngobrol dengan sahabat yang malam itu singgah ke penginapan. Menjelang pukul 22, setelah teman saya pamit, saya beranjak ke kamar untuk mulai menikmati suasana masa lalu yang “dijanjikan” oleh brosurnya. Mudah-mudahan bukan justru hal-hal yang akan mengembangkan bulu roma, karena suasananya sungguh sunyi.

Saya masih membaca buku sambil berbaring ketika telepon kamar berdering.  Suara resepsionis laki-laki menanyakan pilihan sarapan untuk besok pagi. Saya memilih mi rebus dan telur setengah matang. Lalu percakapan berkembang sampai akhirnya dia tahu saya seorang alumnus desain interior dan penggemar buku. “Wah, kebetulan ada buku interior tentang Roemahkoe, disusun oleh Bu Nina Tanjung sendiri. Mau lihat?"

Saya tak jadi mengantuk, meninggalkan kamar menuju ruang tamu yang luas. Ketika saya sedang melihat-lihat buku itu, seraya bercerita bahwa saya juga seorang penulis, terlihat seorang perempuan cantik yang cukup familiar sedang berbincang dengan dua laki-laki di meja bundar sudut. Tanpa saya bertanya, resepsionis mengatakan: “Itu Bu Nina bersama tamunya.”

Kira-kira setengah ja kemudian, tamu Bu Nina Tanjung pamit, resepsionis memperkenalkan saya. “Bu Nina, ini tamu kita, seorang penulis juga.”

Di situlah, saya mencatat sebuah malam yang sangat berkesan. Tak pernah mengira akan berjumpa tuan rumah yang ramah. Nina Tanjung tak hanya bicara dengan hangat, melainkan juga memberi hadiah kepada saya sebuah buku memoar tentang Akbar Tanjung, suaminya. Saya mengucapkan terima kasih dan berjanji menukarnya dengan buku saya. “Bapa ke mana, Bu?”

“Tadi dia keluar sama temannya, rasanya ke Yogya. Pasti pulang lewat tengah malam.”

Seingat saya, perbincangan kami berlangsung sampai penyanyi dan pemain organ tunggal mengemasi alat musiknya, meninggalkan Roemahkoe. Dan seingat saya, sebelum check out pada pagi harinya, saya memotret seluruh bagian dari Roemahkoe, termasuk detail kacapatri yang banyak menghiasi dinding-dinding pemisah, juga daun pintu dan jendela. Seingat saya pula, setelah tiba di Jakarta, saya mengirimkan buku Bercinta di Bawah Bulan kepada Bu Nina. Saya masih menyimpan suratnya yang berharap saya menginap kembali di Roemahkoe, ditandatangani pribadi dan ada catatan: bukunya bagus, gaya bahasanya indah. Tentu saya tersanjung oleh pujian Nina Tanjung.

Kini saya tahu, rumah bergaya paduan art deco dan arsitektur Jawa itu didirikan oleh Ny. Poespo Soemarto, saudagar batik, pada tahun 1938 di Jalan Dr Radjiman 501, Solo, Jawa Tengah. Kini telah menjadi milik kakak-beradik Ny Minul Haryanto dan Ny Krisnina Maharani Tandjung. Tampaknya, suatu saat, saya akan kembali menginap disana untuk menulis buku. Dan kembali berbincang dengan Bu Nina yang cantik itu.

(Kurnia Effendi)

 

Friday, January 11, 2008

Buku Terbaik Versi KLA

Untuk yang ketujuh kalinya, sejak 2001, Khatulistiwa Literary Award (KLA) menyelenggarakan anugerah buku sastra tahunan, di pengujung 2007 ini. Buku-buku yang dinilai terbagi atas prosa dan puisi, dihitung sejak Juni 2006 sampai dengan Mei 2007. Untuk tahun ini, hadiah ditambah untuk kategori peserta muda dengan buku pertama mereka.

Demikianlah, pada bulan Oktober 2007 telah terpilih 10 kandidat dengan istilah Long List. Menjelang akhir November dari 10 diperas menjadi 5 kandidat (short list) untuk prosa dan puisi, tetapi bagi pengarang dengan buku pertama (di antaranya Happy Salma dengan kumpulan cerpen Pulang) tetap bertahan 10 kandidat. Penobatan pemenang utama untuk ketiga kategori akan diumumkan pada 18 Januari 2008 di atrium Plaza Senayan, sekaligus penyerahan hadiah sebesar masing-masing 100 juta rupiah, dan 50 juta rupiah untuk kategori buku pertama.

Anugerah sastra KLA ini, meski selalu menerbitkan pro kontra, tetap ditunggu-tunggu oleh para sastrawan (cerpenis, novelis, dan penyair). Bahkan ada kecenderungan para pengarang untuk menjadwalkan bukunya agar terbit sebelum bulan Mei agar dapat “berlaga” dalam kompetisi KLA di tahun yang sama. Hadiah sastra berupa uang seratus juta rupiah memang langka di Indonesia. Richard Oh sebagai penggagas tradisi ini patut mendapat dukungan. Keunikan KLA terdapat pada cara penilaiannya.

Rasanya pembaca sudah tahu, bahwa untuk menjadi peserta kompetisi KLA, para penerbit harus mendaftarkan buku-buku yang diandalkan kepada panitia. Jika penerbitnya alpa, atau buku yang diterbitkan secara indie, biasanya sang pengarang mengajukan sendiri sebagai peserta. Panitia dan Koordinator Dewan Juri akan memilih sejumlah juri (dibagi menjadi 3 tahap) sebagai pembaca pertama dari berapa pun buku yang terdaftar atau yang diusulkan oleh juri untuk mendapatkan 10 calon pemenang. Mengapa unik? Pemilihan juri demikian rahasia, sehingga antara juri yang satu dengan yang lain tidak saling tahu. Mungkin saja mereka sebenarnya saling mengenal dan karib, tetapi masing-masing diminta untuk tutup mulut dengan tugasnya itu.

Dari sepuluh menjadi lima pun ditunjuk sejumlah juri berbeda yang tidak saling mengetahui. Setelah lima besar, memasuki babak ketiga, dipilih kembali sejumlah juri yang berbeda, untuk menyusun rank (urutan). Posisi pertama dengan nilai akumulasi tertinggi adalah sang pemenang. Untuk tabulasi dan pengesahan nilai ditangani oleh lembaga independent yang terpercaya kerahasiaannya.

Juri yang terdiri dari sastrawan (yang bukunya tidak ikut serta dalam kompetisi), book reviewer, dosen sastra, kritikus, redaksi budaya, dan lain-lain, kadang-kadang turut tercengang mengetahui hasil akhirnya. Boleh jadi selalu ada khaos dalam penilaian tersebut, namun nyatanya tak pernah berubah sistemnya sejak awal penyelenggaraan. Akhirnya toh kita terima saja para juara itu, antara lain Goenawan Mohamad dengan Sajak-Sajak Lengkap-nya (2001), Remy Sylado dengan novel Kerudung Merah Kirmizi (2002), Hamsad Rangkuti dengan kumpulan cerpen Bibir dalam Pispot (2003). Pada 2004 terdapat  3 pemenang (Seno Gumira Ajidarma, Linda Christanty, dan Sapardi Djoko Damono). Joko Pinurbo (untuk antologi puisi Kekasihku) dan kembali Seno Gumira Ajidarma (untuk novel Kitab Omong Kosong) memenangkan anugerah KLA 2005. Kumpulan cerpen Mandi Api karya Gde Aryantha Soetama dan antologi puisi Santa Rosa karya Dorothea Rosa Herliany meraih anugerah KLA 2006. Kita tunggu siapa yang akan menggapai puncak di tahun 2007 ini?

Untuk prosa, di sana ada Andrea Hirata (Edensor), Gus tf (Perantau), Cok Sawitri (Janda dar Jirah), Seno Gumira Ajidarma (Linguae), dan Dianing Widya Yudhistira (Sintren). Untuk puisi, Soni Farid Maulana (Angsana), Acep Zamzam Noor (Menjadi Penyair Lagi), Zen Hae (Paus Merah Jambu), M. Fadjroel Rachman (Dongeng untuk Poppy), dan Joko Pinurbo (Kepada Cium).

Saya bukan dewan juri, oleh karena itu sangat bebas mencari calon pemenang berdasarkan selera. Memang, penilaian paling tanpa beban tentu berdasarkan citarasa pribadi. Untuk puisi saya memilih Menjadi Penyair Lagi dan Dongeng untuk Poppy. Jika ditimbang keduanya demikian kontras dalam cara ungkap maupun penjelajahan proses kreatifnya. Acep Zamzam seolah-olah menggunakan batinnya dalam menggoreskan pena. Sekalipun berdarah-darah, “luka”-nya tampak bening dan dalam. Sementara Fadjroel Rachman menulis puisi-puisinya bagai merancang sebuah konstruksi, dengan sepenuh pikiran. Luka yang ditunjukkan arang-keranjang. Untuk kedua buku itu saya memperoleh suasana dan rasa hanyut yang tak pura-pura. Ada kenikmatan ketika membacanya lalu mengulanginya, dan kadang-kadang menemukan tafsir baru yang membuat terperangah.

Dalam prosa, masing-masing buku memiliki latar dan gaya yang berbeda. Edensor merupakan bagian ketiga dari novel tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Berbeda dengan Laskar Pelangi yang sarat muatan persahabatan dan petualangan, Edensor lebih mirip kisah perjalanan sang backpacker ke Eropa. Dengan gaya bercerita yang segar, Andrea membawa pembaca pada pengalaman yang lucu sekaligus mengharukan. Untuk memperkuat memoarnya, buku itu bahkan dilengkapi dengan foto-foto. Kehadiran ilustrasi berupa foto membuat novel itu menjadi diary atau oleh-oleh dari bepergian.

            Dianing Widya Yudhistira lahir dan dibesarkan di Batang, Jawa Tengah. Sebuah kota, seperti juga Slawi dan Banyumas, yang memiliki kesenian tradisional Sintren. Dalam novel Sintren, Dianing mencoba mengangkat tarian magis itu dalam kisah cinta segitiga. Di sana, seperti umumnya cerita lokal pedesaan, ada persaingan antar-tetangga yang memperebutkan simpati seorang juragan. Terlepas dari cerita cinta yang tumbuh sejak usia sekolah dasar, pengarang memang ingin melestarikan Sintren sebagai seni tari tradisional yang menggunakan jin, yang kini semakin terpinggirkan oleh modernitas dan agama. Eksotisme lokal menjadi kekuatan novel ini.

            Linguae, kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma, secara teknis bercerita tak diragukan lagi. Bagaimanapun Seno adalah cerpenis paling terampil. Gabungan antara gagasan dan kemampuan teknis, membuat cerpen-cerpen Seno enak dibaca. Meskipun belakangan seperti sering memaksakan diri, sehingga tampak segala yang singgah di kepalanya (peristiwa atau berita) dapat diolah menjadi cerita pendek. Kali ini, ia ingin menyampaikan betapa pentingnya lidah bagi manusia.

Gus tf dengan kumpulan cerpen Perantau, sedikit berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Antologi ini terkesan berat karena ada proses berpikir yang mungkin kelewat serius saat menulis. Seperti juga dalam menulis puisi, Gus tf tidak semata menggelincirkan ide atau inspirasi secara alamiah. Ada upaya untuk memasang cadar agar kisah tidak terlalu transparan dan kelihatannya berharap para pembaca turut menjadi pencerna yang tak sambil lalu. Kesengajaan atau bukan, Gus tf patut kita hargai. Perubahan atau perkembangan bagi seorang pengarang adalah kemajuan untuk tidak statis dalam berekspresi. Sebagai pengarang Payakumbuh, sesungguhnya Gus tf telah berhasil memadukan gaya antara tradisi Minang dan sastra modern.

Bagaimana kalau saya memilih Cok Sawitri? Janda dari Jirah ditulis oleh Cok dengan sangat puitis. Sebagai pengarang asal Bali, ketika menggali prasasti sejarah dan menyampaikannya dengan aura magis, tak dapat dipungkiri: inilah kisah Calon Arang yang penuh misteri itu. Uniknya, tak satu kata pun dalam novel itu menyebut nama Calon Arang. Membaca Rangda ing Jirah seakan-akan menyelam dalam dongeng atau legenda dengan intrik politik (perebutan kekuasaan di Kerajaan Kediri semasa kekuasaan Airlangga) disertai kesaktian tokoh-tokoh zaman lampau. Perbedaan yang ditunjukkan oleh Cok untuk Janda dari Dirah adalah sosoknya yang cantik dan anggun. Padahal ada tafsir yang menggambarkan Calon Arang serupa Leak. Sebenarnya, mengenai Jirah atau Dirah ini, Cok Sawitri telah banyak mengungkapkannya dalam sejumlah puisi.

Sekali lagi ini soal selera saja. Apakah pengarang Bali “tak boleh” berturut-turut tampil sebagai pemenang setelah Gde Aryantha Soetama pada tahun lalu? Hanya Ernst & Young, sebagai tabulator, yang boleh tahu paling awal.

(Kurnia Effendi)

 

Baik dan Laris

Berbicara tentang karya lokal Indonesia, antara buku yang baik (terkait kualitas materi) dan buku yag laris (terkait dengan jumlah penjualan) seperti digariskan oleh “takdir” masing-masing. Jika buku memiliki dua keberhasilan sebagai buku yang baik dan laris, harapan pengarang dan penerbit tercapai secara bersama-sama.

Dalam dunia penerbitan, juga bagi seorang pengarang, ada istilah “kutukan 3000”. Itu terjadi ketika buku diterbitkan dalam 3000 eksemplar, beruntung habis dalam kurun waktu tertentu, dan tidak lagi dicetak ulang. Kebanyakan yang terjadi, cetakan perdana akan mengalami penjualan besar pada bulan pertama, selanjutnya menurun dan menurun, sampai akhirnya stagnan pada jumlah sisa tertentu. Kasus seperti ini akan membuat (1) pengarang menilai dirinya belum sanggup membetot minat pembaca, (2) penerbit menghitung uang produksi yang terhenti dan belum kembali (3) toko buku harus mengganti display dengan judul buku lain yang sudah menanti giliran (4) distributor mengatur gudang untuk menerima retour buku dan segera mengembalikan kepada penerbit.

Di mana posisi pembaca? Mereka adalah raja. Mau beli atau tidak, selain tergantung dari ketertarikannya pada buku itu, juga mengingat jumlah uang yang dimiliki. Buku di benak sebagian masyarakat masih menjadi barang mewah. Meskipun ada yang tampak ironis, ketika kopi secangkir lebih mahal dari harga buku, toh banyak orang yang masih memilih kopi. Padahal usia kopi secangkir hanya sekian permil dari sebuah buku.

Oleh keunikan posisi pembaca (yang belum tentu pembeli buku) diperlukan kerjasama yang bagus antara pengarang dan penerbit. Meskipun keduanya berbeda target: pengarang ingin bukunya dibaca, sedang penerbit ingin bukunya dibeli; keduanya punya sasaran yang sama.

Dari pengamatan saya pribadi, kesuksesan sebuah buku didukung oleh sejumlah strategi yang dilakukan oleh pengarang dan penerbit, secara terpisah maupun bersama-sama. Penerbit bahkan sudah mulai menimbang buku itu sejak awal pembacaan naskah. Dari titik itu, penerbit sudah membayangkan jauh ke depan, apakah modal yang akan ditanam untuk penerbitan buku itu bakal kembali dan menguntungkan. Siapa pengarangnya? Pertanyaan itu menjadi modal pertama pertimbangannya. Itu saja tak cukup, sebab materi bukunya harus baik. Baik menurut siapa? Kembali sang analis bekerja dengan melihat pasar hari ini dan pasar tahun selanjutnya. Akhirnya tren yang (sebenarnya dapat diciptakan) berlangsung di kalangan pembaca, menjadi pertimbangan berikutnya. Ini jika ingin mengikuti arus. Bila penerbit hendak melawan arus, diperlukan pula survei (kecil-kecilan atau besar-besaran) untuk melihat kecenderungan. Pokoknya urusannya jadi panjang. Perlu diperhitungkan pula durasi yang diperlukan sejak penyuntingan sampai peredaran buku. Dengan momentum tertentu, buku harus terbit tepat waktu, demi mendapatkan “emosi” publik dalam penjualan yang singkat.

Ketika penyelenggaraan Indonesian Idol pertama kali memasuki babak final, sebagai contoh, penerbit KataKita membuat profil setiap finalis dengan memasukkan jurus untuk berhasil terpilih menjadi kandidat penyanyi idola. Proses penerbitan dilakukan secara sprint (dalam istilah lomba lari), jangan sampai event Indonesian Idol keburu selesai. Jadi, memang harus ada perilaku pintar di balik terbitnya buku-buku.

Buku yang baik belum tentu laris, buku yang laris belum tentu baik. Pengarang harus menyadari betul kondisi ini. Pengarang yang sudah ‘mati-matian’ mengambil jalan sastra (sebagai istilah saja, seperti Musashi yang memilih “jalan pedang”) akan tercengang ketika bukunya kalah laris dibanding buku yang ditulis oleh para artis sinetron atau penyanyi. Bukan hanya tercengang, melainkan sedih, dan mungkin sedikit putus asa karena rejekinya diserobot oleh para pesohor. Nah, kata kuncinya adalah tersohor. Untuk menjadi tersohor, tentu juga tidak mudah. Kembali lagi harus menulis yang baik dulu.

Fakta membuktikan bahwa pengarang yang berhasil umumnya memiliki beberapa kelebihan. Pertama, tentu karya yang baik (soal “baik” ini memang dapat diperdebatkan). Kedua, memiliki jaringan. Ketiga, bersedia mempromosikan bukunya sendiri. Keempat, tidak berhenti menulis, sehingga ada lagi yang ditunggu oleh pembaca.

Mari kita lihat beberapa contoh. Habiburrahman El Shirazy dengan bukunya Ayat-Ayat Cinta (Penerbit Republika) sudah menjual lebih dari 100 ribu eksemplar bukunya. Andrea Hirata dengan Laskar Pelangi (dilanjutkan Sang Pemimpi dan Edensor, diterbitkan oleh Bentang Pustaka), nyaris memasuki angka 50 ribu eksemplar. Moamar Emka melalui Jakarta Undercover (diterbitkan oleh GagasMedia), dan Saman karya Ayu Utami (melalui penerbit Kepustakaan Populer Gramedia) telah mengalami beberapa kali naik cetak. Catatan Hati Seorang Istri yang ditulis oleh Asma Nadia (diterbitkan oleh Lingkar Pena Publishing House) mulai merambat naik penjualannya pada cetakan kedua.

Apa yang telah dan terus dilakukan oleh mereka sejak ditengarai bahwa karyanya fenomenal? Ayat-Ayat Cinta yang awalnya menjadi cerita bersambung di harian Republika itu memukau para pembaca wanita dengan latar yang nyata. Kisah yang mengharu-biru itu berlanjut dengan upaya pengarangnya membuat perjalanan napak tilas ke Kairo, Mesir, untuk melihat langsung tempat kisah novel itu “terjadi”. Tantu tak akan bertemu dengan tokoh-tokoh fiktifnya, namun aroma suasana novel itu dapat “dicium” dari dekat. Bahkan sekarang, novel itu dibuat film.

Karya Moamar Emka tentu fenomenal karena mengungkap dunia malam yang selama ini sembunyi di balik gemerlap Jakarta. Sang pengarang tak hanya menceritakan kisah-kisah dari orang lain, tetapi melakukan survei dan mengalaminya. Perilaku manusia kosmopolitan dalam hiburan seksuak dibongkar blak-blakan dengan deskripsi yang mengalir melalui sudut pandang pengalaman, tentu luar biasa. Siapa yang tak ingin membacanya?

Andrea Hirata mungkin seorang pengarang ajaib. Laskar Pelangi awalnya sebuah naskah yang hendak dipersembahkan kepada gurunya waktu sekolah dasar, Ibu Muslimah. Seorang kawannya mengirim diam-diam naskah itu ke Bentang Pustaka. Demikianlah, akhirnya novel yang merupakan memoar pengarangnya itu terbit, beredar, dan laris. Kisah persahabatan dan petualangan sepuluh atau sebelas murid SD Muhamadiyah di Belitong itu telah menjadi inspirasi ribuan orang di Nusantara. Sebuah pengalaman yang menggugah, mengubah pikiran, dan membuat kesadaran tentang dunia pendidikan sebagai hal paling penting dalam kehidupan. Berkat dampak positifnya yang meluas, Mira Lesmana dan Riri Riza hendak mengangkatnya menjadi sebuah film.

Ayu Utami menjadi pemicu lahirnya karya-karya (pengarang perempuan, terutama) yang mengungkap unsur seks secara terbuka. Novel Saman dinobatkan sebagai pemenang pertama dalam lomba novel Dewan Kesenian Jakarta 1997, dianggap fenomenal karena membuka tabu, selain memang memiliki gaya bahasa yang memesona. Tahun 2008, Saman akan terbit dalam bahasa Prancis.

Asma Nadia seorang penulis yang dikenal “keras” dalam garis visi dan misi Lingkar Pena Publishing House, bahwa (menulis) buku adalah media dakwah. Karya-karyanya yang humanis, moralis, dan segar, dirindukan oleh kaum perempuan muslimah sebagai semacam panutan. Catatan Hati Seorang Istri mengungkap hal-hal yang terjadi di sekitar perasaan seorang wanita, diangkat dari pelbagai pengalaman berbincang dengan kaumnya, juga dengan para suami yang disadap pendapatnya. Penyampaian yang halus dan bersifat personal serasa mewakili sebagian besar perasaan pembaca.

Andrea Hirata telah menyerahkan seluruh promosi dan kegiatan jumpa pengarang kepada Renjana, sebuah event organizer yang ditangani oleh Dhipie dengan dinamis. Tampilnya Andrea dan Ibu Muslimah dalam acara Kick Andi (Metro TV) membuat novel Laskar Pelangi terjual 23 ribu copy hanya dalam bulan Oktober. Novel Edensor (bagian ketiga dari tetraloginya), sebelum menjadi buku, telah disosialisasikan oleh Andrea sejak dari Bandung sampai Denpasar dalam diskusi yang intens.

Asma Nadia dengan Forum Lingkar Pena (FLP) yang beranggota aktif lebih dari 5000 orang, bahkan memiliki cabang di pelbagai negara,  dapat memastikan penjualan setiap bukunya di atas 3000 copy. Mengapa? Para penggemar fanatik yang juga menjadi anggota FLP, langsung menyerap pada kesempatan pertama.

Itu contoh kecil saja bagaimana seorang pengarang memperlakukan karyanya, memelihara hubungan dengan pembacanya, dan terus-menerus mengembangkan jaringan. Dengan cara itu, karya yang baik, tidak akan sia-sia untuk terbit. Harapan pengarang, sang penerbit juga tidak tinggal diam. Bagaimana Gramedia Pustaka Utama mendukung M. Fadjroel Rachman untuk meluncurkan dan mediskusikan novel Bulan Jingga dalam Kepala ke tiga kota (Bandung, Jakarta, Makassar) seharusnya sudah menjadi kewajiban penerbit. Bagaimana penerbit Hikmah (Mizan Group) membiayai riset novel Rahasia Meede karya E.S. Ito juga patut ditiru oleh penerbit lain. Dukungan itu akan memberikan gairah bagi pengarang untuk lebih serius menulis karyanya bagi pembaca (dan penerbit).

Bukankah kelarisan buku menjadi target penerbit? Nama nama para pesohor akan sangat memikat para pembeli buku, tentu. Tetapi pembeli buku yang juga pembaca, akan selektif memilih bacaan. Bahkan, kadang-kadang, sebelum membeli buku, mereka akan mencari resensi atau book review yang ditulis oleh pembaca sebelumnya (yang umumnya seorang penilai yang baik). Melalui koran edisi Minggu atau blog internet, dengan mudah kita temukan kesan para pembaca buku.

Memang, buku yang baik dan buku yang laris sering berada pada “takdir”nya masing-masing. Bagaimana seorang pengarang mempertemukan kedua nasib baik itu menjadi satu, sungguh tak mudah, kecuali saling terbuka dengan penerbit untuk melakukan strategi sejak awal. Dari contoh-contoh nyata di atas, mudah-mudahan dapat dipetik pelajaran untuk mengikuti dan memperkaya jejak mereka.

Bagaimana JK Rowlings dan Dan Brown dapat mempersembahkan “adikarya” yang mendunia? Bagaimana karya-karya Shakespeare masih dibaca orang hingga sekarang? Bagaimana buku-buku Kahlil Gibran menjadi koleksi yang abadi? Bagaimana City of Joy atau Gone with The Wind begitu memukau? Mari belajar bersama-sama. Karena saya juga seorang pengarang, saya yang pertama berjanji akan belajar dari orang-orang sukses itu. Mula-mula, menulis yang baik.

(Kurnia Effendi, untuk Ruang Baca)

 

Monday, January 07, 2008

Sang Bengawan

Bengawan Solo, riwayatmu ini

Sedari dulu jadi perhatian insani

Musim kemarau, tak seberapa airmu

Di musim hujan air meluap sampai jauh

Mata airmu dari Solo

Terkurung gunung seribu

Air mengalir sampai jauh

Akhirnya ke laut…

Itu perahu, riwayatmu dulu

Kaum pedagang slalu naik itu perahu

            Itulah gubahan legendaris dari Gesang yang kini kembali sering terngiang.

“Tuhan, sayangi kami yang tak berdaya ini. Jauhkan dari bencana yang bertubi-tubi. Kami tahu, ini bukan amarah-Mu. Ini juga bukan dendam sungai ciptaan-Mu. Desa-desa kami yang terendam ini menjadi bukti keteledoran kami. Alam pemberian-Mu telah kami sia-siakan dengan perbuatan yang justru merugikan keluarga kami….”

Mungkin itu doa seorang muhlasin, seorang muhsin, yang kini tengah meringkuk dalam tenda pengungsian. Air matanya mengalir seperti hujan yang terus-menerus turun dari langit. Hatinya kelabu meniru warna langit. Dingin perasaannya seperti gigil cuaca, kota-kota yang kuyup, tempat persinggahan air Bengawan Solo. Angin menciutkan nyali, mengiris keperkasaan manusia, melubangi sanubari.

 Inilah bah terbesar sejak empat puluh tahun yang silam bagi sedikitnya 9 kota yang dilintasi Bengawan Solo. Sang Bengawan, sungai terpanjang di Pulau Jawa, sedang mengguriskan jejak: mirip tatto yang ditorehkan pada tubuh langsat. Luka mendalam. Membenam. Merendam dalam. Lima ratus lima puluh kilometer perjalanannya menandai pergantian tahun 2007 ke 2008 seraya menyerahterimakan duka yang mungkin tak terhapus dalam kenangan keluarga Jawa Tengah dan Jawa Timur yang menjadi korban. Dari hulu ke hilir. Menghimpun perasaan sendu dari kegembiraan yang tersingkir.

Mata airnya bermula di Pegunungan Kidul, Wonogiri. Air yang bersiang-malam menyaksikan kehidupan desa-desa yang dilewati, menjadi sahabat para petani, menjadi sumber minum ternak yang digembalakan, menjadi pelengkap sehari-hari para pencuci pakaian, menjadi jalan raya perahu penyeberangan, tumpah ruah di Gresik, pesisir utara Jawa Timur.

Wonogiri, Pacitan, Sukoharjo, Klaten, Solo, Sragen, Ngawi, Blora, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Gresik; adalah kota-kota yang kini berbaris pucat membiru oleh genangan-genangan luas. Air pasang telah mengubah permukiman menjadi rawa-rawa. Berkelok-kelok sungai yang mengalir penuh cinta bertahun-tahun, kini meluap bagai menumpahkan rindu dendam.

Berpuluh tahun lalu, Gesang, komposer lagu Bengawan Solo yang kini telah berusia 90 tahun, menciptakan lagu yang liriknya terdengar sederhana. Namun kita tahu, sebagai seniman, Gesang dan kaum pujangga yang “weruh sakdurunge winarah”, seperti diutus untuk menuliskan kejadian di masa depan. Ia, seperti juga Chairil Anwar atau Ebiet G. Ade, secara “tidak sengaja” telah membuktikan peristiwa yang digubahnya. Mereka seolah perpanjangan tangan Tuhan, bertugas mengingatkan insan yang lain untuk selalu siaga, selalu menyadari betapa alam itu sanggup murka bila diperlakukan tidak semena-mena.

Ketika di suatu pagi Pak Gesang diminta menyenandungkan tembang ciptaannya itu, dalam sebuah reportase televisi, ada getaran yang menghubungkan musibah dengan lintasan ilham yang merasuki perasaannya tempo dulu. Giris mendengarnya. Dan tentu bukan kesedihan macam ini yang diharapkan melalui tafsir syair lagunya.

 “Di musim hujan, air meluap sampai jauh,” ujarnya. Tak hanya meluap, namun bertahan sebagai lautan kecil yang akan bersitahan dalam hari-hari dingin dan lapar. Bencana memang milik semua manusia di Bumi, tak harus dihubungkan dengan jumlah dosa yang disandang. Seperti juga pemberiannya yang dituang tak habis-habis kepada manusia sejak hulu sampai hilir. Berapa juta petani diberkati hingga padinya berbulir-bulir membikin sejarah prestasi para penyantap nasi? Berapa ribu industri dan keluarga yang telah memanfaatkan deras aliran airnya untuk hasil yang telah membangun kesejahteraan turun-temurun?

Mungkin kita lupa berterima kasih. Mungkin sebagian besar kita di pesisir sungai justru sibuk membuang limbah pabrik sepanjang hari dan sepanjang tahun sehingga mencemari vegetasi di dalamnya. Kita tak lagi melihat air jernih yang sesekali menjadi tempat berkaca langit dan matahari. Tinggal aliran keruh air yang di kala malam berbulan, berkilat-kilat samar. Barangkali kita juga lupa, bujur tubuh basahnya pernah menjadi tempat telungkup sebuah pesawat Garuda penerbangan GA 421 yang menyelamatkan hampir seluruh penumpangnya.

Dari jauh, dari Jakarta yang juga kuyup dan menggigil, saya tak sanggup menolong dengan kedua tangan. Kecuali saya tengadahkan dengan bisikan doa setelah salat. Doa sederhana. Alfatihah yang gemetar. Semoga penderitaan segera diangkat dari kehidupan sedih berhari-hari itu, tentu oleh kekuatan Tuhan: yang menciptakan sungai-sungai.

Saya pun terkenang akan getaran suara Leo Kristi ketika mengenang bencana di Tanah Negara, Bali. Ia bisikkan dengan rasa duka mendalam kata “bencana” hingga enam belas kali. Siapa tahu, Sang Bengawan yang telah melekatkan sejarah, termasuk banjir darah zaman PKI 1948 yang mengerikan itu, akan menggugah seorang seniman (entah siapa) musik untuk menyimpan dalam pendengaran. Atau sanggup memancing sastrawan untuk mengekalkannya melalui sehamparan huruf bermakna.

 “Air mengalir sampai jauh… akhirnya ke laut.”

Laut yang penuh rasa garam adalah wakil kebijaksanaan umat manusia. Seluruh “petualangan hidup” memang harus berakhir di laut. Harapan kita, air yang berlebihan menenggelamkan berpuluh kota dan beratus kecamatan itu segera surut terhisap Sang Laut yang luas perasaannya tak terukur hitungan manusia.

Penderitaan, bagaimanapun, hanya dapat dilerai oleh kearifan dan keihlasan seorang muhlasin. Mari belajar menuju “tahta” tersulit itu. ***

(Kurnia Effendi, untuk Parle edisi 120)