Thursday, November 27, 2008

Rukmi Wisnu Wardani

Lanskap-Sastra-Kajian Islam

“Saya ini orang minoritas,” ujar Dani ketika mengenang masa lalunya. Dia pernah malas sekolah waktu SD hanya karena ia menulis dengan tangan kiri. Kidal. Selalu saja menjadi bahan cemoohan teman. Apalagi beberapa gurunya berulang kali memintanya untuk menulis dengan tangan kanan, tangan yang bagus. ”Saya sering pulang sekolah dengan terisak-isak,” akunya.

Cukup mengherankan, di zaman modern seperti sekarang, masih ada pendidik yang menabukan muridnya menulis dengan tangan kiri. Sementara kepercayaan bahwa otak kanan yang kreatif itu mengendalikan tangan kiri dan kaki kiri, telah ditulis di banyak buku sebagai kecerdasan yang perlu dikembangkan.

”Bahkan, selepas SMA ingin tidak banyak berhubungan dengan orang. Saya pikir, berteman dengan alam akan lebih menyenangkan. Lebih bebas dan keleluasaan.”

Demikianlah, Dani, panggilan untuk Rukmi Wisnu Wardani, seorang penyair yang menganggap semua pengarang sebagai ’guru’nya. ”Bahkan saya juga suka Nietsche, selain Rumi dan Rabindranath Tagore.”

Sebetulnya latar pendidikan Dani adalah ilmu pertamanan. Masuk Universitas Trisakti tahun 1992, mengambil jurusan Arsitektur Lanskap, lulus tahun 1998. Saat itu ia belum bersentuhan akrab dengan sastra. Ketika ayahnya meninggal dunia beberapa waktu setelah wisuda, barulah ia berkenalan dengan dunia puisi.

Apa yang memicu ke arah itu?”

“Mungkin karena saya jadi suka merenung. Ada yang hilang dari keseharian saya.“ Jawabnya mengenang.

Namun demikian, tampaknya ia berbakat, karena puisinya lekas matang. Kini sudah berbilang ratusan yang ditulis. Dimuat di sejumlah media massa dan sebagian terhimpun dalam antologi puisi bersama. Sejak tahun 2000-an sudah sering terlibat dalam beberapa event sastra. Salah satu di antaranya ”Temu Sastra Kota 2003” di Taman Ismail Marzuki. Dan yang baru lalu, sebenarnya Dani juga terpilih sebagai peserta Temu Sastra Mitra Praja Utama di Lembang, Jawa Barat.

Bagaimana dengan pendidikan lanskapnya? Dani mengaku pernah menggeluti profesi sebagai konsultan taman, namun tak lama. Justru selanjutnya bersama keluarga asyik dengan bisnis ikan hias. Ketika diminta memilih antara bertaman dan berpuisi, Dani mengatakan: ”Sastra lebih memberikan kepuasan batin buat saya.”

Sejak awal 2004, Dani aktif mengikuti pengkajian wawasan Islam dari sisi sufistik. Melalui komunitasnya itu, yang kerap mengadakan diskusi berkala di Kafe Omah Sendok, banyak manfaat yang dipetik secara pribadi.”Aku jadi tahu lebih mendalam, bahwa Islam itu lembut, penuh kasih sayang, dan cinta perdamaian.”

Kini Dani masih tinggal bersama ibu di rumah keluarga. Sehari-hari Dani mengaku tidak punya kegiatan khusus. Saat ini, mungkin karena persiapan menuju pernikahan, sedang kurang produktif menulis. Ditemui sebelum membaca puisi di panggung Graha Bhakti Budaya dalam rangka ulang tahun Taman Ismail Marzuki, Dani mengenakan setelan hitam menutup tubuhnya. Kelihatan gagah.

”Ini sekalian untuk mencegah dingin,” Dani tersenyum ketika diamati penampilannya. Beberapa saat kemudian ia menikmati rokoknya yang beraroma mentol.

Dani lahir 29 Juli 1973, anak ketiga dari empat bersaudara. Apa target paling dekat dalam hidupnya?

”Dalam waktu dekat? Saya mau menikah.” ujarnya mantap. Dani mengucap kata ’amin’ ketika ditanya: ”Tahun ini?”

Mari, kita yang kaum lelaki, bersama-sama patah hati.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

Tuesday, November 25, 2008

Museum, Aset Bangsa yang Memprihatinkan

Kebesaran bangsa konon diukur dari penghargaannya terhadap jasa para pahlawan. Dengan memberikan ruang ‘istirahat’, sebuah kompleks permakaman bagi pahlawan, upaya penghormatan itu tercapai. Dengan mengenangnya melalui materi pelajaran sejarah, diharapkan generasi anak cucu akan turut bangga memiliki leluhur yang telah memerangi penjajah dan memperjuangkan hak-hak rakyat untuk merdeka. Namun ada hal lain yang perlu kita berikan kepedulian, yakni museum.

Dalam sebuah museum tersimpan benda-benda memorabilia yang mengandung riwayat panjang. Di sana tersimpan sejarah, baik yang melampaui peristiwa berdarah maupun gelimang kejayaan budaya. Karya seni leluhur yang berangkat dari tradisi turun-temurun layak menjadi peninggalan berharga. Ada proses dan riwayat yang terjadi sebelum kita lahir dan menjadi pengungkap masa lalu, membuat gelap menjadi terang.

Seharusnya, sebagaimana kita tahu dari pelbagai buku maupun pemberitaan, negara-negara Eropa sangat menghargai tilas sejarah. Mereka menyimpan dengan cermat setiap benda masa lalu yang menjadi ikon kejadian penting dalam sebuah museum. Sebut saja Prancis dengan Museum Louvre, Jerman, Belanda, dan Inggris, sangat terkenal dengan museum. Seorang budayawan, Nirwan Dewanto, setiap kali berkunjung ke luar negeri, sewerti ada kewajiban mengunjungi museum.

Museum merupakan “kitab” pelajaran tersendiri. Semestinya seorang siswa tak hanya membaca sejarah melalui buku teks. Dengan berkunjung ke museum, mereka membaca perjalanan sebuah bangsa. Dengan menatap setiap titimangsa penanda benda-benda peninggalan masa silam, mereka melihat diorama kebudayaan yang pernah bergerak. Dengan menyadari awal yang panjang, para siswa tentu merasa berutang jasa kepada pahlawan yang kini tinggal foto-fotonya, barang-barang milik pribadi yang ditinggalkannya. Mudah-mudahan kesadaran itu akan membentuk mental positif untuk meneruskan perjuangan para pendahulu dengan cara yang sesuai zamannya.

Tetapi, apa yang terjadi di Indonesia? Pengalaman memasuki hampir semua museum di kota-kota besar, selalu melahirkan kesedihan dan perasaan merana. Apakah itu hanya terjadi di Indonesia? Bagaimana bangsa ini mencibtai para pembangun negeri?

Pada sebuah kesempatan mengunjungi dua museum yang letaknya berseberangan, terlahir keprihatinan. Museum Sejarah Jakarta dan Museum Keramik & Seni Rupa, keduanya sungguh menyedihkan. Kekayaan harta masa lalu yang tersimpan di dalamnya nyaris tidak dikelola dan dipelihara dengan pantas. Entah di mana simpul kesalahannya, namun jelas bahwa insan yang semestinya bertanggung jawab terhadap keutuhan peninggalan sang pendahulu tidak menjalankan tugas dengan benar.

Konon dalam Museum Keramik dan Seni Rupa tersimpan lukisan Raden Saleh yang tak ternilai harganya. Saat ini, di museum itu sedang dipamerkan pula benda-benda temuan dari kapal yang tenggelam di abad ke 9 dan 10. Menurut informasi yang tertera pada banner, temuan itu membuktikan sejarah maritim di zaman kehidupan cikal bakal bangsa Nusantara. Nenek moyang kita memang para pelaut!

Ketika masuk ke dalam ruang pamer, ada pesan dari penjaga yang diucapkan sambil lalu: “Di dalam nanti tidak boleh memotret.” Dia menyampaikan amanat itu karena melihat pengunjung membawa kamera. Atau sekadar ucapan otomatis seperti sebuah rekaman yang harus diulang-ulang kepada setiap pengunjung? Aturan itu akan dihargai andaikata diikuti prosedur standar yang memadai.

Misalnya, kamera pengunjung diminta untuk disimpan dalam loker sepanjang kunjungan. Keamanan kamera dijamin dengan kunci yang diberikan kepada pengunjung bersangkutan. Kenyataannya tidak demikian. Pesan itu disampaikan namun praktiknya, para pengunjung bisa memotret dengan leluasa (meskipun memang larangan itu meragukan dari sisi tujuannya). Bahkan pengunjung backpacker tidak diminta untuk menitipkan tas punggungnya. Bagaimana kalau pengunjung mencuri benda penting dalam museum itu dengan cara memasukkannya ke dalam tas?

Kecerobohan itu satu pertanda, bahwa kinerja staf museum tidak memenuhi syarat. Mereka seperti tidak menghargai nilai yang terkandung dalam benda-benda tilas sejarah Indonesia. Hal kedua adalah harga tiket masuk yang kelewat murah, hanya Rp. 2.000,- setiap kepala. Bahkan untuk pelajar hanya dikenakan separuhnya. Betapa murahnya harga benda-benda memorabilia itu yang keamanannya sulit dijamin.

Padahal, jika aturan dilarang mengambil gambar itu dijalankan secara disiplin, mereka dapat menggantinya dengan menyediakan foto atau kartu pos berkualitas bagus yang bisa menjadi kenang-kenangan. Asalkan foto itu sesuai dengan kondisi sebenarnya.

Hal ketiga dapat disaksikan ketika memasuki ruang-ruang museum itu. Tembok yang melepuh, benda pamer (seperti lukisan dan furnitur) yang mulai rusak dan berubah warna, penanda yang tak lengkap (penulisan angka tahun yang dikosongkan) justru menunjukkan kemalasan juru data. Kondisi itu sangat memprihatinkan. Hal keempat adalah tiadanya penjaga di ruang-ruang yang rawan pencurian. Minimal, mereka menyediakan jasa guide untuk menjelaskan setiap benda yang terpajang di sana, sebagai peninggalan sejarah penting.

Pengunjung pun kecewa ketika ternyata tak dapat melihat lukisan asli Raden Saleh. Yang terpajang di sana hanyalah lukisan reproduksi oleh seniman lain. Ini patut dihargai karena karya sang maestro itu tak dapat sembarangan dipertunjukkan. Sebenarnya ada cara lain, yakni dengan penjagaan yang ketat, sehingga pengunjung dapat menyaksikan karya asli dengan rasa aman dan nyaman.

Lukisan asli Raden Saleh memang tersimpan dalam ruang direksi museum, yang lain tersimpan di Istana Negara. Dengan surat izin mungkin akan diperkenankan untuk melihatnya. Menurut informasi, setiap Sabtu dan Minggu, masyarakat dapat mengikuti tour masuk ke istana, menyaksikan segala benda milik Negara yang tersimpan di sana.

Dalam sebuah percakapan sehabis kunjungan ke museum, terdapat ironisme yang masih menjadi hambatan bagi kebesaran bangsa Indonesia. Kawasan kota tua Jakarta, yang di dalamnya terdapat beberapa museum dan gedung perkantoran masa lalu, hampir mengalami masa kepunahan. Sejumlah bangunan dalam keadaan rusak, sebagian lain telah menjadi milik pribadi, atau diambil alih oleh BUMN untuk difungsikan sebagai kantor bisnis. Menurut narasumber, pajak bangunan masih tinggi, termasuk yang dikenakan kepada museum sebagai ruang publik. Jadi ada beban yang menggelayut di pundak keuangan museum, tak terbantu oleh tarif yang murah, membuat dana pemeliharaan tak sanggup menutupi kebutuhan.

Mudah-mudahan pemerintah menyadari dan peduli pada pemeliharaan museum. Pengelolaan dan penjagaan yang baik, reinforcement gedung-gedung tua, gaji karyawan yang memadai, serta penyediaan guide untuk para pengunjung; adalah semacam kewajiban.  (Kurnia Effendi)  

 

Monday, November 24, 2008

Anyer - Panarukan

Membuka Jaringan Ekonomi dan Politik

Di balik kisah berdarah-darah kerja paksa di masa Gubernur Jenderal Daendels yang memilukan, ada manfaat yang kini dipanen oleh generasi berikutnya. Jalur jalan yang menghubungkan kota-kota sejak Anyer (pantai di Provinsi Banten, kini) sampai dengan Panarukan (Provinsi Jawa Timur) telah membuka pelbagai kemungkinan yang merujuk pada kemajuan. Pekerjaan itu berlangsung sekitar 200 tahun yang lalu, tepatnya mulai 5 Mei 1808. Dalam satu tahun, jalan raya sepanjang 1100 Km terwujud. Kini jalan itu, sejak Cikampek, Cirebon, sampai ke ujung timur, dikenal dengan nama Jalur Pantura.

Sebuah ekspedisi sebelas hari telah dilakukan oleh tim harian Kompas. Sejak tanggal 15 sampai 25 Agustus 2008 yang lalu, mereka memulai perjalanan napak tilas dari Anyer. Dilepas oleh Gubernur Provinsi Banten Atut Chosiyah, perjalanan panjang itu menggunakan sepeda. Sebuah petualangan yang melelahkan sekaligus menyenangkan, melibatkan 10 atlet sepeda profesional, 3 karyawan Kompas-Gramedia, dan seorang pehobi sepeda dari komunitas pencinta onthel.

Hasil dari perjalanan tersebut berupa foto dan laporan jurnalistik. Foto-foto menarik dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta, yang dibuka pada Jumat 14 November, bersamaan dengan peluncuran buku yang merangkum hasil tulisan tentang Anyer-Panarukan. “Jalan (untuk) Perubahan”, itulah subjudul yang ditampilkan baik dalam buku maupun pameran fotografi.

Apa pemicu pembangunan jalan terpanjang (dalam satu proyek) yang pernah dilakukan oleh sebuah negeri jajahan? Mulanya Daendels, yang diangkat oleh Raja Belanda Louis Napoleon pada 29 Januari 1807, bertugas ke Semarang pada 29 April 1807. Pengalaman perjalanan yang tak mulus itu menyulut gagasan untuk membangun jalur transportasi yang akan membuka hubungan antarkota di Pulau Jawa. Agaknya ia melihat potensi besar di bidang ekonomi. Dengan demikian, salah satu mandatori yang diterimanya (dari 37 pasal), yakni mempertahankan Pulau Jawa dari serangan armada musuh akan lebih mudah dilaksanakan.

Sepulang dari perjalanan itu, Daendels di Batavia mengeluarkan maklumat untuk membangun jalan dari Buitenzorg (Bogor) menuju Cirebon. Bulan Juli 2008, Daendels berada di Semarang, memerintahkan untuk memperbaiki jalan-jalan desa yang sudah ada. Dihubung-hubungkan dari Cirebon sampai ke Surabaya. Proyek itu mempertemukannya dengan 38 bupati, untuk meletakkan tanggung jawab soal biaya dan tenaga kerja. Pembangunan jalan itu berakhir di Panarukan pertengahan Juni 1809.

Ada cerita (mungkin fakta, namun tak dijumpai arsip pendukungnya) bahwa ketika pekerjaan jalan yang kemudian dikenal sebagai Jalan Raya Pos (Grote Postweg) itu sampai di kawasan Cadas Pangeran, ada perlawanan dari Bupati Sumedang, Pangeran Kusumadinata IX (yang dikenal dengan nama Pangeran Kornel). Sebuah penanda berupa patung, Pangeran Kornel bersalaman dengan Daendels menggunakan tangan kiri menjadi simbol kebanggan masyarakat Sumedang.

Tak dapat dipungkiri, bahwa setelah beratus tahun kemudian, terbukti ”jasa” Daendels untuk menghidupkan perdagangan di Pulau Jawa. Meskipun sebelumnya dari Anyer menuju Batavia sudah ada jalan desa, dengan sambungan melaui Cianjur, Bogor, Majalengka, Cirebon, Pekalongan, Semarang, Tuban, Surabaya, sampai Panarukan, penempuhan jalur ekonomi dari ujung barat ke ujung timur menjadi lancar.

Herman Willem Daendels menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Timur cukup singkat, 1807 sampai 1811, namun peninggalannya telah menorehkan sejarah yang dikenang hingga sekarang: baik dari kekejamannya maupun dari manfaat yang ditinggalkannya. Selanjutnya kota-kota tumbuh, penduduk bertambah, dan politik pun berkembang. Upaya yang ditempuh untuk kepentingan Hindia Belanda, justru dimanfaatkan juga oleh kaum pribumi untuk banyak belajar.

Pulau Jawa diyakini sebagai tanah yang memiliki kualitas kesuburan untuk banyak jenis tanaman. Politik tanam paksa membuktikan hal itu. Tembakau, tebu, teh, kopi, kapuk randu, dan banyak lagi. Kopi Jawa menurut sejumlah pakar, merupakan yang terbaik di dunia. Kapuk Jawa juga memiliki keunggulan yang kemudian terlupakan. Sedangkan kualitas teh, yang dipetik dari perkebunan luas, hingga kini menjadi peninggalan yang terus dipelihara.

Dari sisi politik, mungkin Daendels menjadi tokoh antagonis yang di belakang hari justru dikenang karena jasa-jasa kebijakannya. Mungkin ini bukan analogi yang tepat, tetapi pencitraan kembali Soeharto oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai guru bangsa yang meninggalkan banyak manfaat, mirip dengan hubungan sebab akibat itu. Dalam masa pemerintahannya yang panjang, 32 tahun, tentu banyak nilai positif yang telah diperbuatnya. Namun di pengujung tahtanya justru banyak kebijakan yang menjadi bumerang bagi kewibawaannya.

Politik selalu memakan korban, karena kepentingan di atas segala-galanya. Ketika keputusan membangun Jalan Raya Pos, ada kepentingan bisnis dan politik sang penjajah untuk mempertahankan Hindia sebagai negeri yang menjadi pemasok kekayaan Belanda melalui hasil rempah-rempahnya. Perdagangan yang didasari niat menguasai, telah melahirkan banyak kebijakan politik, seperti kerja paksa, tanam paksa, balas budi, sampai memecah belah (devide et impera). Bagi rakyat yang ingin bangkit, kesempatan mendapatkan pendidikan, baik di tanah Hindia maupun di Nederland, mereka gunakan sebaik-baiknya. Artinya di sela-sela kegetiran yang menimpa banyak penduduk Nusantara, silih berganti para raja bertahta, akhirnya lahir kaum intelektual seratus tahun kemudian, dengan bendera Boedi Oetomo.

Kita sudah dapat menebak maksud di balik prakarsa dan wacana PKS, meskipun menurut pengamat politik Arbi Sanit belum tentu efektif. Namun demikian, alasan rekonsiliasi untuk menghindari permusuhan antar-generasi cukup menarik. Bagaimanapun, untuk maju ke depan dengan menyongsong harapan yang lebih baik, syaratnya harus belajar dari sejarah dan mengambil sisi baiknya. Sisi baik Daendels, melalui tilas yang kini menjadi jalur pantai utara, dapat menutupi cara memerintahnya yang tidak manusiawi. Mungkin mirip dengan pembangunan The Great Wall di China.

Kini, dalam era politik yang lebih demokratis sejak masa reformasi, setiap usaha untuk mendapat dukungan secara luas akan ditempuh setiap partai poltik. Dengan membuka jaringan (kini melalui teknologi informasi) komunikasi, hubungan dagang, politik, sosial, dan budaya mudah terjalin. Setelah terminologi Anyer-Panarukan, Kebangkitan Nasional, dan tumbangnya Orde Baru, kira-kira apa yang akan terjadi di negeri ini untuk melompati puncak sejarah berikutnya?

(Kurnia Effendi)

 

Thursday, November 20, 2008

Membincang Kembali tentang Kebhinekaan

Kekhawatiran sebagian besar orang yang menolak disahkannya Undang-Undang (Anti) Pornografi (dan Pornoaksi)—kini kita sebut UUP—antara lain akan mengganggu kebhinekaan bangsa Indonesia. Sejumlah pasal terasa multi tafsir, kurang jelas, dan dapat memicu konflik karena tidak secara lugas menyampaikan maksudnya. Jika mengamati perkembangannya dari awal hingga akhir, yang terasa paling mewarnai perdebatan adalah hal-hal yang dipandang ekstrem.

Dengan berlakunya UUP, seolah-olah setiap unsur budaya yang menyangkut busana (pakaian tradisi, seni tari) dan hasil karya lukisan maupun patung yang mengambil model figur manusia; bakal tersandung. Kemungkinan Indonesia nanti akan steril, seluruh tayangan televisi berubah sangat santun, ada pembatasan saluran dari luar negeri—yang sesungguhnya sulit dibendung. Kemudian, satu per satu buku-buku mulai disortir, dipisahkan antara yang berfungsi untuk ilmu pengetahuan (anatomi, kedokteran, biologi) dan mana yang menjadi bagian dari seni hiburan. Bisa jadi, banyak buku sastra yang terlalu terus terang menggambarkan perilaku seks para tokohnya akan menjadi sasaran pembreidelan.

Kalau dirunut sampai akhirnya Indonesiamemerlukanundang-undang untuk mencegah merajalelanya pornografi dan pornoaksi, tentu karena banyak akibat yang telah ditimbulkan. Tak ada asap tanpa api. Semua itu seiring dengan perkembangan teknologi. Setiap kemajuan yang diraih oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, dibarengi dengan efek samping yang negatif. Setiap tujuan mulia selalu ada godaan untuk terantuk pada kejatuhan moral, karena peluang itu sangat terbuka.

Dari satu contoh saja, misalnya internet. Betapa besar jasa penemu internet yang membuat dunia ini kehilangan jarak tempuh fisikal. Peristiwa dua pesawat yang menubruk gedung kembar di New York, 11 September 2001, langsung tertangkap kamera CNN dan langsung disebarkan ke seluruh penjuru dunia. Kita melihat dengan jelas, pesawat kedua terbang lurus ke arah tubuh gedung dan terjadi proses yang mengerikan itu. Dengan jaringan yang bersandar pada kemampuan satelit, dengan jalur serabut media maya yang tembus dinding, berita itu sampai ke sudut-sudut benua tanpa reduksi sedikit pun.

Itu kemuliaan fungsi teknologi informasi. Lantas siapa pengguna sarana dan prasarana itu? Tidak semua orang mulia. Sebagian memanfaatkan untuk praktik hacker, pencurian uang dari bank-bank terkemuka. Sebagian lagi untuk menyebarluaskan gambar-gambar porno, diam maupun bergerak, yang tak lagi bisa memilih segmentasi sasarannya. Informasi gambar, teks, dan suara itu menembus benda-benda padat, langsung ke kamar kita, tampil jelas dalam sebidang layar. Dapatkah kita cegah ”makhluk” yang meluncur kapan saja, terutama di kala kita—para orang tua—terlena akan kegiatan anak-anak?

Beberapa pendidik saat ini sedang mengeluhkan kejatuhan nilai pelajaran para muridnya. Penyebab paling dominan ternyata media maya. Keterampilan mereka menggunakan internet telah menyebabkan jam-jam belajar hilang di warnet atau kafe dengan fasilitas hot spot. Mereka rela begadang sampai larut malam untuk chatting dan SMS. Bahkan kin chatting bisa online melalui handphone. Andaikata hanya sebatas berdialog dan mengoperasikan game, mungkin masih bisa ”dimaafkan”. Tetapi sebagian generasi muda itu justru menjelajah ke wilayah-wilayah pornografi yang belum saatnya mereka jamah. Sesudahnya—seperti disinyalir sejumlah media massa—banyak perilaku seks menyimpang dan belum waktunya yang dilakukan oleh para pelajar.

Oleh nila bertitik-titik, rusaklah susu sebelanga. Bagaimanapun kita paham, betapa kerakusan manusia membuktikan setiap motif penjerumusan moral bangsa dilakukan demi uang. Seks dan narkoba dijalankan untuk mendapatkan uang bagi segelintir makhluk pintar yang bersahabat dengan setan.

Kini, UUP sudah disahkan, namun masih terus mengulirkan perbedaan pendapat. Provinsi Bali yang paling menentang, bahkan secara frontal gubernurnya menyatakan tidak ingin membahas tentang UUP. Wilayah yang paling banyak dikunjungi wisatawan mancanegara itu ingin dibebaskan dari belenggu undang-undang yang dikhawatirkan akan menghentikan arus devisa. Budaya dan seni tradisional Bali sulit untuk kompromi dengan aturan main dalam pasal UUP.

Pada kesempatan peringatan ulang tahun Taman Ismail Marzuki ke-40, bertepatan dengan Hari Pahlawan, Dewan Kesenian Jakarta menandai dengan pidato kebudayaan. Sengaja dipilih seorang praktisi intelektual dari Bali, I Gusti Agung Ayu Ratih, untuk menyampaikan pendapat dan pemikirannya. Berjudul ”Kita, Sejarah, Kebhinekaan”, Ayu Ratih mengajak kita kembali mengenang pengalaman masa lalu.

Pidatonya ingin menangkis UUP. Menurut Ayui Ratih, konsep itu digerakkan oleh keinginan mengubah Indonesia menjadi negara agama. Ia menentang gerakan yang mengurangi kebebasan perempuan dan individu-individu lainnya, sekaligus berlawanan dengan semangat nasionalisme kerakyatan yang melahirkan Indonesia.

”Yang kita hadapi adalah masalah politik. Bangsa Indonesia adalah entitas yang sepenuhnya duniawi. Pada saat proklamasi kemerdekaan, rakyat kepulauan ini tidak dipersatukan oleh agama, suku bangsa, atau bahasa apa pun. Mereka dipersatukan oleh pengalaman sejarah penindasan politik dan eksploitasi ekonomi. Mereka berbagi komitmen untuk menciptakan masayarakat baru yang lebih demokratis, egalitarian melalui pemilu.” Demikian salah satu pernyataan Ayu Ratih dalam pidatonya.

Pemikirannya jernih dan argumentatif. Ia berdiri sebagai perempuan yang merasa kehilangan kebebasan lantaran UUP, sementara pihak penyusun undang-undang bermaksud membela kepentingan perempuan.

Kritiknya yang tajam termaktub dalam pernyataan berikut, ”Partai-partai politik yang mendukung UU Anti Pornografi membenarkan posisi mereka dengan mengatakan bahwa hukum itu dimaksudkan untuk melindungi perempuan dan anak-anak. Ini pembenaran yang ironis karena partai-partai yang sama bertanggung jawab atas berbagai kebijakan ekonomi yang memiskinkan perempuan dan anak-anak.”

Perbedaan persepsi ini memang perlu dibuktikan dalam praktik. Masing-masing pihak membawa kebenaran dan pembenaran, tak kunjung sampai pada titik temu.

Kebhinekaan suku bangsa telah membentuk sebuah negara bernama Indonesia. Seperti yang disampaikan oleh Marco Kusumawijaya, Ketua DKJ, bahwa tahun ini kita sedang  sibuk membela dan merawat kebhinekaan kita. UUP dianggap merusak upaya memelihara kebhinekaan itu. ”Oleh karena itu, kita perlu menelusuri lagi ke akar-akar budaya yang membentuk Indonesia. Kita renungi kebhinekaan pada tataran praktik kebudayaan yang mestinya menjadi sumber kearifan dalam mengelola kehidupan bersama.”

Cobalah kita jalani dulu, sejauh mana manfaat dari masing-masing pendapat?

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

   

 

 

 

 

Wednesday, November 12, 2008

Vivian Idris, dari Buku ke Film

Benar nggak sih jika dibilang Vivian Idris meluaskan perambahan jiwa seninya? Dari mengurusi pemasaran buku ke produksi film. Mungkin benar.

Pertemuan pertama kami, pada ulang tahun komunitas mailing list Apresiasi Sastra, terjadi awal tahun 2006. Vivian saat itu menjabat sebagai Direktur Pemasaran toko buku Aksara di kawasan Kemang. Sekitar beberapa bulan lalu, dalam percakapan telepon, Vivian mengatakan telah berpindah kantor. Ia bergabung secara total dengan Nia di Nata dalam wadah Kalyana Shira Foundation yang turut didirikannya sejak 2006.

Wow! Ternyata itu memang telah menjadi cita-cita Vivian sejak kuliah. Dari awal, jiwanya mengandung semangat perjuangan, terutama untuk kaumnya: perempuan. Tentu ada kobaran “api” yang menuntut untuk terus bergerak mencari solusi persoalan perempuan yang seolah tak habis-habis di negara dunia ketiga semacam Indonesia ini. Namun, pengalaman secara fisikal yang pernah menjadi catatan sejarah bagi Vivian “hanya” turun ke jalan ikut demonstrasi mahasiswa pada tahun 1998. Kita ingat, Reza Artamevia (penyanyi) pada tahun yang sama juga turut serta dalam barisan. Hasilnya memang luar biasa, karena gelombang gerakan reformasi saat itu sanggup menggulingkan tahta Soeharto yang telah bercokol sepanjang 32 tahun.

Vivian Idris yang cantik dan aktif, tentu tak mudah ditemui karena sebentar ada di suatu tempat, lain waktu ada di tempat yang berbeda. Ketika lepas resmi dari kegiatan operasional di Aksara, seluruh waktunya tercurah untuk Kalyana Shira Film. Melalui lembaga itulah Vivian berkarya, menjadi produser untuk film-film dokumenter. Yang penting digarisbawahi adalah, pilihan tema dari film tersebut: perjuangan perempuan dalam berbagai bidang yang daingkat dari kejadian nyata di lapangan.

Ia menjabat sebagai Direktur Program di Kalyana Shira. Debutnya luar biasa, karena ia juga menulis skenario untuk film dokumenter Perempuan Punya Cerita, khusus pada bab ”Cerita Pulau” dan ”Cerita Yogyakarta”. Ia terjun langsung dalam pembuatannya. Walaupun ia demikian konsentrasinya terhadap ’nasib’ perempuan, belum mau disebut sebagai aktivis. Ia lebih suka menyebut diri sebagai concerned citizen.

Vivian Idris lahir di Jakarta dengan nama Vivian Felicia, pada 14 Juli 1972. Mengarungi rumah tangga bersama Hidayat Jati, membuahkan Kiara Mohamad (8) dan Taj Isaiah Mohamad (4). Alumnus SMA 8 ini sempat singgah di Oak Grove High School, Pulaski County, Little Rock di Arkansas, Amerika Serikat. Ilmu manajemen pemasaran diperolehnya dari STIE IBII Jakarta.

Beruntung, Kurnia Effendi dari Parle sempat menemuinya di Erasmus Huis dalam salah satu rangkaian kegiatan yang dibuat atas kerjasama Kalyana Shira Foundation dengan beberapa lembaga. Ia menjadi moderator dalam diskusi yang mempertanyakan tentang kemerdekaan dan hak asasi manusia. Tampaknya Vivian dan teman-temannya ini, isi pikiran mereka begitu sibuk, memperhatikan tak hanya nasib warganegara yang masih ’belum merdeka’, namun juga bangsa yang carut-marut ini.

Ingin tahu karya Vivian Idris yang lainnya? Puisi! Nah, Vivian juga seorang penyair, dan lagi-lagi tak mau disebut sebagai penyair. Sejumlah puisinya sejak 2005 telah terhimpun dalam antologi bersama dengan ketiga sahabatnya: Lulu, Olin Monteiro, Opie Andaresta. Mudah-mudahan, setiap kiprahnya memang bermanfaat bagi orang banyak, merupakan dampak positif dari langkah kecil yang diperjuangkannya. Indonesia seharusnya bangga memiliki kaum muda dengan upaya yang tak lelah-lelahnya untuk membantu bangkitnya hak asasi, persoalan ekonomi kelas bawah, dan kebudayaan daerah yang semestinya menjadi potensi devisa.

Kami tunggu hasil karya Vivian Idris selanjutnya. Kami percaya masih akan panjang jejaknya.

(Kurnia Effendi)