Wednesday, May 31, 2006

Merindukan Gemah Ripah


Dalam perjalanan ke kantor, ada sms dari seorang seniwati yang aktif dalam banyak kegiatan sosial, Ayu Dyah Pasha: "Embargo pangan yang dilakukan Amerika kepada Palestina telah mengakibatkan rakyat kelaparan. Hal tersebut bisa terjadi di Indonesia. Teman-teman, mari mulai melepaskan ketergantungan terhadap pangan impor. Negeri ini penuh keanekaragaman pangan hayati, jadi kurangilah makan gandum. Di Indonesia kita tidak bisa menanam gandum. Fitrah kita makan umbi-umbian."

Lantas saya teringat sebuah wawancara televisi dengan Bob Sadino, entah berapa tahun yang lampau. Saat itu kita sedang prihatin dengan nasib petani, yang selalu kehilangan harapan mendapat uang berlimpah di saat panen raya. Karena harga jatuh 'diserang' over supply. Menurut Bob Sadino, persoalan itu mungkin dapat diatasi dengan perubahan budaya, karena persoalan makan adalah persoalan budaya. Andaikata rakyat Indonesia mulai gemar makan kentang, petani tentu akan menanam kentang, bukan padi. Harga kentang sangat bagus saat itu. Sementara, kentang termasuk makanan yang kandungan gulanya tidak terlampau tinggi, sehingga cukup dianjurkan bagi pengidap diabetes. Apakah kemudian jadi kebule-bulean? Sebenarnya, saat ini pun kita sudah terbiasa dengan menu kentang goreng setiap berkunjung ke restoran cepat saji dan kafe-kafe di malam hari.

Antara pesan melalui sms dengan pendapat Bob Sadino itu, memang tak terlampau berhubungan karena ihwalnya berbeda. Saya hanya ingin menarik benang merah dari kata umbi-umbian (bukan padi-padian) yang cenderung sekeluarga dengan kentang. Kembali kepada pesan Ayu di awal pembicaraan, sesungguhnya ada pertanyaan yang lebih mendasar. Mengapa negara adikuasa menjadi 'sewenang-wenang' menetapkan embargo kepada negeri-negeri yang tetap perkasa walaupun hancur secara struktural? Tentu karena merasa terancam oleh semangat perjuangannya yang tak kunjung luntur. Kampanye perlindungan hak azasi yang dikibarkan oleh negara-negara maju justru merugikan hak azasi pihak yang lemah. Seperti upaya mereka yang keras untuk mencegah keberadaan nuklir di Iran, justru tampak timpang karena Israel tak pernah dilarang melakukan kegiatan apa pun.

Sudah seharusnya kita rindu pada kata 'gemah-ripah' yang selalu lekat dengan kata 'Indonesia'..Setiap kali melakukan perjalanan Jakarta-Bandung melalui Puncak, mata kita memperoleh terapi kesegaran dengan tumpah-ruahnya sayur dan buah nyaris di sepanjang jalan Ciawi - Cipanas. Rasanya tak percaya Indonesia bisa krisis hanya dari melihat hasil bumi, termasuk yang digelar di Pasar Induk Kramat Jati, yang seolah tak kenal musim. Mengapa lidah kita kemudian diajari dengan selera yang mengingkari kekayaan lokalitas? Akibatnya kita selalu mendamba segala yang mendapat label luar negeri.

Kata 'ketergantungan' menjadi paradoks dengan 'kemandirian'. Indonesia pernah berniat terlepas dari bantuan hutang luar negeri, terutama dari sejumlah donor yang dengan bantuannya justru akan membuat kita senantiasa tunduk. Namun di lain kesempatan, kita kembali perlu menawarkan kepada negara asing untuk menanam investasi di 'tanah subur' Indonesia. Perlawatan Presiden dan Wakil Presiden ke luar negeri, antara lain untuk mencapai maksud itu. Sedangkan 'tanah subur' yang dimaksud adalah, boleh jadi, rasa aman yang mulai ditata kembali, mengambuhkan perilaku konsumtif masyarakat, kemudahan persyaratan, dan ... andai Undang-undang No 13 tentang Ketenagakerjaan jadi merevisi salah satu pasal tentang kebebasan tenaga kerja asing menduduki jabatan apa pun pada sebuah perusahaan... memang akan mengundang jemari tangan asing untuk memainkan orkestrasi ekonomi pada piano kebijakan dunia industri kita.

Barangkali ada semacam kata kunci yang harus ditanamkan pada pola pikir dan tindakan kita, sehubungan dengan pergaulan ekonomi dan politik terhadap negara dan bangsa lain. Banyak contoh di sekitar negara tetangga yang tidak lebih makmur dari keadaan bumi Nusantara, tapi memiliki sikap yang patut dipertimbangkan. Misalnya India, yang bersikukuh menggunakan nama Maruti untuk mengganti merk Suzuki yang beredar di negara itu. Atau merk Mitsubishi menjadi Proton Saga di Malaysia. Dengan demikian, penjajahan dalam bentuk apa pun sebaiknya dihindari.

Ungkapan yang sering terdengar, dengan dialek Betawi, adalah: lu jual gua beli! Dalam dunia kependekaran, pernyataan itu tentu bermakna: jika anda menawarkan tantangan, saya akan meladeni. Gayung bersambut dalam arti seteru. Namun secara harafiah terjadi pula dalam bidang ekonomi. Negara-negara produsen, demikian Bapak Soebronto Laras pernah menyampaikan dalam pengantar meeting, menganggap Indonesia sebagai pasar yang bagus bagi segala produk. Apa artinya itu? Siapa pun yang berjualan di negara kita, akan laris manis. Mulai dari burger MacDonald sampai dengan sedan Jaguar.

Kewaspadaan yang disampaikan oleh sahabat, yang masih peka terhadap nasionalisme di awal tulisan ini, perlu diberikan ruang dalam pemikiran kita. Setidaknya, bolehlah kita berganti peran sebagai produsen dan negara lain yang tergila-gila dengan barang buatan kita. Sebagaimana dilakukan negara Cina, yang perlahan-lahan ingin menggeser kiblat belanja dunia. Rasanya boleh saja kita bercita-cita untuk berkata: gua jual lu beli! Dengan upaya mencapai peran seperti itu, ketika kita tak lagi bergantung kepada pihak asing, tetapi justru mereka yang membutuhkan produk Indonesia; suatu saat tak hanya tenaga kerja yang kita kirim ke luar negeri. Kata 'embargo', mudah-mudahan akan jauh dari kamus pergaulan perdagangan Indonesia yang mau tidak mau turut bermain dalam atmosfir globalisasi.

"Setuju, Mbak Ayu. Percayalah, makanan khas Indonesia lebih sehat dibanding yang datang dari luar." Dengan demikian, seperti kata Aa Gym : "Mulailah dari yang paling kecil, dari diri sendiri, dan lakukan sejak hari ini." Rasanya, ajakan serupa itu tak hanya berlaku untuk ibadah secara khusus, namun terbuka bagi segala upaya yang bermakna kebaikan. Termasuk usaha melepaskan diri dari sikap ketergantungan dan mulai dengan kemandirian . Tapi, lakukan setiap tindakan dengan dasar cinta, bukan karena rasa marah atau dendam.

(Kurnia Effendi)

PENGANTIN LUKA, K Usman

Launching Buku "Pengantin Luka" karya K. Usman
(kurnia effendi)

Sabtu yang cerah, tanggal 27 Mei 2006, sekitar pukul 10, saat dalam perjalanan ke rumah Iksaka Banu, saya ditelepon Bapak K Usman. Beliau tanya: "Kurnia sudah terima undangan dari saya?" Saya jawab: "Sudah, tanggal 27, kan?" Dalam pikiran saya, tanggal 27 bukan hari Sabtu ini. Baru sadar saat K Usman mengingatkan: "Ditunggu jam dua nanti ya di Gramedia Depok." Ya. Hari itu, K Usman akan meluncurkan bukunya yang terbaru, berjudul "Pengantin Luka", diterbitkan oleh Penerbit Kompas, Januari 2006 yang lalu.

Sekitar jam 12, saya telepon anak saya di rumah, tepatnya mengajak dia untuk turut dalam acara launching buku K Usman. Demikianlah, saya berangkat berdua dengan Najma Amtanifa ke Depok. Menempuh perjalanan hampir satu jam, kami tiba terlambat. Gramedia Depok yang (rasanya) lebih megah dari Gramedia Matraman, dilengkapi dengan eskalator menuju ke lantai dua: ruang segala buku dan tempat diskusi yang diatur sederhana.

Hanya disediakan tempat duduk untuk sekitar 30 orang, saya mengambil posisi di belakang, berdiri, dan tepat menghadap ke arah 'panggung', agar mudah memotret. K Usman yang sedang menjawab pertanyaan pertama dari peserta acara, menyempatkan menguccapkan: "Selamat datang ananda Kurnia Effendi..." Saya tersanjung (atau terharu?) merasa seolah-olah telah menjadi anaknya.

Mungkin saya terlambat 15 menit, karena Mbak Fitri telah membacakan satu cerpen sebagai pembuka acara. Yang hadir dalam perhelatan sederhana itu antara lain para sahabat satu generasi: Hamsad Rangkuti, Diah Hadaning, Rahmat Ali, Martin Aleida, Ana Mariana Masi, dan ... (ini surprise) Soekanto SA! Kelompok yang muda tentu saya, Fanny Poyk (putri Gerson Poyk), Miranda Putri, beberapa mahasiswa, guru bahasa, dan wirausahawan peminat sastra.

Yang menarik, selain sepuluh pertanyaan terbaik akan mendapat hadiah buku dari penerbit Kompas, K Usman menjawab dengan ilustrasi cerita. Di bawah ini beberapa contohnya:

Lusi bertanya:
"Bagaimana agar percaya diri menjadi pengarang? Saya selalu ngeper duluan setiap melihat karya orang dimuat di majalah atau surat-kabar."

K Usman menjawab:
"Di Amerika, ada seorang pengarang yang memulai karirnya sejak usia 40 tahun. Namanya William Pockner (kalau saya tak salah dengar - penulis). Ia bekerja di daerah prostitusi, setiap malam bergaul dengan para wanita tuna susila dan pengunjung rumah bordil yang memerlukan jasa seksual, minum bersama dan ngobrol dengan mereka. Ia pun menuliskan seluruh pengalaman pergaulannya dalam sebuah novel lantas ditawarkan kepada penerbit. Oleh beberapa penerbit ditolak. Ia pun mencoba memberikan manuskripnya kepada sahabat dan pengarang lain untuk memperoleh kritik dan masukan. Kemudian ia melakukan penulisan ulang untuk memperbaiki naskahnya setahun kemudian. Singkat cerita, akhirnya ada penerbit yang bersedia merilis buku tersebut. Tanpa disangka, karyanya menjadi best seller di Texas. Jadi, Lusi yang masih usia 23 tahun, tak perlu pesimis. Lanjutkan cita-cita menjadi penulis dan percaya diri. Di sini ada Miranda Putri yang mulai menapak karirnya sebagai penulis."

Ana Mariana Masi bertanya:
"Menurut Arswendo Atmowiloto, mengarang itu gampang. Bagaimana menurut pendapat K Usman?"

K Usman menjawab:
"Arswendo itu orang pede (percaya diri), jadi ia memberikan optimisme bagi orang yang ingin menjadi pengarang. Benar, mengarang itu gampang bagi orang yang bisa mengarang. Tetapi bagi seorang calon penulis yang pernah sampai 53 x ditolak oleh redaksi, tentu mengarang tidak gampang. Artinya dibutuhkan perjuangan yang sungguh-sungguh dan jangan mudah putus asa."

Soekanto SA bertanya:
"K Usman saya kenal sebagai penulis cerita untuk anak-anak di Majalah Kuncung yang saya asuh. Apakah sekarang masih bisa mengarang cerita anak-anak? Sekarang tidak ada lagi kisah-kisah seperti yang pernah dimuat di Kuncung. Dulu ada tradisi Kemisan (setiap hari Kamis) sebagai tempat berkumpulnya para pengarang cerita anak di kantor redaksi Kuncung."

K Usman menjawab:
"Saya masih menulis cerita anak-anak. Saya juga menulis cerita remaja, di antaranya di majalah Aneka Yes. Dan saya juga menulis cerita orang dewasa. Sebagai bukti bahwa saya menulis cerita anak-anak, ini buku terbaru saya berjudul 'Anak Cerdik yang Diculik', saya hadiahkan untuk Pak Soekanto sebagai senior saya."
K Usman menghampiri tempat Soekanto memberikan sebuah buku. Tak mau kalah, Soekanto membalas juga dengan sebuah buku yang baru terbit sebagai cetakan kedua berjudul 'Orang-orang yang Tercinta'. Tepuk tangan menyambut 'upacara' pertukaran karya itu.

Diah Hadaning bertanya:
"Ada orang berpendapat, bahwa untuk mengarang diperlukan bakat 25%, niat 25% dan kemauan atau kerja keras 50%, bagaimana menurut K Usman?"

K Usman menjawab:
"Sekitar dua minggu yang lalu, Safir Senduk berdiri di sini, mengumumkan bukunya yang terbaru mengenai ekonomi praktis. Bagi penulis seperti SS, mungkin benar hanya memerlukan bakat 25%. Karena referensi untuk menulis buku ekonomi dan sejenisnya cukup banyak bertebaran di ruangan ini. Tetapi untuk mengarang sastra sangat ditentukan dengan bakat. Dengan bakat besar, seorang pengarang akan menghasilkan karya yang baik dan monumental. Berapa banyak penulis yang diorbitkan oleh mendiang HB Jassin? Tapi tinggal berapa gelintir yang tetap konsisten menjadi pengarang? Itu bukti mengenai pentingnya bakat."

Zen (wiraswasta) bertanya:
"Apa sisi menarik dari karya K Usman sehingga saya perlu membacanya? Saya membaca Pram karena kuat pada sejarah. Saya membaca Ahmad Tohari karena kuat pada latar tradisi local. Saya membaca Dewi Lestari karena mengandung filsafat kontemporer."

K Usman menjawab:
"Saya tidak bisa menceritakan kekuatan isi dari tulisan saya. Cara yang paling baik adalah, Zen membeli buku saya dan membacanya, baru akan tahu di mana sisi menarik dari tulisan saya."

Rahmat Ali bertanya:
"K Usman sebagai pengarang, apakah didukung oleh keluarga? Saat menulis apakah menjadi gangguan bagi keluarga atau merasa terganggu oleh keluarga?"

K. Usman menjawab:
"Saya merasa, anak-anak saya bangga ayahnya sebagai seorang pengarang. Buktinya? Anak sulung saya hadir di sini. Menantu dari anak saya yang lain hadir bahkan dengan cucu-cucu saya. Istri saya juga hadir di sini."

Irwan (guru bahasa) bertanya:
"Apa yang membuat K Usman menulis sampai kini?"

K Usman menjawab:
"Waktu saya masih duduk di kelas 3 Sekolah Rakyat, tahun 1951, ada seorang guru yang suka bercerita. Namanya Pak Mulani, mungkin beliau sekarang sudah meninggal. Pada suatu hari, Pak Mulani membaca cerita dari sebuah buku, dengan judul 'Si Jali dan Anak Harimau'. Setelah selesai, beliau bertanya, apakah ada yang dapat menceritakan kembali dengan bahasa sendiri? Karena tak seorang pun mengankat tangan, saya menyediakan diri maju ke depan kelas. Maka saya menceritakan ulang kisah Si Jali dan Anak Harimau. Sekitar lima menit saya bercerita, teman-teman bertepuk tangan. Kata mereka, saya bercerita lebih baik dari Pak Mulani. Sejak saat itulah saya bercita-cita ingin menjadi penulis cerita yang baik."

Nida bertanya:
"Mengapa K Usman secara dominan menceritakan tokoh perempuan?"

K Usman menjawab:
1. Saya menikah muda, jadi lebih awal tahu bagaimana perasaan seorang perempuan atau isteri.
2. Karena saya pernah menjadi redaktur majalah wanita (Sarinah), selama 13 tahun, pergaulan saya banyak dengan kaum wanita.
3. pada dasarnya kaum hawa itu perlu kita bela

Windo (mahasiswa filsafat UI) bertanya:
"Bagaimana jika kita hidup tanpa huruf?" (wah pertanyaannya mengandung filsafat ya - penulis)

K Usman menjawab:
"Hidup tanpa huruf pasti gelap-gulita. Itu bisa ditanyakan kepada kedua orang tua saya yang buta huruf. Waktu Indira Gandhi menjenguk ayahnya, Nehru, di penjara, pernah bertanya. Apa yang saya bawakan buat ayah? Nehru menjawab, bawakan buku-buku untuk ayah. Karena buku adalah jendela dunia. Lantas kalimat itu menjadi pepatah yang terkenal, bahwa buku ibarat jendela untuk kita melihat dunia.

Kurnia Effendi bertanya:
"Kapan K Usman akan membuka pelatihan menulis? Jika sudah, saya akan menjadi salah satu muridnya agar bisa mengarang lebih baik. Juga akan membantu menjadi guru untuk membimbing para pemula."

K Usman menjawab:
"Sejak tahun 1963 saya menjadi guru bahasa di Taman Siswa Kemayoran. Saya sudah memberikan pelajaran kepada banyak murid saya. Setelah itu saya menjadi redaktur dan editor pada sebuah majalah, juga berarti membimbing para penulis naskah. Sekarang saya ingin menghabiskan sisa waktu untuk menulis yang baik agar lebih bermanfaat bagi banyak orang. Saya belum - bukan tidak - menjadi pengarang besar. Saya balik pertanyaannya, kenapa bukan Kurnia Effendi saja yang membuka kelas mengarang dan saya akan memberikan support."

Demikianlah beberapa contoh tanya jawab yang terjadi sepanjang satu setengah jam dalam suasana yang akrab dan santai. Kini, 11 tahun terakhir, K Usman menikmati hidupnya sebagai pekerja sastra yang pekerjaan sehari-harinya hanya menulis dan momong cucu. Banyak calon penulis yang sengaja berkunjung ke rumahnya di Vila Kalisari untuk konsultasi. Di rumah K Usman, mereka tak hanya mendapat pelajaran tapi juga disuguh makan siang. Kadang-kadang mereka pulang, jika masih pelajar SMP, diantar naik angkutan kota. Karena mobil K Usman ada di rumah menantunya.

Bincang-bincang itu selesai dengan pembagian buku dari penerbit Kompas bagi 10 pertanyaan terbaik, dan diutamakan bagi para calon penulis. Sebelum ditutup, K Usman meminta Fitri (seorang Sarjana Hukum, novelis, editor penerbit) untuk memberikan kesan tentang karya K Usman. Ia berpendapat: "Kesederhanaan gaya ungkap K Usman justru membuat cerita menarik dan kuat, bahkan kita terhanyut dan tak sadar meneteskan air mata haru oleh kekuatan karakter pada penokohannya yang tidak hitam-putih."

K Usman juga memberikan 4 buah buku (di antaranya "Sesudah Musim Jamur" dan "Sahabat Kita Belibis Telaga") bagi yang dapat menjawab pertanyaan mengenai cerpen yang dibacakan pada awal acara. Selanjutnya, bagi pembeli buku "Pengantin Luka" pada hari itu disediakan diskon 10% dan langsung mendapatkan otograf dari pengarangnya.

Saya menghampiri K Usman, sekali lagi menjabat erat tangannya (seraya mencuri kekuatan keryanya ke dalam denyut rajah tangan saya), mendoakan agar beliau tetap sehat dan terus berkarya. Lantas berpamitan.

Tuesday, May 30, 2006

Duka Tak Bernama

Duka Yogya, Duka Kita Bersama

Kurnia Effendi

Oleh serangkai alasan, saya batal turut bersama rombongan melakukan perjalanan ke Magelang, malam Sabtu itu. Dua belas teman saya berangkat lepas Isya, dengan dua mobil, menyusuri lelampu jalanan, menempuh jarak yang jauh, menuju lereng Tidar. Ada teman kantor yang mengundang kami untuk menghadiri upacara pernikahannya Sabtu 27 Mei 2006, saat matahari sepenggalah, tak jauh dari Borobudur. Sebuah hari bahagia yang sangat lazim dirayakan bersama (mudah-mudahan) sekali seumur hidup.

Fajar baru saja menyapu remang perbukitan, ketika gempa tektonik itu bekerja. Guncangan besar dengan 5,9 skala Richter dari lepas pantai Laut Selatan, tak jauh dari Yogyakarta, menyebabkan wajah kota itu poranda. Beratus bangunan gegar, terban, dan runtuh, dengan korban lebih dari empat ribu orang tewas. Paras maut itu tak tampak, tapi begitu lekas membereskan yang tampak. Seorang teman dari Surabaya menyampaikan lewat telepon: "Gempa di Yogya itu, getarannya sampai ke tempat kami." Oh, alangkah jauh lidah petaka itu menjulur, seperti Banaspati menjilat jejak kaki sang seteru.

Saya gemetar dan termangu oleh duka tak bernama. Bagaimana dengan dua belas teman saya yang, tentu, telah sampai di tempat tujuan? Saya bertanya melalui pesan ringkas, namun tak kunjung berjawab. Sekitar tengah hari saya mendapat kabar, justru dari kawan yang baru saja meninggalkan Yogya menuju Solo: "Calon pengantin dan keluarganya selamat, namun rumah sang mempelai lelaki di Bantul 'rata' dengan tanah. Seluruh penghuni sempat keluar lima menit sebelum ambruk." Aksara yang tercetak pada monitor telepon selular seperti huruf yang setiap hari tampil. Tetapi terasa sungguh, ada sejumlah air mata yang membasah atas kenyataan yang terjadi begitu dini. Ke mana impian hari bersejarah itu terlempar?

Rencana bermalam panjang dalam kehangatan suasana Malioboro tak mungkin dilanjutkan. Kecuali ingin menjadi makhluk asing yang berpesta di tengah suasana musibah. Sementara setiap pelataran rumah-sakit dan halaman rumah yang bebas dari reruntuhan menjadi tempat perawatan darurat. Dan seorang penyair memberi tahu, bahwa Yogya sangat membutuhkan bantuan dokter, obat, cairan infus, selimut, ranjang darurat.... Listrik padam, komunikasi tidak lancar karena krisis pulsa, tangis terdengar di mana-mana.

Kita harus lekas menyingsingkan baju dengan cara masing-masing. Berebut detik dengan cakar maut yang memetik satu per satu arwah para korban, sebelum terjadi duka lanjutan. Seorang ahli menyampaikan fakta, bahwa struktur tanah bumi Yogyakarta dan pantai selatan merupakan endapan lahar gunung berapi yang mengandung batu kapur dengan sifat mudah mengembangkan guncangan gempa. Mungkin benar, dan terbaca melalui landasan pacu bandara yang retak.

Jika kita sejenak diminta untuk merenung, sesungguhnya apa penyebab bencana ini? Benarkah semata fenomena alam yang sudah seharusnya secara berkala memberikan tanda siklusnya? Apakah sepasang lempengan bumi di dasar laut masih juga memerlukan waktu bertahun ke depan untuk saling menyesuaikan diri? Mengapa harus Aceh, hampir dua tahun yang lalu, dan Yogya, akhir pekan ini? Kita akan sulit menjawab karena sangat mengenal ranah Aceh sebagai 'serambi Mekkah' dan Yogya merupakan kota ningrat dengan silsilah kesultanan yang arif, yang paling tenang saat kerusuhan meruyak di segala penjuru. Mengapa petaka justru terhembus ke dua daerah istimewa itu?

Bahkan kita tak terlampau paham: ini sebuah murka atau semacam ujian? Sejauh yang patut kita lakukan adalah merendahkan hati, melepaskan arogansi, membentang kedua telapak tangan, meminta kepada Tuhan agar segala dosa (yang sengaja atau tidak sengaja) diampuni. Kadang-kadang, oleh sederetan ambisi pribadi, kita lupa pada nilai pekerjaan kita: untuk memberi manfaat atau merugikan orang lain? Ketulian telinga kita, gelapnya hati-nurani kita, kebutaan mata kemanusiaan kita, runtuhnya benteng moral kita, sama sekali tidak kita sadari. Kita perlu 'mandi besar' untuk seluruh pelampiasan nafsu kemaruk diri.

Saya masih gemetar dan termangu oleh duka tak bernama. Di saat seperti ini, sekalipun pemerintah menyiapkan bantuan 50 milyar, bukan berarti kita yang tak punya apa-apa diam berpangku tangan. Saya terharu ketika seorang pekerja radio di Malang minta informasi kondisi di lapangan setiap saat agar dapat menyebarluaskan demi memanggil bantuan. Saya terharu ketika seorang pengarang yang menggemari ketegangan justru muncul welas asihnya dan mengedarkan nomor rekening lembaga atau yayasan yang akan menampung dan menyalurkan dana kemanusiaan. Bahkan Sitok Srengenge dan Andrea Hirata masih berada di sekitar korban, mencoba meredakan panik massa dengan semampunya.

Malam makin larut, namun penderitaan belum surut. Untuk sementara lupakan perbedaan pendapat di antara kita mengenai segala hal. Sudah saatnya kita malu dengan perilaku sendiri, yang andaikata berlatar cermin raksasa, kita tak sudi memandangnya. Kita ingin membantah, bahwa tampang beringas itu bukan berasal dari wajah kita, tapi diam-diam malaikat selalu mencatatnya. Diam-diam pula, atau tanpa kita tahu, malaikat mengirimkan laporan itu kepada Tuhan.

Tuhan, sungguh, kami nyaris tak mampu menanggung musibah ini. Kecuali ikhlas dan sabar, berikanlah kekuatan tambahan agar langkah kami tak limbung untuk mencapai sebenar-benar harapan. CahayaMu selalu kami jadikan suluh perjalanan.

***
Jakarta, 28 Mei 2006

Saturday, May 27, 2006

Dua Peristiwa Lalu

Mengenang QB Plangi:

Diskusi Buku "ZAHIR" Karya Paulo Cuelho
di QB Plaza Semanggi

(7 April 2006)

Tanggal 7 April mengingatkan saya akan judul lagu Fariz RM dalam album "Trapesium" SYMPHONY Band tahun 1982, yang berjudul April 7. Liriknya ditulis oleh Jimmy Paais, mengisahkan tentang pacaran yang kelewat batas, dan pada tanggal 7 April terjadilah...

Tetapi tanggal 7 April 2006 (malam kedua pertunjukan Rendra di TIM), saya terpikat undangan yang dilayangkan oleh Reader Digest, diskusi novel Zahir karya Paulo Coelho yang akan berlangsung di QB world Book Plaza Semanggi. Kebetulan saya, beberapa hari sebelumnya, menerima Matabaca edisi April yang membahas tuntas tentang pengarang fenomenal itu.

Siang sepulang dari kunjungan showroom Suzuki, saya sms Hetih Rusli, memastikan apakah dia datang dalam acara itu. "Tentu datang dong. Perca datang gak?" balasnya. Kubilang: "Konon Endah akan datang," Kemudian, rupanya, mereka berdua saling berkomunikasi. Itu saya ketahui saat Endah mampir ke kantor saya untuk berangkat bersama ke Plaza Semanggi. Dan perjalanan ke sana, melalui jalur Casablanca, luar biasa macet. Tumben. Mungkin karena menjelang long week end.

Tentu saja, kami terlambat. Saling melambai dengan Hetih yang sedang bercakap di sisi resepsionis. Rupanya acara sudah bermula. Pembicaranya seorang perempuan cantik berjilbab didampingi seorang moderator yang juga perempuan cantik (tapi tidak berjilbab). Ketika mendapatkan copy makalah yang sedang dibahas, terbaca nama: Santi Indra Astuti. Siapakah dia? Saya terus terang tidak kenal. Tetapi Endah seperti teringat sesuatu. Nah, itu dia! Rupanya Mbak Santi adalah isteri dari Krisna Danuaji alias Gangsar Sukrisna (atau Sukriswan?) orang penting di Penerbit Bentang Pustaka.

Santi begitu fasih membahas Zahir. Yang paling menarik buat saya, Zahir membicarakan cinta. Zahir yang memiliki arti : wujud, nyata, mengada, adalah cinta yang mewakili seluruh perasaan manusia. Saya pikir tadinya Santi adalah seorang psikolog, yang begitu piawai dan lancar mengutarakan setiap inci perasaan seseorang yang mencintai dan dicintai. Ketika pasangan suami-isteri telah memiliki anak, perasaan cinta itu meluas. "Zahir saya sekarang mungkin adalah anak-anak saya." Begitu katanya. Dan itu dibenarkan melalui sharing pengalaman Pak Nung Atasana (marketing penerbit Gramedia Pustaka Utama). Pak Nung mengaku pernah merasa sepi padahal sedang berdua dengan isteri (perkawinannya telah menginjak usia ke 26, melampaui kawin perak), sementara ketika dia kehilangan komunikasi dengan anaknya, saat terpisah lantai di Plaza Semanggi, karena sang anak dihipnotis dan handphone-nya berpindah kepada si penjahat, luar biasa rasa cemas dan kehilangannya. Jadi, benarkah ego kita telah berkembang, sehingga posesif itu tidak hanya melingkari sang isteri (atau suami), melainkan sudah merengkuh kepada anak-anak kita?

Sebenarnya, kata Santi menanggapi reaksi pertanyaan salah seorang penyimak, Paulo Coelho mempertanyakan makna cinta, terutama keharmonisan pada perkawinan, dalam buku itu. Apakah pasangan cinta yang harmonis adalah cipika-cipiki menjelang pergi ke kantor pagi hari, candle-light dinner setiap malam minggu... bukankah kemudian akan menjadi rutin dan 'membosankan'? Ritual yang kemudian menjadi artifisial jika akhirnya kehilangan makna. Bahkan yang sesungguhnya terasakan, sebuah cinta baru bermakna atau mewujud di saat kita kehilangan. Seperti keberadaan sepasang tangan kita yang dianggap biasa-biasa saja. Namun begitu satu direnggut putus, mungkin baru terasa bahwa tangan kanan atau kiri kita itu begitu besar gunanya...

Seperti biasa, acara diskusi yang begitu efektif dan mengalir lancar dengan pembahas yang menguasai masalah dan moderator yang lincah memancing reaksi di sana-sini mengenai isi buku Zahir, diakhiri dengan doorprize. Yang dibagikan oleh penerbit Gramedia (acara ini kerjasama antara Reader Digest, Gramedia, dan QB) adalah buku-buku karya Paulo Coelho. Antara lain Sang Alkemis, Gunung Kelima, Di tepi Sungai Piedra. Demikianlah, 55 orang di café QB merasa terpuaskan, termasuk oleh kudapan berupa lemper dan risoles. Karena Hetih sudah pamit duluan, kami tidak lagi bisa berbincang. Yang kemudian kami buru adalah: Santi Indra Astuti.

Mula-mula Endah yang nyelonong maju, memperkenalkan diri, dan kudengar antarmereka saling "ah" dan "oh". Mungkin merasa telah saling kenal nama tetapi baru bertemu muka saat ini. Lalu saya dipanggil untuk bergabung. Ketika saya perkenalkan nama, Santi pun mengucap: "Ooooh..." Tentu saya berdebar, jangan-jangan yang tersisip di pikirannya saat mendengar nama saya adalah sesuatu yang negatif. "Mas Kris suka cerita, katanya: pokoknya habis ini..." Wah, apa maksudnya? Biarlah itu berkumandang sebagai sipongang yang tak perlu saya terka maknanya.

"Jadi sebenarnya tinggal di mana? Kok makalah ini ditulis di Bandung?" Tanya saya. Rupanya Santi mengajar Komunikasi di Unisba (Universitas Islam Bandung), jadi separuh minggunya berada di Bandung, separuh lainnya di Yogya. Dan sebagai editor lepas penerbit Serambi, tentu kadang-kadang berada di Jakarta. Dengan Mas Kris, dia telah bersepakat untuk gantian pergi, agar anak-anak tetap ada yang menjaga. Apakah ini bentuk pengejawantahan dari Zahir?

Tepat setengah sepuluh kami meninggalkan QB Plaza Semanggi. Karena Endah memang janjian dengan teman sekaligus tetangganya, Dina, di acara itu, maka kami berpisah. Saya meluncur sendiri ke rumah. Mencari Zahir saya. Ya, Zahir... Hernadi Tanzil telah menulis resensinya dengan baik di Koran Tempo beberapa waktu lalu.

Peluncuran Buku "KAMI DAN KITA" Karya Fuad Hasan
di Toko Buku AKSARA - Kemang

(11 April 2006)

Sejak tanggal 28 Maret 2006, seusai acara peluncuran buku puisi "Kusampaikan" Lintang Sugianto di Omah Sendok, saya diundang oleh Bagus Takwin (Aten) agar hadir pada acara launching buku Pak Fuad Hasan di Aksara Kemang tanggal 11 April 2006. Serta-merta saya bilang ke Mbak Ely, "Wah, tampaknya bertepatan dengan jadwal acara berkala di Selasar Omah." Tapi Aten mengklaim, bahwa undangannya telah 'terkirim' lebih dulu.

Suatu petang menjelang, dua atau tiga hari sebelum 11 April, masuk sms yang nomornya tak termemori dalam ponsel saya. "Mas Kef, ini Olivia dari Bunga Matahari. Tukeran buku yuk? Saya sudah membaca satu cerpen di buku pertama Mas Kef, kesan saya: sehalus sutera..." Terus terang saya gemetar girang. Ternyata saya masih suka dipuji - yang moga-moga bukan basa-basi. Tentu segera saya jawab: "Aduh senangnya disapa oleh penyair cantik. Oliv mau buku yang mana?" Begitulah, komunikasi itu bersambung beberapa kali, dan Olivia merasa menyesal tidak sempat tahu saya hadir di ulang tahun Koran Tempo. Padahal sayalah yang bersalah, kenapa tidak menyapanya waktu melihatnya di lobi bersama dengan Feby Indirani.

Akhirnya kami janji bertemu di Aksara Kemang, setelah saya sampaikan bahwa pada tanggal 11 ada acara di sana. Hujan deras mengguyur Jakarta sejak pukul dua siang. Saya sudah cemas andai hujan terus berlangsung. Oliv mengkonfirmasi akan hadir di Aksara. Saya pun berangkat setelah maghrib, seraya mendengarkan berita di radio tentang macet di sana-sini, sementara perjalanan saya begitu lancar ke arah Bangka.

Saya tiba dengan agak sangsi, karena nama Aksara begitu mungil terpampang di pylon. Diapit huruf yang lebih mencolok: News Café dan Krosno Duty Free di kanan dan kiri took buku itu. Rasanya Mbak Laksmi Pamuncak mesti mengubahnya menjadi lebih besar. Untunglah rak-rak yang menampilkan buku-buku itu terlihat jelas dari luar melalui kaca-kaca lebar. Begitu tiba di ruang diskusi, saya temukan Bagus Takwin dan Silvy (kekasihnya). Sudah ada Pak Fuad Hasan dan Ibu Toeti Herati yang juga baru tiba. Sambil mengambil cemilan ala Amerika, saya menyapa Dewi Lestari yang sedang menyeruput kopi sambil berdiri. Ia mengaku dating sendiri (tanpa Marcel, maksud saya). Lantas saya duduk. Mata saya menyeputar, dan meneukan Eric Sasono (kritikus film) juga Baby James Aditya (sang aktivis untuk penderita HIV Aids).

Agaknya suasana yang karib itu sengaja dibangun melalui coffee break dulu. Masing-masing bergerombol dalam kelompok kecil, bicara ini dan itu. Saya sms Olivia, memberitahu keberadaan saya.

Jam setengah delapan, acara diskusi dengan pembicara Ibu Toeti Herati dibuka oleh sang moderator, Drs. Sigit. Lantas Pak Fuad diberi kesempatan biacara terlebih dahulu. Ia sampaikan bahwa bukunya ini merupakan hasil tesisnya di tahun 1967 dan pernah diterbitkan sekitar 40 tahun lalu dalam bahasa Indonesia. Sekarang, oleh penerbit Winoka yang bekerjasama dengan Aksara, naskah itu diterbitkan kembali dalam bahasa Inggris. Namun demikian judulnya tetap "Kami and Kita". Dicium dari gelagatnya, karena Pak Fuad alumnis psikologi, tentu mengandung unsure psikologi dan filsafat. Dan memang benar.

Bahwa Kita adalah sebuah kebersamaan yang melibatkan semua pihak dan merupakan transcendental keKamian. Sedangkan Kami selalu menyisihkan salah satu pihak agar tak terengkuh dalam keKitaan. Pak Fuad merasa yakin, seperti dalam tesisnya, bahwa tak ada seorang pun benar-benar sendirian. Seseorang akan memerlukan orang lain, atau sesuatu yang lain, dalam hidupnya. Bahkan ketika seseorang berusaha menyendiri, dia akan menemukan sesuatu yang lain: misalnya tuhan, hantu, atau... Sebagi contoh adalah Nietsche yang menyepi ke gunung Alpen, namun justru melahirkan "Demikian Sabda Zarathrusta" (benarkah nulisnya demikian?) yang secara megalomania dia maklumkan sebagai karya terbaik sepanjang sejarah, bahkan jika dibandingkan dengan seluruh karya manusia di bumi yang digabung menjadi satu. (Tentu ia kemudian menjadi penghuni rumah sakit jiwa).

Sementara Toeti Herati, yang lulus psikologi tahun 1962, pernah diuji oleh Pak Fuad Hasan. Rasanya ini menjadi pertemuan antara dosen dan mahasiswa, atau antara pengagum dan idola. Di tengah diskusi itu, saya melihat Olivia sudah datang tapi sengaja berdiri di belakang.

Saya bangkit dari kursi dan menghampirinya, lalu mencari tempat ngobrol di ruang baca anak-anak. Di situlah kami saling bertular buku. Olivia menghadiahi saya sebuah buku kumpulan puisi Olivia Kristina Sinaga yang bertajuk: RAIU. Dan dengan senang hati saya serahkan "Senapan Cinta" kepadanya. Obrolan berlanjut seru, karena pada dasarnya saya selalu kagum dengan kaum muda yang kreatif dan mau 'berkorban' demi sastra. Tak lama kemudian, Dee bergabung ke ruangan itu bersama dua orang yang sedang menggunjing masalah kebudayaan. Selanjutnya bergabung pula Bernadetta (saya ingat, dia yang pegang mike ke sana kemari melayani peserta yang hendak bertanya pada diskusi "Zahir"). Benar, dia berkalung name-tag Reader Digest. Dan ternyata, dia adalah pengarang teenlit "Superstar" yang diterbitkan oleh C Publishing. Jadi dia kenal Mas Kris Bentang, tentu, dan terasa ada hubungan dengan: kenapa pembicara Zahir adalah Santi?

Seperti biasa, kami (Olivia, Bernadetta, dan Dewi Lestari, juga saya) berfoto, sebelum kami jeda untuk ambil kopi. Saat saya, Oliv, Detta, kembali ke ruang baca anak dan minum seraya melanjutkan perbincangan, tampaklah Sihar Ramses Simatupang dan Yusi Avianto Pareanom. Segera saya bajak mereka untuk bergabung sebelum duduk di kursi diskusi. Di ruang itu, ruang baca anak-anak, Yusi mengeluarkan dua buah calon buku dari tasnya. Minta pendapat pada kami. Tentu kami mendukung tujuan-tujuan mulia itu...

Peristiwa bubar pukul 21.15. Saya masih sempat memotret Pak Fuad yang sedang sibuk diwawancara oleh banyak media. Kami pamitan pada Aten Bagus Takwin, yang agaknya menjadi seksi sibuk pada acara ini. Sampai di luar took buku Aksara, saya usulkan agar Olivia ikut saya saja karena jalan kami searah. Seharusnya: jalan "kita" ya? Atau Kami dan Kita? Ah, itu judul buku Pak Fuad Hasan yang sampulnya indah sekali.

Begitulah, kami meluncur pulang. Hujan telah sepenuhnya reda. Tapi Olivia bilang, bahwa ibunya masih di gereja Cikini (seberang TIM, di belakang restoran AHA) yang atapnya ambruk karena entah oleh angina atau pohon tumbang. Perjalanan kami sempat memutar ke Senopati, lalu teringat Omah Sendok. Bukankah seharusnya Selasa malam ini ada acara juga di sana?

Setelah Olivia, penyair muda cantik yang bersemangat itu (bukunya diendorsement oleh Seno Gumira Ajidarma, Rieke Dyah Pitaloka, dan Jose Rizal Manua), turun di depan Gelael Tebet - "Tinggal jalan kaki sedikit," katanya - saya melanjutkan perjalanan ke Jakarta Timur. Sambil mengirim sms ke Akmal Nasery Basral dan Ely: "Apakah di Omah Sendok malam ini ada acara? Saya tidak melihat pengumuman di milis." Hampir secara bersamaan mereka menjawab, yang intinya: "Libur dulu, pengumuman ada di milis Selasar Omah."

Ya, jeda itu perlu. Seperti juga tulisan ini, sudah saatnya jeda. Sampai ketemu di "Peristiwa" yang lain.

Salam,
Kurnia Effendi

Friday, May 26, 2006

Peristiwa Sastra 19 Mei 2006

Launching Buku Puisi Gus tf
di QB Kemang
19 Mei 2006, pukul 20.00 WIB

Mula-mula saya dikabari oleh Endah, bahwa tanggal 19 Mei 2006, Gus tf meluncurkan bukunya yang terbaru. Kumpulan puisi. Itu tiga hari sebelumnya. Tentu saya kirim sms kepada Gus tf untuk memastikan. Rupanya benar, Gus tf berencana mengundang via sms keesokan harinya.

Jumat yang ditunggu tiba. Endah mampir ke kantor saya, dan kami berangkat bersama ke QB Kemang, tempat acara akan berlangsung. Sejam sebelumnya Akmal sms, membatalkan kehadirannya, sekaligus membatalkan kongkow di Tamani Café. Ia kirim permintaan maaf jika Tarlen ada di acara Gus tf. Di jalan, kami kabari Joko Pinurbo, siapa tahu berada di Jakarta dan bermaksud hadir juga. Jokpin yang juga diharapkan datang oleh Gus tf , ternyata tak dapat memenuhi harapan itu, ia kirim salam saja (untuk Endah, bukan untuk Gus tf).

Setiba di QB Kemang, saya menelepon Tarlen. Ah, rupanya pemilik Tobucil itu sedang ngopi di Bakoel Koffie dan hendak nongkrong di TIM. Ya sudahlah, ternyata memang bersimpang jalan. Saya sampaikan saja pesan Akmal. Selanjutnya kami naik ke lantai dua, tempat QB bercokol. Saya menulis buku tamu di urutan pertama... ah, sepi betul? Pasti lantaran kemacetan kota Jakarta. Dengan sedikit bujuk rayu Endah, kami mendapat masing-masing sebuah buku Gus tf, antologi puisi "Daging Akar" yang diterbitkan oleh Penerbit Kompas.

Kami memasuki café yang menjadi tempat diskusi. Seluruh kursi masih dibiarkan kosong. Saya segera melihat sosok Gus tf. Dan di meja yang dipasang di sudut depan, sudah ada Radhar Panca Dahana bersama Karlina Supeli Leksono sedang menikmati santap malam kentang goreng. Saya menyapa Gus tf, dan kami berpelukan melepas kangen. Lalu saya kenalkan dengan Endah, yang sejak keberangkatan ingin foto berdua dengan penyair Payakumbuh itu.

Lantas mata saya tertumbuk pada Nurzain Hae (Zen Hae) dan Melvi Yendra yang sedang berdiri di balik sebuah rak buku. Saya menghampiri mereka, bertukar kabar. Sejenak kemudian Nirwan Ahmad Arsuka muncul, dan selintas ngobrol soal Azzikra. Karena acara akan mundur, dan Endah (walaupun sudah berbagi donat dalam perjalanan) masih merasa lapar, kami pun pesan santapan di café QB.

Akhirnya pukul 20 acara dimulai. Dibuka oleh moderator Zen Hae, yang memanggil kedua pembicara: Nirwan Arsuka dan Karlina Leksono, untuk duduk di sofa yang diatur layaknya panggung. Acara diawali dengan pembacaan dua puisi oleh Radhar Panca Dahana. Dengan pengantar, bahwa persahabatannya dengan Gus tf dimulai dari saymebra menulis puisi dan menang bersama beberapa tahun silam.

Nirwan Arsuka mendapat giliran pertama bicara. Ia menganggap Gus tf adalah penyair yang menulis puisi dengan memikirkannya (seperti halnya Subagyo Satrowardoyo dan Radhar Panca Dahana). Pandangan keterasingan manusia dalam puisi-puisi Gus tf, juga tentang kosmos, sudah dianggap ketinggalan zaman. Gus tf seolah mengambil Demokritus sebagai gagasan spiritual. Seperti juga yang terdapat pada karya Edgar alan Poe. Namun menurut kajiannya, pada puisi-puisi Gus tf terkandung nilai pantun. Terlihat dari ciri adanya gelombang imaji pertama yang didorong oleh gelombang imaji kedua, dan seterusnya (semacam sampiran dan isi).

Sedangkan Karlina merasa cemburu terhadap Gus tf, yang dengan kosa kata tak sekaya prosa, mampu membuat kesan mendalam pada puisi-puisinya. Sebagaimana pengakuannya, ia jarang membaca puisi sampai dua kali, sedangkan untuk beberapa puisi Gus tf ia sempat tertegun dan merenung. Dari sisi kosmologi, Gus tf menyebutnya sebagai "kawasan entah" terdapat sisi gelap manusia: yang dingin, sepi. Menggambarkan jatuhnya manusia dari keabadian, yang merindu, dalam dirinya berebut ketegangan antara yang hancur dan yang kekal. Di situ terdapat pergulatan antara materialisme dengan idealisme. Dengan kata lain, menurut Karlina, puisi-puisi Gus menggambarkan kejatuhan manusia yang kedua kali.

Susi, tokoh rekaan dalam tiga puisi Gus tf dalam antologi "Daging Akar" mendapat sorotan dari kedua pembicara. Di sini Susi adalah simbol, yang ditulis dalam tiga setting waktu, sejak sebelum Masehi sampai tahun 2000. Sebenarnya, Gus tf ingin menceritakan pergolakan budaya dan sikap manusia sesuai dengan latar waktu peristiwanya.

Malam itu, Karlina Leksono ingin menggunakan kebebasannya sebagai pembaca, ia tak hendak mengintip isi keranjang balon udara yang sedang dikendarai Gus tf. Dengan pengalamannya mendengar dongeng, ia merasakan sajak Gus tf membawa manusia dari kawasan entah, menarik dari kosmos yang luas menuju kosmos yang paling gelap, lalu... merasa gentar.

Ketika dibuka sesi tanya jawab, Radhar memberikan tanggapan: Gus tf mengajak pembaca untuk berpikir melalui puisi-puisinya. Akan berbeda dengan para pembaca yang sudah biasa menikmati puisi Sapardi, tentu akan merasa asing berhadapan dengan puisi Gus tf. Terlepas dari itu, sebenarnya kekuatan imajinasi masyarakat sanggup melampaui itu semua karena kenyataan sehari-hari kadang lebih fantastis. Radhar memberikan contoh mengenai dua berita yang pernah dibacanya:

1. Ada berita tentang seorang homo yang memakan daging pasangan seksualnya, tetapi polisi tidak dapat menjeratnya ke dalam hukum. Kenapa? Karena peristiwa itu sudah menjadi perjanjian mereka dalam semacam upacara. Setelah melakukan hubungan seksual sesama lelaki, satu di antaranya bersedia dipotong kelaminnya untuk dikunyah mentah-mentah, lalu tubuhnya diiris-iris agar dapat dimasukkan ke dalam kulkas, dan setiap hari menjadi menu santapannya. Yang mengherankan, ada beberapa lelaki homo lainnya yang siap antre menjadi korbannya.

2. Di kolong jembatan sekitar Rawamangun, seorang ibu melahirkan anaknya tanpa bantuan orang lain. Setelah tali pusar disayat, dilepaskan dari ari-ari, bayi yang baru menghirup udara dunia beberapa menit itu dipelintir kepalanya hingga tewas. Lantas dengan tenang jasad yang tak lagi mampu menangis itu dihanyutkan di sungai keruh, mengalir lambat ke arah utara. Tentu heboh ketika ditemukan oleh warga daerah yang dilewati arus sungai. Setelah polisi mendapatkan ibunya untuk dituntut hukuman, sang ibu menjawab tanpa rasa bersalah: "Saya tak punya uang untuk memelihara bayi itu. Saya juga tak tahu, bayi itu dari sperma lelaki yang mana."

Binhad bertanya ringkas tapi tampaknya tak mendapatkan jawaban yang memadai dari siapa pun. "Rahasia puitik apa yang terdapat pada puisi-puisi Gus tf?" Dia menganggap yang ditampilkan adalah keindahan kognitif, bukan afektif... (Ah, kok bermain istilah psikologi?)

Adi Wicaksono, setelah secara berkelebat membaca puisi-puisi dalam "Daging Akar" menemukan semacam benang merah antara Dorothea dan Gus tf. Dalam puisi Dorothea terungkap perjuangan manusia, ketika manusia kalah, ia bisa merebut kembali kemenangannya yang dicapai melalui 'daging' sebagai penakluk dunia. Dalam hal ini, daging identik dengan seksualitas. Tampaknya Gus tf meneruskan gagasan itu.

Ketika Nirwan Dewanto didaulat untuk menyampaikan pendapat, dia 'menyerang' Nirwan Arsuka. Dia menganggap Arsuka selalu berposisi sebagai pengamat yang harus mencari ide-ide dari sebuah buku atau karya. Diingatkan bahwa dalam puisi Gus tf tidak ada ide telanjang. Sebagaimana cirri-ciri puisi modern, umumnya penyair tidak serius dengan gagasan penciptaan. Tujuan utama penyair adalah mengosongkan ide dari tubuh puisi. Yang lahir adalah simbolisme. Gus tf, dalam hal ini, bermain tangkap dan lari dengan citraan itu. Sebagai contoh, satu citraan yang dicuri dari arkeologi (menggali, menemukan), yang digali adalah lapis-lapis yang tidak ragawi. Sebenarnya Gus tf tidak sedang bercerita tentang arkeologi atau kosmologi. Senjata utama Gus tf adalah paradoks, misalnya: suara di segala sepi... dsb. Sejak awal, dalam diskusi ini, kata Nirwan, tidak membahas masalah sastra. Justru yang perlu kita tahu, lanjut Nirwan, dari mana sajak Gus tf ini bersumber? (tentu dari pendahulunya, tak mungkin lepas dari pengaruh itu). Siapa precursornya? Tidak lain Sapardi, begitu pendapat Dewanto. Selain Joko Pinurbo, Gus tf adalah penyair yang mencoba mengembangkan gaya Sapardi.

Nah, tentu makin panas ketika Nirwan Arsuka membalas tuduhan itu. Dan Nirwan Dewanto menegaskan lagi: "Dalam James Joice atau Samuel Becket, kita tak akan mendapatkan ide kecuali bentuk. Kita akan sia-sia mencari ide misalnya pada lukisan abstrak atau musik atonal..."

"Tapi tidak setiap lukisan itu abstrak, dan tidak setiap musik atonal," balas Arsuka, dst. Sampai kemudian Chavcay dari Media Indonesia turut nimbrung, dengan mengambil terminologi karya pada abad-abad lampau.

Sementara Gus tf yang kadang duduk di antara Martin Aleida dan Hamsad Rangkuti, kadang di depan bersama Radhar, tetap saja tersenyum-senyum. Sementara Endah tetap duduk di kursi tinggi bar sambil ngobrol dengan Farah yang wajahnya khas bintang sinetron.

Benar, yang hadir pada acara itu tak banyak, sekadar memenuhi jumlah kursi yang ada. Namun para tamu itu rasanya 'bukan orang sembarangan'. Tercatat oleh saya: Hamsad Rangkuti, Nirwan Dewanto, Ubiet, Martin Aleida, Chavcay Syaifullah (Media Indonesia), Sori Siregar, Binhad Nurrohmat, Melvi (Matabaca), Adi Wicaksono, Eka Kurniawan, Ratih Kumala, Ica (istri Ignatius Haryanto), Farah (artis sinetron), Edy A. Effendi (redaktur budaya Media Indonesia), Hasif Amini, Lulu (penyair), Arie F Batubara (pengamat teater)

Karlina Leksono pamitan sebelum terjadi polemik lisan, karena kakinya mulai kesemutan. Hasif Amini juga menghilang diam-diam sebelum diminta menjadi penanggap selaku 'pawang' puisi di Kompas Minggu.

Saya memilih sebagai penikmat saja. Melvi Matabaca yang duduk di sebelah saya juga menggeleng-geleng, mungkin pusing dengan perdebatan tingkat tinggi, yang tak semuanya dapat saya tuliskan di sini. Rupanya diskusi mereka (dua Nirwan, dikelilingi para 'ahli' sastra) berlanjut secara lebih intens seusai acara diskusi resmi. Tapi saya perlu pulang, tak tahan dengan asap rokok yang mulai menyesaki ruangan. Tentu saya pamit setelah: 1. Memotret Endah berdua dengan Gus tf, dan 2. Memastikan Gus tf menginap di mana (rupanya ia bermalam di rumah Edy A Effendi).

Malam melarut, suhu susut, waktu beringsut...

(Kurnia Effendi)

Kartupos untuk Iksaka Banu

Dear, Iksaka Banu.

Di tanganku ada naskah menarik. Satu cerita tiga tema atau satu tema tiga cerita, ah apa pun istilahnya, Agus Noor telah menggerojokkan informasi yang umumnya tersembunyi, melalui cerpennya yang berkisah tentang seorang pembunuh. Aku seperti diajak ke sebuah sudut sunyi oleh seseorang yang hendak mengakui rahasia perbuatannya. Mirip bisik yang menegangkan, gegas bagai dikejar jadwal. Setelah usai barulah aku gemetar dan takjub: adakah fakta itu berlangsung di sekitar kita? Agus Noor tetap berpijak pada latar yang aktual dan faktual, mengesankan kita seolah pernah kenal dekat dengan tokohnya, atau berada di wilayah peristiwanya. Agar lebih paham dengan yang kumaksud, bacalah!

Salam,
Kurnia Effendi

Kolom Jeda Tabloid Parle Edisi 38, 22 Mei 2006

BANGKIT
kurnia effendi
ACAP kali kita merasa paling nelangsa, ketika mobil yang setiap hari kita kendarai ke kantor tiba-tiba mogok. Menit merambat cepat, tak dapat menghindar dari terlambat. Keringat mengalir membasahi kemeja karena tak terlampau paham perihal mesin, lalu-lintas pun terhambat gara-gara kendaraan kita. Padahal janji meeting tinggal sebentar lagi, masih banyak yang harus disiapkan pada sepenggal pagi. Menelepon montir untuk mengurus mobil? Menelepon teman sejawat untuk membantu ini-itu? Mencari taksi sebagai kendaraan pengganti? Saat itu, baru kita sadari, bahwa segala yang beres dan normal, merupakan kenikmatan. Begitu rutinnya nikmat, membuat kita lupa bersyukur.

Karena saya sedikit pandai menulis, segala pekerjaan yang melibatkan aksara dan makna, tidak memerlukan waktu lama buat merangkainya. Dengan satu atau dua buah buku sebagai hasil karya, sudah merasa bangga ke mana-mana. Terbiasa dengan komputer mutakhir, tentu bakal enggan menulis dengan piranti zaman baheula. Sedikit saja surut ke belakang: ketika lampu belum seterang ini, saat mengirim naskah harus melalui jasa tukang pos, manakala untuk membuat halaman rangkap terpaksa memasang kertas karbon di antara dua lembar dorslaag; ... uf, mana mungkin terlahir karya besar? Ya, saya telah menafikan sebuah sejarah asal-muasal dengan congkak.

Lalu pada suatu hari, saya melakukan perjalanan dinas ke Malang. Seorang teman, Lan Fang, mengajak saya untuk singgah di rumah perempuan pengarang bernama Ratna Indraswari Ibrahim. Kami ditemui di beranda kamarnya, yang menghadap kolam dengan air mancur kecil. Di sekitarnya tumbuh beberapa batang cemara. Sungguh sebuah tempat yang inspiratif. Pantas jika Mbak Ratna begitu produktif menulis. Tapi, bagaimana cara Mbak Ratna menulis? Sejak remaja dia lumpuh, sehingga separuh dari waktunya sehari-hari dihabiskan di atas kursi roda. Sedangkan tangannya tak bisa bebas bergerak. Serta-merta saya merasa malu melihat diri sendiri: bukankah saya seharusnya lebih produktif ketimbang dia? Apa yang kurang pada diri saya?

Bulan berikutnya saya duduk satu meja dengan seorang pengarang belia untuk bersama-sama menjadi pembicara. Siang itu, kami meluncurkan novel remaja. Saya gemetar saat menyadari bahwa Melissa Puspa Chandra, novelis berusia 18 tahun itu, ternyata tunanetra. Bagaimana cara dia menulis? Sedangkan untuk membaca catatan sebagai bahan bicara pun menggunakan huruf Braille? Saya merasa tak tahu diri, karena anugerah yang saya miliki belum optimal saya kerahkan. Apa yang kurang pada diri saya?

Dapat disimpulkan, selama ini saya masih tergolek malas di ranjang waktu. Padahal senantiasa tersedia kesempatan untuk bangkit dan mulai melakukan apa saja yang bermakna. Membaca, menulis, berkarya, menyingkap kabut yang membatasi pandangan kita terhadap cakrawala harapan di baliknya. Barangkali ada sebuah contoh menarik untuk memulai langkah baru justru ketika kita sangat lelah, agar tak pernah menyesal.

Ada seorang perenang wanita yang berambisi menaklukkan selat-selat dan teluk di dunia dengan cara berenang menyeberanginya. Dalam catatan sejarah, warga negara Amerika itu telah menaklukkan beberapa selat terkenal. Dan ia bermaksud menyeberangi Selat California.

Pada pagi musim dingin yang berkabut, di saat banyak orang lebih suka meringkuk di tempat tidur atau ngobrol di depan perapian, ia justru memulai debutnya. Segala persiapan dilakukan, termasuk dukungan pihak keluarga. Saat itu, musim dingin mencapai puncaknya. Manakala orang lain tak berminat keluar rumah, wanita perenang itu justru menceburkan dirinya ke dalam laut.

Mulailah pertarungan untuk mencapai rekor sebagai orang pertama yang menyeberangi Selat California. Namun pandangannya tak lebih dari seratus meter ke depan karena tebalnya kabut di atas permukaan laut. Perjuangan yang sungguh berat, tapi semangat perenang itu luar biasa. Sepanjang berenang, ia hanya memercayakan kepada arah yang dituju, di bawah kesaksian tim yang terus memberi dorongan. Setiap aral rintangan berupa ikan hiu dan binatang laut dihalau oleh tim pelindung. Ia terus berenang melawan ombak, menyongsong kabut yang tak pernah kunjung menipis, sampai akhirnya ia berputus asa. Sanak-saudara dan para sahabat beserta tim pencatat rekor terus memberi semangat agar ia meneruskan berenang. Air matanya tumpah dan ia sudah berada di puncak lelah, sementara di depan pandangannya terbentang kabut putih semata.

Akhirnya menyerahlah dia! Ketika tubuhnya dinaikkan ke atas kapal untuk meneruskan perjalanan ke tepi pantai, ternyata sisa jarak pantai tujuan tak lebih dari setengah mil. Jarak yang sungguh dapat ditempuh seandainya perenang itu bersedia bersabar beberapa saat. Kenyataan itu membuatnya kecewa luar biasa dan tak bisa memaafkan diri sendiri. Ia tak pernah menduga, di balik kabut itu terbentang hamparan pantai tujuan.

Meskipun pada kesempatan berikutnya ia mampu mengulang dan berhasil menyeberangi Selat California, peristiwa kegagalannya itu menjadi torehan luka yang tak terhapuskan. Kabut telah menipu pandangannya!

Dengan demikian, waktu yang telah saya sia-siakan tanpa sungguh-sungguh berjuang, sama halnya dengan membiarkan 'kabut' di depan mata terus menipu. Tak ada alasan buat saya untuk tetap tergolek di ranjang dengan selimut kemalasan. Sementara Ratna Indraswari Ibrahim dan Melissa Puspa Chandra tak henti menjalin karya. Bangkit adalah kata yang tepat untuk berdiri dan melangkah mengusir kabut. Sebagaimana kebangkitan kaum intelektual pendahulu kita, hampir seratus tahun lalu, untuk mulai menyingkap selimut penjajahan yang mengepung berlarut-larut.

Untuk menaklukkan malas, kesia-sian, rasa letih, putus asa, sekaranglah waktunya. Untuk bangkit, masihkah kita akan menunggu? ***

Thursday, May 18, 2006

Kisah Kamis

Dua Wawancara

Kamis 18 Mei 2006, pukul 08.15.

(satu)

Telepon selularku bergetar. Suara seorang wanita di seberang memperkenalkan sebagai ibu dari Sinta. Sinta adalah mahasiswa Unpad Fakultas Fikom. Sejak tiga hari sebelumnya, Sinta sudah menelepon dari Bandung, hendak mewawancaraiku demi sebuah tugas mata kuliah jurnalistik. Namaku diperkenalkan melalui seorang pamannya yang bersahabat dengan Pemimpin Redaksi Azzikra. Terpilihlah aku sebagai pengarang yang hendak diwawancara karena (mungkin) tak ada kandidat lain. Seperti biasa, aku bersedia. Seraya membayangkan, jika anakku kelak harus mewawancara pengarang, siapa nama yang hendak kusodorkan?

Ibu Sinta menelepon karena sinta sedikit kesasar. Sebenarnya dia sudah sampai di depan Carrefour, tapi yang teringat Exxon Mobil, bukan Indomobil. Berhubung pulsa Sinta terbatas, dia minta bantuan ibunya untuk menjembatani memberi arah yang benar. Ringkas cerita, Sinta telah sampai di lantai 7 Wisma Indomobil, tempat kantorku bercokol. Sementara saat itu aku masih berdiskusi via telepon dengan Pemimpin Umum Tabloid Parle. Selang lima menit kemudian kuakhiri karena seorang tamu harus segera ditemui.

"Manakah yang bernama Sinta?"
"Saya,"

Aduhai: dia seorang gadis mungil yang cantik. Baru memandang saja sudah gemas dibuatnya. Bagaimana rasanya diwawancara olehnya? Tentu tak akan bergeser tatapan mataku dari kelopak matanya yang indah dan bibirnya yang tipis tanpa lipstick.
"Kenalkan ini adik saya," Sinta menoleh kepada seorang pemuda, yang kemudian kutahu baru kelas I SMA. Namanya Wasi.
"Sebentar, aku cari ruangan ya?"

Kudapatkan Ruang Satria (nama type motor Suzuki) yang memiliki meja bundar dan 4 kursi. Cukuplah. Kami duduk menyeputar dengan view Carrefour dan lalu lintas yang memadat di bawah sana.

Kami berbasa-basi sebentar seputar campur tangan sang ibu. Selanjutnya Sinta mengeluarkan seperangkat alat rekam, yang microphonenya dijepit pada dasiku. Wah, serius rupanya. Jadi aku pun menanyakan siapa nama dosennya, dan sekarang dia semester berapa. Rupanya masih duduk di semester dua, dan belum penjurusan.

"Apa yang Sinta ingin tahu dari aku?"

Dengan senyum yang terus awet dikulum, dia membuka daftar pertanyaan (wahai, 3 halaman A4...gak salah?), dan pertanyaan mengalir dari bibir tipisnya. Mulai dari bagaimana caraku menulis, berapa jumlah karya, kapan mulai menulis (tentu sebelum Sinta lahir), siapa pengarang yang dikagumi, apa judul cerpen favorit, apa pendapatku mengenai perkembangan teenlit, perkembangan bahasa, dan sikap terhadap kurikulum bahasa, apakah harus ada bakat, bagaimana sebaiknya isi buku ajar... Lantas minta lampiran biodata. Adiknya memotretku tiga kali. Dan kuberikan 'bonus' sebuah buku plus materi penulisan kreatif yang pernah kugunakan di Matabaca.

Waktu kubuat otograf di bukunya, kutulis nama lengkapnya: SINTA REGI HAPSARI, nama yang seindah pemiliknya. Kusuguhi mereka teh manis, karena tak terasa telah ngobrol satu jam, dan tentu mereka beranjak haus.

Percakapan pun selesai. Sebelum pamitan, aku minta tolong kepada kakak angkatannya (alumni Fikom Unpad yang berada di bagian Advertising Suzuki, namanya Ilya Deharina, teman SMP Mang Jamal Itenas) untuk memotret kami berdua. Nah, terjeratlah sudah Sinta ke dalam frame yang akan mengekalkan senyumnya!

Menjelang sore, ibu Sinta kembali menelepon, mengucapkan terima kasih atas bantuanku terhadap puterinya. Serta menceritakan sedikit kehebohan: Sinta telah menelepon banyak temannya, bahwa tugasnya telah melebihi ekspektasi semula, karena mendapat buku dari pengarangnya... Ah, aku yang tersipu dibuatnya.

(dua)

Seusai makan siang, aku membaca kumpulan cerpen Agus Noor yang hendak diterbitkan oleh Penerbit Kompas (ah, ini off the record!). Di tengah keasyikan, telepon selularku bergetar. Ada suara yang begitu merdu dan mikrofonik, seorang laki-laki, dan tak perlu menduga-duga, dia segera mengaku dari Radio Sonora. Ah, ada apa lagi?

"Benarkah ini Mas Kurnia Effendi?"
Tentu kubenarkan karena aku tak punya nama samaran.
"Ini dari Radio Sonora, boleh ngobrol on air?"
Wah, pasti ada yang ngerjain! Apalagi ketika sang penyiar itu ngomong begini:
"Mas Kurnia katanya baru saja meraih kejuaraan, mengenai apa ya?"
"Apa ya? Saya baru saja memperoleh peringkat kedua Karyawan Teladan di Suzuki Group."
Rupanya, ada seorang teman sejawat di bagian Faktur Kendaraan yang ingin memberi apresiasi dan ucapan selamat lewat udara. Ah, ada-ada saja.

Akhirnya terjadilah wawancara seputar Karyawan Teladan Suzuki. Mbak Endang, sang pemberi info, membocorkan cerita lain lagi bahwa Kef itu penulis dan tahun lalu mendapatkan penghargaan Kompas atas cerpennya yang masuk ke dalam 10 cerpen Kompas terbaik. (Waduh, nyambung bener! Kompas kan sekeluarga dengan Sonora). Di ujung perbincangan (yang ternyata disimak oleh teman-teman dari bagian Administrasi), Sonora mempersilakan Mbak Endang mengucapkan kata-kata selamat dan harapannya kepadaku. Lantas ditutup dengan sebuah lagu.

Aku segera menghampiri departemen itu bukan dengan marah, tapi dengan suka-cita. Rasanya itu sebuah cara mengucapkan selamat yang berbeda dengan yang umumnya terjadi. Bayangkan kalau sampai didengar oleh... siapa? Ya, misalnya teman-teman Kompas-Gramedia group, tentu semakin tercemar... eh, terkenal namaku.

Terima kasih Mbak Endang. Aku jadi lebih tersipu hu-hu.

(kurnia effendi)

Sekilas Karyawan Teladan


Sekilas Proses Menuju Sang Teladan

Kamis, 18 Mei 2006.

Saya ingin (dan sekarang sudah) memberitahu kepada semua sahabat, baik di dalam maupun di luar kantor, bahwa akhirnya saya meraih peringkat kedua sebagai "Karyawan Teladan Suzuki, 2006". Syukur alhamdulillah. Peringkat pertama diraih oleh karyawan dari Produksi Suzuki Mobil di Tambun, di departemen HRD bagian Industrial Relations. Cocoklah menurut saya, karena 70% soal test berisi urusan perselisihan perburuhan, ILO, cara menghitung pesangon pegawai yang pension (dengan contoh kasus), perundang-undangan dan keputusan menteri mengenai ketenagakerjaan... Saya berterima kasih telah sampai pada ujung perjuangan dengan istilah "sampai titik pikiran penghabisan" (karena tidak perlu berdarah-darah). Saya berhasil dengan rileks menyampaikan presentasi makalah, dengan tema: Pasar Bebas, Kemitraan Serikat Pekerja, Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Otomotif, dan Revitalisasi / Reposisi Manajemen. Untuk urusan ini, ehem, nila saya paling tinggi.

Doa tulus, dukungan moral, curah pikiran dan hasrat, genggam jabat tangan hangat, tiupan motivasi, menjadi bekal saya untuk tampil di panggung seleksi. Saya suka merasa berada di luar sangkaan, karena tak pernah bercita-cita menjadi karyawan teladan. Siapa yang menilai? Siapa yang memprovokasi Direksi agar memilih nama saya? Tahu-tahu ketika saya sedang berada di luar kantor, ada telepon dari sekretaris Direktur Marketing, memberi tahu bahwa saya dicalonkan menjadi karyawan teladan, dan siap esok pagi jam 9 untuk mengikuti tes seleksi awal prakualifikasi tingkat Direktorat. Test ini telah menggugurkan dua orang, dari 10 yang diajukan.

Saya masih mencoba mencari criteria. Mosok gara-gara tak pernah telat sampai di kantor dan sering terlambat pulang dari kantor menjadi ukuran yang memadai? Saya hanya berusaha bekerja di ruang lingkup yang menjadi tanggung jawab saya, bergaul dangan semua bagian, tidak membangkang kecuali untuk urusan sastra (haha), menjadikan perjalanan dinas sebagai tugas yang menggembirakan, bersedia makan di sisi kali Ciliwung (kami menyebutnya Warung Siska - Sisi Kali - mungkin Ita Siregar pernah membaca tulisan kolom gado-gado di Femina yang mengangkat judul: "Amigos atau Siska". Sementara Amigos maksudnya: Agak Minggir Got Sedikit) dengan dasi digulung bersama office boy dan sopir. Sering terus terang minta pencerahan kepada para senior... Prestasi, wah itu urusan atasan yang berhak menilai.

Test kompetisi antar lokasi (MT Haryono & 3S, Tambun I Motor, Tambun 2 Mobil, Cakung Komponen), terdiri dari 40 orang terpilih dari seluruh direktorat. Akan dipilih 3 peringkat dari masing-masing lokasi, jadi akan sejumlah 12 orang yang mendapatkan hadiah. Dan rupanya, kali ini merupakan sejarah, karena baru pertama kali wakil dari MT Haryono (saya) menjadi juara lokasi (mengalahkan semua Cabang Suzuki, Direktorat Service, dan Direktorat Spare Part). Hal itu sebenarnya menunjukkan, betapa cueknya orang-orang kantor pusat dengan urusan kompetisi seperti ini. Abai terhadap buku Kesepakatan Kerja Bersama yang berisi hak dan kewajiban karyawan. Jadi, ketika hasil kompetisi tingkat lokasi diumumkan, dewan juri pun merasa surprise.

Tapi, saat kompetisi final antar-juara pertama lokasi berlangsung, kompetitor dari Tambun itu memang bukan tandingan saya. Jadi saya harus ikhlas melepaskan bonus (di luar hadiah resmi) dari Pak Soebronto Laras berupa tiket naik haji.

Salah seorang Panitia Seleki Karyawan Teladan, jam 10, memanggil saya untuk bicara empat mata. Bukan karena alangkah rahasianya pembicaraan, melainkan karena tak ada lagi yang akan diajak bicara kecuali saya di MT Haryono. Pertama dia mengucapkan selamat, dia mengakui tahun ini mengejutkan. Kedua, peringkat pertama akan dilepas untuk kompetisi tingkat Kabupaten Bekasi (karena basis Suzuki di Tambun, alamat pabrik), melawan para juara dari perusahaan lain. Untuk tahun ini, kemungkinan saya dicalonkan untuk kompetisi di wilayah Kotamadya (karena kantor pusat berada di MT Haryono, Cawang, Jakarta Timur). Saya agak terbelalak: jadi masih harus belajar? Terus terang saya sampaikan, kalau ini mewakili perusahaan, saya minta ditraining oleh para pakar Hubungan Industrial dan teman-teman di Serikat Pekerja.

Itulah sekilas cerita tentang proses dan pengalaman menjadi sang kandidat. Semua motto, prinsip, dan visi-misi perusahaan, harus melekat di kepala. Sementara pekerjaan tetap berlangsung seperti biasa. Jadi, cukup melelahkan juga. Untunglah ada banyak power tak terlihat yang dating dari semua sahabat. Terima kasih.

Kurnia Effendi

Wednesday, May 17, 2006

Cerita di Koran Tempo 30 April 2006

Kamar Anjing
Cerpen: Kurnia Effendi

TIGA tahun silam aku bertandang ke rumah Aditya untuk pertama kali. Sore itu, mula-mula aku bersepeda ke taman sekolah, seraya mendapatkan Palupi di sana. Aku mulai hafal, dara manis itu setiap hari Senin dan Kamis sore mengambil les Matematika. Rasanya ingin berpura-pura tak sengaja memergokinya keluar dari kelas. Berharap ia bersedia kubonceng menuju ke rumahnya. Sejauh apa pun.
Sore itu aku melihat Adit, yang bukan teman sebangku, juga ada di sana. Seketika ada desir cemburu memberangus aliran darahku. Kulihat sepedanya lebih bagus dibanding milikku. Itu membuat perasaanku sedikit sedih.
"Hai!" sapaku. Sambil tersenyum, menduga-duga.
"Kris!" Adit membalas, lalu mendekat. "Menunggu siapa?"
"Tidak menunggu siapa pun." Aku tidak ingin tersipu, apalagi gugup. "Iseng saja. Kamu sering ke taman ini?"
"Kadang-kadang saja. Lebih kerap berkeliling ke Balai Kota. "
"Tiap sore?"
"Tidak juga." Adit sedikit tersenyum. "Mau menemani? Sekarang?"
Aku bimbang. Sebentar lagi waktu les berakhir. Tapi belum tentu beruntung bisa bercakap-cakap dengan kembang SMP itu. Sebetulnya tak pernah ada janji dengan gadis itu. Serta-merta kuputuskan menemani Adit. "Ayolah!"
Selanjutnya roda sepeda kami menggelinding menyusuri jalan aspal. Di bawah naungan rimbun jajaran pohon asam keranji. Berbincang seperti sahabat lama. Tak terasa aku mengiringi Adit sampai ke halaman rumahnya. Dia mengajakku singgah dan berkenalan dengan orang tuanya.
Saat bertemu dengan ayahnya, aku agak terperanjat.
"Krisna, teman Aditya." Aku mengulurkan tangan.
"Sentot. Ayah Adit." Senyumnya terkembang. Senyum yang khas. Senyum jenaka yang amat kukenal. "Mari masuk."
"Pak Sentot yang punya..."
"Aha, kamu penggemar Chocky?" Senyum Pak Sentot melebar. Terasa ada kebahagiaan. "Kamu masih ingat rupanya? Bukankah sudah lama berlalu."
Aku mengangguk tanpa melepaskan pandangan kagum. Ternyata Adit anak orang terkenal! Sentot Karyoto itu pemilik boneka Chocky yang bisa 'bicara'. Boneka yang memiliki gerakan indah pada kepala dan rahang saat 'berbicara'. Semula aku terkecoh dengan permainan itu: dialog antara Chocky dan Pak Sentot yang menjalin dongeng atau petuah bagi anak-anak. Akhirnya aku tahu, yang diucapkan Chocky juga suara Pak Sentot, yang dikeluarkan melalui perut tanpa terlihat menggerakkan bibir. Ajaib!
Tanganku ditarik Adit, seolah aku anaknya yang membangkang dan bertahan di depan segugus mainan menarik. Aku diseret gegas menuju ke kamarnya di bagian belakang rumah. Sebelum aku bicara satu-dua hal tentang ayahnya, di meja telah dihamparkan berpuluh komik terbitan Marvel. Mataku berbinar tanpa sadar. Menyenangkan juga terdampar di kamar ini! Mengapa tidak sejak dulu?
Saat pamit, matahari sudah tak tampak lagi. Senja hampir menjadi malam. Di pintu pagar kusempatkan bertanya kepada Adit: "Aku ingin melihat langsung ayahmu memainkan boneka Chocky..."
Adit hanya mendengus tanpa terlihat bangga. Lalu tangannya melambai seperti mengusirku. Aku pun meluncur dengan sepedaku meninggalkan halaman rumah Adit, tanpa merasa tersinggung. Karena hari mulai gelap. Aku ingin segera tiba di rumah, ingin lekas membaca dua buah komik yang kupinjam.

***

"TAHUKAH kalian? Ternyata ayah Adit itu pengisi acara..."
"Hus! Jangan banyak omong!" Sebuah tangan membekap mulutku. Tangan Adit. Tangan yang lebarnya sanggup memenuhi wajahku. Teman-teman yang berkerumun di depan kelas tertawa-tawa melihatku megap-megap. "Ayo, aku lihat pekerjaan rumahmu! Nomor delapan!"
Aku diseret ke dalam kelas. Lalu kubongkar tas dan kuberikan buku Matematika. Tapi ternyata ia tak sungguh-sungguh hendak menyalin. Ia hanya ingin menjauhkan diriku dari teman-teman, terutama karena terlontar kata-kataku tentang pekerjaan ayahnya.
"Pulang sekolah kamu mau ke mana?" tanya Adit serius.
"Ke mana? Tentu saja pulang."
"Di belakang sekolah kita, tebu-tebu sedang dipanen. Kita ke ana yuk! Kamu mau menemani?"
Aku mengangguk setuju. Setahuku, jika kita minta tebu dan makan di tempat, para mandor penjaga itu tidak keberatan. Tengah hari itu, kami berlari di atas pematang sambil sesekali jatuh ke tanah retak bekas ditanami tebu. Ada serangkai lori, kereta tebu, yang memanjang di atas rel ukuran mini. Para penebang tebu sedang sibuk mengikat lonjoran-lonjoran yang telah memenuhi beberapa gerobak besi itu.
Tapi ternyata, Adit tidak serakus yang kubayangkan. Kami baru makan sebatang tebu berdua, memeras air manis itu dengan mengunyah batang yang dikupas oleh gigi. Cairan manis beraroma harum itu mengalir dari serat yang menyerpih ke tenggorokan, mengalihkan panas mentari yang menyengat. Lalu Adit mengajakku duduk di atas tumpukan batang tebu di sisi pematang.
"Kamu suka Chocky?" tanyanya tiba-tiba.
"Hm... ya dulu suka. Tapi aku sekarang bukan anak kecil lagi."
"Kalau begitu, Chocy hanya cocok untuk anak kecil?"
Aku ragu mau menjawab. Tapi sejak semula aku ingin jujur kepadanya.
"Mestinya begitu. Kalau sudah seusia kita, rasanya sulit memercayai percakapan dua orang yang sebenarnya hanya satu." Kataku. "Menurutmu bagaimana?"
Adit menggeleng. Tapi tampak wajahnya keruh. Seperti orang marah.
"Kamu tampaknya tidak menyukai Chocky. Kita cari gelagah saja. Kita bikin mainan dari batang bunga tebu itu. Kamu tahu caranya?"
"Kamu tahu, berapa umur Chocky?" tanyanya tak perduli dengan usulku.
"Wah, mana kutahu? Apakah dia juga tumbuh seperti manusia?" Aku hampir takjub mendengar pertanyaannya.
"Dia seumur denganku. Empat belas tahun!"
Aku tertawa. "jangan-jangan dia juga disunat seperti kamu."
Kepala Adit tertunduk. Membuat aku menyesal menanggapinya dengan bercanda.
"Begitu aku lahir, ayahku membuat boneka itu." Adit bergumam.
Aku pun memandangnya dengan serius. "Apakah bermaksud membuat mainan untukmu?"
"Tidak. Ia menganggap Chocky sebagai diriku yang lain..."
"Maksudmu?"
"Setiap kali ia memainkan Chocky di televisi, ia menganggap sedang bermain denganku. Bercakap-cakap denganku."
"Wah, asyik sekali!" ujarku iri.
"Mulanya demikian. Ibuku menganggapnya lucu. Karena ibu sering keguguran, dan aku dianggap anak kesayangan."
"Siapa lebih dulu pandai bicara? Kamu atau Chocky?"
"Tentu saja Chocky lebih dulu bisa ngomong, karena yang bersuara ayahku. Sebelum aku betul-betul mampu diajak bercakap-cakap, ia bercanda dengan Chocky. Dan ia melihat Chocky sebagai aku."
"Luar biasa." Desisku tak sengaja.
"Tidak, bodoh!" Adit menolak. Membuat aku terperanjat. "Karena aku seperti bukan anaknya, tetapi bonekanya. Sedangkan Chocky menjadi anaknya."
"Kenapa begitu?"
"Karena Chocky yang cari uang, kata ayahku. Aku harus berterima kasih kepada Chocky."
Aku tak sepenuhnya mengerti waktu itu. Aku tentu tak dapat memahami perasaan Chocky. Maaf, maksudku perasaan Adit.
Tiba-tiba langit berubah mendung. Ada sepercik cahaya petir yang membuat kami gentar dan segera menutup percakapan untuk sepakat bergegas pulang. Kami berlari-lari kembali sepanjang pematang menuju ke jalan raya, lalu masing-masing menyusuri jalan pulang. Sesaat seperti ada perjanjian, kami akan menjadi sahabat. Aku sedikit yakin, bahwa Adit tidak menceritakan hal itu kepada teman lain.

***
TETAPI mengapa Adit tidak jujur kepadaku?
Sebenarnya itu hanya menyangkut kamar anjing di rumahnya yang tak pernah dijelaskan isi di dalamnya. Atau mungkin aku terlampau bodoh dengan pertanyaan itu. Kamar anjing tentu berisi seekor - atau lebih - anjing. Seperti juga kamar jenazah untuk menyimpan bekas tubuh yang sudah kehilangan ruh.
Akan tetapi, kamar anjing di rumah Adit agak mengherankan bagiku karena memiliki pintu kayu yang tertutup rapat. Bagaimana makhluk lucu - atau mungkin seram - itu dapat bernafas jika tinggal di dalamnya? Sudahlah. Tak perlu bertanya lebih jauh. Aku tak ingin memancing pertengkaran melalui urusan sepele.
Hari ini aku singgah ke rumah Adit sepulang sekolah. Saat mengikuti langkahnya menuju kamarnya di belakang, kuperhatikan pintu kamar anjing yang terletak lebih strategis.
"Di kamar ini, aku bisa lebih bebas berkhayal," katanya seperti tahu yang kupikirkan. Ucapannya beralasan karena jendela kamarnya menghadap kebun belakang. peluang itu pula yang digunakannya untuk sesekali pergi keluar malam tanpa melewati pintu depan.

***

BEBERAPA kali, atau mungkin sering, aku main ke rumah Adit, bahkan sampai kami sama-sama bersekolah di SMA. Aku singgah untuk meminjam komik-komik barunya. Atau nonton film-film koleksinya. Tak satu pun terdapat film anak-anak, apalagi yang berjudul Pinokio. Ia cukup mendapat kebebasan untuk mengumpulkan film dewasa, meskipun sepanjang yang kutahu, percakapan dengan ayahnya terlampau terbatas.
Tampaknya kisah tentang Chocky telah berlalu. Tiada lagi yang menghangatkan pikiran kami tentang boneka itu. Sejak acara ayahnya di televisi telah dihentikan, aku tidak pernah sekali pun melihatnya memainkan Chocky di rumahnya. Barangkali tak akan membuatku terhibur juga.
Sementara itu, aku sering memergoki Pak Sentot menyendiri di beranda. Banyak suratkabar di meja, tapi dibiarkan tetap terlipat. Pandangan matanya menembus sela-sela tirai ke arah kebun kecil di depan rumah. Setiap kali aku pamit, sedikit membuatnya terperanjat, dan melimpahkan perasaan berdosa kepadaku karena telah mengganggunya.
"Kamu jarang sekali bicara dengan ayahmu," kataku di pintu pagar.
"Ayahku yang jarang bicara denganku," sahut Adit datar.
Aku memandang heran. Tapi seperti biasa, tangannya melambai seolah mengusirku. Dan seperti biasa, sejak dulu kala, aku segera pulang tanpa merasa tersinggung. Tapi malamnya aku bermimpi bercakap-cakap dengan Chocky! Membuatku ingin segera menjumpai pagi.
"Adit, kutunggu kamu sejak tadi. Ayo kita ke kantin." Aku menyerbu kedatangannya di pagar sekolah keesokan harinya.
"Sepagi ini?"
"Ya. Aku mau ceritakan mimpiku semalam."
Tanpa meletakkan tas terlebih dulu, Adit mengiringi langkahku ke kantin.
"Aku mimpi bercakap-cakap dengan Chocky!" ujarku penuh semangat.
Mendadak muka Adit memerah. "Kamu bercakap-cakap dengan anjing itu?"
Mulutku ternganga. "Anjing?"
"Ya!" Rahang Adit tampak mengeras kaku.
Kupegang kedua lengannya. Aku tak sepenuhnya tahu dengan yang kulakukan, namun jantungku terasa gemuruh. Kamar anjing itu...
"Maaf, maaf! Aku tak akan membicarakannya lagi." Aku benar-benar berjanji. Akan tetapi Adit justru menggagalkan janjiku.
"Dengar, Kris! Kini kamu tahu, siapa yang menghuni kamar anjing itu. Itu kamar Chocky! Aku muak setiap kali Ayah masuk ke kamar itu, mengunci diri, dan kudengar bercakap-cakap dengan Chocky. Sementara aku, anaknya, tidak pernah diajak bicara seperti itu. Seolah aku tak punya masalah ..."
"Ibumu?"
"Kamu tahu, kan? Ibu yang bekerja menghidupi kami, sebagai pegawai negeri. Telah hampir lima tahun pekerjaan ayahku hanya duduk-duduk, atau pergi entah ke mana dan pulang menceritakan pengalamannya di kamar anjing."
"Mestinya kamu ceritakan ini kepadaku, agar aku tak salah sangka..."
Kulihat ada air mata menetes ke pipinya. Kami sama-sama kelas dua SMA. Tetapi aku selalu merasa bodoh untuk melakukan perbuatan yang berguna bagi Adit. Aku tak tahu, sedalam apa luka hatinya?
"Ayo, kita ke kelas. Sekali lagi aku minta maaf," ajakku.
Adit mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Lalu berjalan dengan kepala ditundukkan. Sepanjang dua jam pelajaran dia terdiam. Tak sampai akhir jam sekolah, Adit minta ijin untuk pulang. Aku membiarkannya berjalan meninggalkan sekolah, dengan punggung yang tak lagi tegak.

***

HARI berikutnya Adit tidak masuk sekolah. Aku tergerak menjenguk ke rumahnya. Ke kamarnya yang menghadap kebun belakang. Ibunya ada di rumah, menawariku makan siang, tetapi aku lebih berminat segera menemui Adit. Lama aku mengetuk kamarnya sampai kemudian dibuka dengan enggan.
Aku terkejut melihat keadaannya. Matanya bengkak, lebih tampak sebagai akibat pukulan dibanding oleh tangisan. Rambutnya acak-acakan, dan kuduga dia belum menyentuh air sejak pulang sekolah kemarin. Kamarnya lebih berantakan dari biasanya.
"Aku ingin membunuh Ayah...."
"Sstt!" Kini aku yang membekap mulutnya. Ucapannya sungguh menakutkan bagiku.
"Kubuatkan minum ya?" Aku bergegas ke dapur yang tak jauh dari pintu kamarnya. Mengambil sebotol air dingin dari lemari es dan berharap bisa menenangkan perasaannya. "Minumlah dulu. Jika sudah tenang, katakan apa masalahmu."
Ia menurut, meneguk air yang kuberikan dalam gelas yang kuangsurkan. Aku hanya bisa menunggu. Menemaninya.
"Aku... aku merasa hidupku percuma, Kris."
"Adit, tak boleh bicara seperti itu!"
"Semalam aku bertengkar hebat dengan Ayah."
Aku mengangguk. Menunggu ceritanya.
"Chocky telah tiada, Kris." Adit kemudian tersedu. Tubuhnya bergetar.
Aku disergap bingung. Ucapannya seperti terdengar keliru di telingaku. Bukankah Chocky adalah musuhnya? Yang telah membuatnya iri dan cemburu selama ini? Seharusnya ia begitu bahagia seandainya benar Chocky telah 'meninggal'.
Kuusap punggungnya yang berguncang.
"Semalam, setelah kami bertengkar, Ayah membakar Chocky...," ujarnya tersendat.
Aku terperangah. Lalu berkata ragu-ragu. "Bukankah itu yang kamu harapkan?"
"Apa katamu, Kris?" Tiba-tiba Adit memandangku dengan tatapan kasar. "Ayahku telah membunuhku!"
Mulutku ternganga tanpa kusadari.
"Jadi, kamu senang jika aku mati? Bukankah Chocky itu aku? Ayah telah membunuh Chocky, sama saja ia membunuhku, Kris!"
"Aku tak mengerti..." Aku mulai dijalari rasa takut. Terutama melihat mata Adit yang aneh.
"Kamu pasti mengerti, Kris. Kamu sahabatku! Tapi kini kamu hanya pura-pura menghiburku, padahal kamu senang aku mati!"
"Adit! Maaf, itu tidak benar ..."
"Kamu bohong! Sekarang kamu keluar dari kamarku!"
Kini saatnya aku merasa tersinggung dengan lambaian tangannya. Tubuh tak bertenaga itu kini seperti monster yang menakutkan bagiku. Matanya itu! Seperti ingin membakarku.
"Kubilang keluar!" Suaranya mirip guntur.
Aku terhuyung meninggalkan kamar Adit yang kemudian dibanting pintunya. Aku mundur dan menabrak tubuh ibunya yang tegak di sisi dapur.
"Dari semalam dia berkelakuan aneh. Sejak ayahnya membakar Chocky," kata ibunya. Aku mengangguk tapi belum tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya ingin duduk di beranda, meredakan gemuruh dada, sambil mencoba berpikir.
Aku melewati kamar anjing. Aku menatap pintunya sejenak. Kamar Chocky, yang selalu disebut 'kamar anjing' dengan nada marah oleh Adit. Tapi baru saja Adit kehilangan nyala harapan ketika anjing itu, maksudku Chocky, musnah. Masih terngiang dengan dengung yang mencekam di telinga: "Ayah telah membunuhku. Bukankah Chocky itu aku? Ayah telah membunuh Chocky, sama saja ia membunuhku!"
Aku duduk di beranda, di kursi yang biasa menjadi tempat rehat Pak Sentot. Aku memandang ke arah kebun melalui sela-sela tirai bambu. Seperti yang dilakukan oleh Pak Sentot setiap hari. Tanpa tercegah, mataku perlahan basah.
Di balik tirai, di kebun kecil itu, aku melihat anak kecil yang wajahnya mirip Adit sedang bermain sendirian. Kadang-kadang wajahnya berubah serupa boneka kayu Chocky. Alangkah mirip senyum keduanya. Lambat-laun aku semakin tak sanggup membedakan antara wajah Aditya dengan wajah Chocky pada anak kecil yang sedang bermain di kebun itu.

***
Jakarta, 5 Januari 2006

(Dimuat di Koran Tempo, Minggu 30 April 2006)

Monday, May 08, 2006

Kartu Pos Panjang untuk Ryana Mustamin

"Buat Nana"

Nana, jangan merasa bersalah. aku tak pernah bermaksud melupakan siapa pun. kalau nana 'keluar' dari lingkaran pergaulan sastra karena kesibukan pekerjaan dan keluarga, tentu tidak keliru. dunia sastra tidak pernah merasa mendaftar dan mencoret nama seseorang. tinggal kembali lagi bergabung dan bertukar-sapa ketika waktu senggang telah berpihak. sementara aku ingin, di antara padatnya pekerjaan, tetap kuciptakan waktu jeda sekadar untuk menyeimbangkan diri. setiap ada acara yang aku sempat datang, maka aku hadir di sana. dengan tujuan terus menimba ilmu. mencari pencerahan dari pikiran-pikiran orang yang kulihat senantiasa bercahaya. bukankah -- selain mencoba menempuh target berkarya -- aku ingin menambah satu orang sahabat setiap hari? dan bukankah tugasku (menurut tulisan Nana di kolom berjudul "Kurnia") adalah hanya menulis? apa pun komentar orang, sepanjang tidak bermaksud menyakiti pihak lain, aku ingin tetap menulis. karena menulis menyempurnakan kegemaran membaca: setelah memetik buah pikiran orang lain, alangkah adilnya jika aku membagi kembali dengan semacam pertambahan nilai kepada orang lain lagi.

Nana, aku justru terharu dengan keringantangananmu selalu menyimpan dan memelihara sejumlah tulisanku yang aku sendiri tak tahu akan seperti apa nasibnya kelak. kupikir hanya dengan ketulusan para sahabat, maka segala jejak itu tetap tertera meskipun bentuknya mungkin makin samar. nah, karena seringnya aku menuliskan segala yang kulihat, kurasakan, kudengar, dan kualami, pada setiap pertemuan atau peristiwa, entah pendek atau panjang, lantas seseorang yang menjadi moderator di milis Klub Sastra Bentang menulis email pribadi seperti ini: "kang, tulisan-tulisanmu yang merekam setiap peristiwa sastra itu sangat menarik, ada baiknya dibuat blogger. saya bersedia membantu jika setuju." tentu aku setuju dan gembira bukan main. aku yang gagap teknologi, rasanya terlampau angkuh untuk menolak uluran tangan seperti itu. maka suatu hari jumat saat libur nasional, tak jauh dari hari ini, Adhika Dirgantara bersedia bertemu di sebuah resto untuk membicarakan maksudnya yang mulia itu. lalu pertemuan bergeser ke sebuah warung internet. lalu, rasanya tak sampai setengah jam, blogger itu jadi. adrakadabra! mungkin karena aku bukan seorang pembangkang dan selalu berpikir cepat saja, maka bentuk-bentuk yang ditawarkan kepadaku segera kusambut dengan keputusan yang tak berlarut. di sanalah kemudian aku menulis kata pertama: halo dunia!

Nana, tahukah dikau? sahabatku ini 'mengancamku': "kang, tak boleh berhenti menulis! jika blogger ini tak pernah diupdate, lebih baik kita tak berteman lagi!" wah, 'anak kecil' itu berani menekanku. tentu saja aku agak gemetar. aku mengangguk dan berjanji untuk terus mengisi blogger dengan rajin. apa pun yang terjadi. oleh karena itu, kuciptakan 'mesin' ganda untuk keperluan itu. yang semula aku menulis hanya untuk sebuah kepuasan batin, bisa kapan saja, sesuai keinginan saja; kini aku menulis untuk sebuah komitmen. satu mesin ini, suatu saat, akan kujadikan kuda tunggangan yang mungkin membuat diriku merasa heran: menulis jadi seperti menarik nafas. ya, sebuah kebutuhan!

Nana, jangan merasa bersalah. aku tak bermaksud melupakan siapa pun. bahkan seandainya orang lain melupakanku. aku menyapa siapa saja, dengan tulisan untuk siapa saja: guru-guru kita, para sahabat, para 'pesaing', adik-adik yang ingin belajar sastra, bahkan orang awam dari segala latar belakang. semua segmen ingin kusentuh, kudekati, dan lebih daripada itu, ingin kupahami. karena semakin memahami mereka, bertambahlah wawasan kita.

Nana, silakan berkunjung ke blogger-ku, sekadar untuk duduk santai sambil mencicipi 'hidangan' tulisan yang ringan dan berusaha tetap ramah. tulisan tentang "proses kreatif" itu disusun ulang untuk memenuhi undangan Matabaca, yang memintaku menjadi pembicara pada acara "pelatihan penulisan kreatif" di tengah-tengah Gramedia Fair, yang berlangsung tanggal 6 mei 2006 di ruang cempaka 4, istora senayan. peserta yang semula ditarget 90 orang ternyata berkembang menjadi 120 orang, sehingga terpaksa menambah jumlah kursi. di sana aku mendampingi mbak Naning Pranoto yang memang sudah pakar dalam urusan pelatihan seperti itu. tapi tak apa dengan membeludaknya peminat. semakin banyak orang ingin pandai menulis, menunjukkan semakin berbudayanya bangsa ini.

Nana, sampai ketemu dalam perbincangan berikutnya. aku berterima kasih atas rasa sayangmu terhadap karya-karya puisiku. salam

kurnia effendi

JEDA 8 Mei 2006

Biarkan Hati yang Telanjang

Percakapan di sebuah ruang ganti Balai Sarbini, suatu malam, terasa sangat penting ketika tiba pada pembahasan mengenai fashion. Seorang designer sekaligus stylist, Moussa, menyampaikan di antaranya: "Busana yang dipakai seseorang mencerminkan atau merupakan refleksi dari perasaan yang terjadi dalam dirinya." Lebih lanjut dia katakan: "Ada hubungan erat antara fashion dan psikologi."

Boleh jadi pernyataan itu benar. Oleh karena itu, mari kita periksa keadaan diri sendiri. Mengapa kita hari ini mengenakan setelah warna merah? Mungkin karena kita akan tampil menyanyi di panggung, sehingga dibutuhkan semacam gairah atau semangat untuk menarik perhatian mata penonton. Atau kenapa kita sengaja memilih busana hitam sebelum berangkat ke pemakaman? Barangkali ingin memberi petunjuk kepada orang lain, bahwa hati kita turut berkabung, terendam duka yang menyelubung. Kadang-kadang, bahkan, tanpa disadari kita telah menentukan suatu komposisi warna atau gaya yang memang menjadi jendela bagi perasaan pemakainya.

Ketika seorang perempuan mengenakan rok mini dan tank top, lipstik merah merona dan gerakan mata yang atraktif; ada semacam kesimpulan: wah, ia sedang menggoda! Tapi, tahukah kita, apa yang sesungguhnya melatarbelakangi bahasa tubuhnya itu? Benarkah ia semata-mata ingin mendapatkan kita sebagai 'mangsa' karena kebutuhan di sekitar hasrat syahwat? Atau itu menjadi salah satu cara untuk mendapatkan uang, dengan kata lain sebagai profesi penyangga hidupnya? Atau bermaksud mengekspresikan perlawanan terhadap aturan keras yang diberlakukan oleh orang tuanya? Apa pun alasannya, yang muncul ke permukaan bisa serupa: belahan dada yang rendah, sepasang paha yang tersingkap, dan kerling mata yang menyihir dengan kelopak bibir merekah basah...

Bagi sesama perempuan yang bersirobok pandang dengannya, umumnya terbit perasaan bersaing, semburat cemburu dan was-was andai pasangannya (suami atau kekasih) 'sempat' tergoda. Setidaknya ada ruang dalam pikirannya yang tersedia untuk 'citra' sang perempuan sexy. Bagi lelaki yang tak berkedip melihatnya, bahkan bagi sang moralis sekalipun, sesaat ada kelenjar yang sedikit terganggu dalam tubuhnya. Selanjutnya tinggal diputuskan melalui syaraf sensorik dan motorik: dihapus dari file kepalanya atau dipelihara dengan sebuah tindak lanjut. Bagaimana jika yang memperoleh pemandangan itu sekelompok pemuda remaja yang ranum dan baru saja lewat akil balig? Akankah muncul siulan nyaring dan gerakan ekor mata yang terus mengikuti ke mana obyek pemandangan itu melangkah?

Ah, mengapa kemudian kita bertengkar gara-gara sebuah rencana Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi? Ketika sebentuk aurat terbuka di antara sekian banyak yang tertutup, tentu menjadi sesuatu yang istimewa. Bagian paling privat dari seseorang tiba-tiba menjadi milik bersama. Ahai! Kenapa yang malu justru sang suami yang kepergok isterinya manakala sedang mencuri pandang? Sementara yang berpose, termasuk Tiara Lestari (yang sempat tampil di majalah Playboy Spanyol), justru pernah menyimpan rasa bangga dengan gayanya. Bukankah ini seni? Tentu yang dimaksud adalah fotografi seni, bukan air seni. Karena yang pertama menjadi karya 'adiluhung', sedang yang kedua hanya pantas dikeluarkan di toilet. Tetapi jika keterbukaan aurat itu menjadi obyek yang mudah ditemukan di pusat perbelanjaan, bandara, atau pesta pernikahan; so what gitu loh!

Putu Wijaya, dalam sebuah wawancara televisi, mengatakan: "Tolong dibedakan, antara menentang antipornografi dengan menentang RUU antipornografi." Bli Putu mengaku tidak setuju dengan pornografi dan pornoaksi, itu dapat dilihat dari karya-karyanya yang lebih mengedepankan tradisi, konflik dan 'teror' bagi pembacanya, bukan eksploitasi seks. Tetapi mungkin masih belum sepakat dengan isi yang terkandung dalam pasal-pasal RUU tersebut. Dengan demikian, agaknya, yang seharusnya dilakukan adalah pengkajian ulang mengenai isinya, kemudian diajukan usulan yang solutif dan, semoga, tidak merugikan nilai budaya lokalitas yang menjadi tradisi agung turun-temurun. Sebuah panggung dengan pertunjukan tari klasik Jawa atau Bali, dengan bahu dan ketiak terbuka, adalah sebuah pertunjukan seni. Tetapi celana jins hipster yang mempertontonkan tepian celana dalam dan t-shirt pendek yang menghadirkan pusar perempuan, di karamaian mal, apakah juga bagian dari seni?

Sesungguhnya kita hanya perlu jujur pada diri sendiri. Konsultan terbaik adalah Tuan dan Nyonya Hati Nurani. Sebelum segala yang fisik itu telanjang di depan mata kita lantas menimbulkan pro dan kontra, biarkan hati kita yang terlebih dahulu ditelanjangi. Kadang-kadang upaya untuk melindungi yang rawan dan rapuh menjadi bumerang karena tampak seperti jeruji yang menjerat langkah kreatif. Ego patriarki juga sering dimanfaatkan berlebihan sehingga terasa sebagai hakim yang lepas kendali.

Sekali lagi, biarkan hati kita telanjang, melepas busana tendensi dan selimut paranoia. Agar kita menjadi lebih bertanggung jawab, terutama pada nilai-nilai luhur yang ingin kita persembahkan kepada anak-anak generasi penerus, maaf, maksudnya generasi pelurus kita.

(kurnia effendi)

Bagaimana Kurnia Effendi Menulis?

Proses Kreatif Kurnia Effendi

KOLEKSI JUDUL

Sampai saat ini, saat menulis esai ini, aku membuat cerita pendek atau cerita panjang, selalu dimulai dengan "judul". Mungkin tidak akan berubah, karena agak berlebihan jika kukatakan belum berubah. Cara itu tidak sengaja kulatih, bukan pula merupakan jalan terakhir setelah gagal dengan cara yang lain. Sama sekali tidak. Itu adalah cara pertama yang kemudian menjadi - setelah tahu namanya: - proses kreatif.

Bertahun-tahun yang lalu, ketika diwawancara oleh redaktur majalah remaja, dan terlontar pertanyaan: Bagaimana biasanya kamu menulis cerpen? - aku tidak perlu memikirkan jawaban. Saya mulai dari judul, demikian jawabku. Dan memang seperti itu yang terjadi. Dalam dompetku suka tersimpan selipat kertas, yang kutulisi beberapa judul, entah cerpen atau cerber. Pada saat judul itu kutuliskan, kadang-kadang belum terlintas kisah apa pun. Belum terpikir serangkai cerita, belum terbentang tuturan atau alur nasib seorang tokoh. Sebuah frasa atau kelompok kata yang tiba-tiba melintas, mempesona pikiran dan perasaan, segera ku'tangkap', kutulis atau kuingat, selanjutnya menjadi 'biji-biji' yang tersimpan dalam 'tanah gembur' proses kreatif. Ada yang langsung tumbuh menjadi sosok cerita, banyak pula yang terus terlelap menunggu secercah cahaya gagasan yang kelak membangunkannya.

Mungkin ini menjadi semacam keberuntungan, bahwa aku menulis dari sisi yang - menurutku - paling tepat. Mengapa? Karena judul adalah kata atau kalimat yang dibaca pertama kali oleh 99,99% pembaca. Untuk jenis bacaan apa pun. Kadang-kadang, ketika seseorang mendapatkan sebuah majalah di ruang tunggu dokter, misalnya, secara highlight akan membuka lembar demi lembar untuk menemukan judul yang menarik minatnya sebelum membaca lebih jauh. Bahkan seandainya aku menulis sebuah novel, atau cerpen, yang diawali dengan: Tanpa Judul; itu pun sebuah judul!

Apakah kusadari sejak awal bahwa judul itu penting? Ternyata tidak. Itu semacam refleks, impulsif, atau kebiasaan yang tidak diniatkan seperti ketika seseorang mencoba mendisiplinkan sesuatu. Tiba-tiba saja berkelebat. Tertangkap. Melekat. Andaikata aku sangat percaya terhadap daya ingat, mungkin tidak perlu mencatat. Tapi aku cukup senang dengan sesekali membaca koleksi judul-judul itu di kala senggang. Oleh sebab itulah, pada kertas kecil, atau apa saja yang bisa dibubuhkan tulisan: kutorehkan judul-judul itu.

Misalnya, beberapa yang kuingat: Segenggam Melati Kering, Tetes Hujan Menjadi Abu, Berjalan di Sekitar Ginza, Anak Arloji, Kincir Api, Menemani Ayah Merokok, Laras Panjang Senapan Cinta, Abu Jenazah Ayah, Tilas Cemeti di Punggung... Hampir semua dimulai dari kelebat aksara khayali atau bunyi yang tertangkap hati. Kadang-kadang ketika sedang bercakap-cakap dengan teman, lalu terangkai dari percakapan itu sebuah komposisi kata yang menarik, nah! Lalu seperti ada lampu menyala. Byar! Wah, ini asyik untuk judul!
Melalui tuturan ini, hendak kubongkar rahasia. Seperti kuungkap tadi, kadang-kadang aku tak punya cerita apa pun sebelumnya. Tetapi, justru sebuah judul sanggup menghamparkan kisah. Bahkan, secara agak tak terduga, ternyata judul itu pintar menghimpun cerita. Maka judul itu akhirnya mendapat tugas sebagai penyimpan gagasan sebuah kisah, baik untuk karya prosa maupun puisi. Dengan mengingat sebuah judul, seolah-olah terurai jalan hidup seorang tokoh dengan pelbagai konflik di dalamnya. Kukira, itulah yang umumnya terjadi pada riuh-rendah benakku dalam proses menulis karya sastra.

CURAH KISAH

Sewaktu-waktu, ketika sedang bersamaku, jangan heran jika kucurahi cerita. Biasanya, judul yang mengemban kandungan cerita itu tak cukup sabar tetap tersimpan dalan vestiaire angan-angan. Aku akan menyampaikan semacam fragmen: mungkin segerumbul percakapan para tokoh, atau gambaran perilaku, bahkan semacam abstraksi hikayat, atau hal-hal yang menjadi tumpuan tema. Mengapa demikian? Jika suatu ketika aku mau menulis, dan kebetulan lupa harus mulai dari mana, aku tinggal menelepon kawan yang sempat mendengarkan 'petikan' kisahku.

Pernah di suatu makan malam dengan dua sahabat di café, aku menceritakan tentang perilaku seseorang yang sedang patah hati yang dipandang tak masuk akal oleh tokoh lainnya... Jadi jangan heran jika suatu saat nanti aku menanyakan pada kalian detil yang mungkin terlepas dari ingatan. Begitulah. Tak ada rasa cemas, andai gagasan itu kemudian dicuri oleh sang pendengar yang kebetulan (dan biasanya) juga seorang pengarang. Jika memang diambil-alih, aku akan gembira karena ternyata ide yang berasal dari kepalaku itu menarik juga dibuat cerpen oleh orang lain. Tetapi, boleh jadi, cara kita bercerita berbeda.

Sejak menggunakan mesin ketik, aku tak pernah membuat konsep terlebih dulu. Langsung tulis saja. Dulu, untuk menulis cerpen 8 halaman, kadang-kadang membutuhkan lebih dari seratus lembar kertas. Karena selalu ada suntingan atau perubahan setiap kali dibaca ulang. Namun kini dengan komputer, jika salah ketik mudah dihapus. Mudah dipindah, digandakan, dan yang lebih terasa manfaatnya: dapat disimpan.

Dengan kemampuan alat seperti itu, kebiasaanku mengoleksi judul, semakin terasa hikmahnya. Kini aku ke mana-mana membawa disket, yang di dalamnya telah siap sepuluh file dengan masing-masing judul. Lantas bagaimana caraku bekerja? Duduk di depan komputer, buka file pertama, misalnya: Puisi di Bangku Taman. Eh, baru lima paragraf mendadak buntu, segera kubuka file kedua: Mengapa Hiuma Berduka? Hei, itu fabel, cerita buat anak-anak! Tak jadi soal. Entah mengapa, ada saja yang secara otomatis mengubah diri di rongga benakku, sehingga yang muncul adalah fantasi kanak-kanak. Demikian seterusnya.

Jadi, jika aku membekal lima disket (mungkin kelak segera kuganti flashdisc, agar lebih banyak menyimpan calon naskah) ada berapa calon cerpen, puisi, novelet, di dalamnya? Ayo lakukan seperti aku! Pasti asyik. Dan tak perlu menyepi ke balik gunung atau ke dasar samudera. Karena aku bukan pengarang menara gading. Cukup menempati koridor yang menghubungkan antara ruang tamu dengan ruang makan. Sambil sesekali nonton tivi, atau ngajari PR anak-anak. Atau di meja samping kantor ketika jam kerja belum mulai (sering datang kepagian karena ada kewajiban mengantar anak-anak yang masuk sekolah jam tujuh). Atau di sebuah warnet dekat hotel tempat menginap ketika sedang tugas keluar kota. Yang paling kerap terjadi, aku menulis pukul 22.00 sampai tengah malam.

SELALU "YA"

Di tengah rapat kantor, tiba-tiba telepon selular bergetar. "Halo." Setengah berbisik. "Lagi sibuk?" suara di sana. "Lagi meeting, apa kabar?" Ujung-ujungnya: "Ada stok naskah cerpen nggak? Buat edisi Oktober, sepuluh hari selesai, ya?" Tentu kujawab: "Ya." Mengapa tidak? Dengan ucapan 'ya', aku yakin ada semacam keajaiban yang bekerja ekstra di seluruh kepalaku. Judul-judul berlintasan seperti meteor. Tapi, tentu aku meneruskan pekerjaan dulu sampai selesai jam kantor. Dengan ucapan 'ya', seluruh peri yang beterbangan di udara meniupkan pelbagai gagasan. Nah: "Percakapan Sepasang Peri..." Haha, bagus nggak kedengarannya?

Itu stimulus yang datang dari luar. Setidaknya, istilah produktif tak hanya digenjot dari dalam diri sendiri. Ada saja yang kemudian meminta cerpen. Dan ada saja majalah atau surat kabar yang tahu-tahu telah lama tidak kujenguk dengan karya. Mungkin Matra, Gadis, Femina, Lampung Post, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen, atau Bee Magazine... Ya. Ternyata aku tidak melulu menulis untuk sastra koran. Untuk majalah Cinta tentu harus cerita remaja. Ya sudah. Aku terus menyambar-nyambar ke pelbagai segmen pembaca. Nggak dosa, kan? Justru asyik, lho! Apalagi anakku sudah tiba usia remaja, saatnya memberi mereka bacaan yang baik. Menurutku, tentu.

Setelah pernah menulis di Kompas dan Horison, ternyata aku enjoy aja mengirimkan naskah ke tabloid milik sebuah radio swasta di Jombang. Kupikir, mereka yang ada di ujung pulau atau dikepung pegunungan juga perlu membaca cerpenku. Redaksinya menelepon, meminta, ya aku buatkan. Tidak pilih-pilih. Juga harus bagus. Menurutku, tentu.

Untuk membuat diriku 'malu', aku selalu membuat target di awal tahun. Misalnya tahun ini aku akan menulis 48 cerpen, 200 puisi, satu novel, 12 esai. Kutulis dan kukirim melalui sms kepada para sahabat ketika tiba tanggal 1 Januari. Dan menjelang Desember, aku mulai menghitung prestasi. Apakah tercapai? Apa pun hasilnya, kukirim melalui sms juga kepada sahabat yang pernah menerima informasi target. Sebagai evaluasi diri. Mudah-mudahan para sahabat yang selalu menerima informasi itu tidak bosan. (Kan tinggal pencet delete, sms itu terhapus). Seandainya luput terlampau banyak, tentu aku malu dan kembali mengejar di tahun berikutnya.

Jadilah pengrajin! Kata Zen Hae: kita ini hanya si tukang cerita. Boleh jadi demikian. Tetapi, seseorang yang telah memiliki ketrampilan teknis seperti Seno Gumira, Arswendo, dan Putu Wijaya, bisa menjadi pengrajin yang berkualitas. Mengapa? Karena keluasan wawasan mereka, di samping memang sudah terlalu piawai menangkap ilham. Dengan kata lain, ilham itu tidak ditunggu. Tetapi dikejar!

SIHIR BRAGA

Dulu sekali, waktu masih kuliah di Bandung, ada sejenis 'hantu' kalimat yang selalu berkelindan dalam rongga benakku. Begini kira-kira: Tiga hari yang lalu, aku menerima fotomu, close up dan berwarna. Tadi pagi ibumu mengirim telegram yang mengabarkan bahwa engkau telah tiada.

Dua kalimat itu terus saja terngiang, bahkan mungkin tercetak semacam cukil kayu di batok kreatifku. Apakah itu yang disebut obsesi? Ini harus jadi cerpen! Ini harus memenangkan lomba! Lalu aku agak bimbang dengan judul yang telah berkelebat. Catatan Sepanjang Braga atau Kenangan Sepanjang Braga? Lantas kutanya pada sahabat Acep Zamzam Noor, bagaimana menurut pendapat dia. Ia menjawab lugas: "Potong saja yang tak perlu. Sepanjang Braga.Itu bagus sekali."

Cerpen itu, Sepanjang Braga, kemudian memenangkan juara pertama lomba cerpen majalah Gadis tahun 1988. Itu jauh di masa lalu. Kini, ternyata aku telah memiliki empat versi cerita "Sepanjang Braga". Ada apa dengan Braga? Mengapa aku selalu merasa wajib melintasi jalan itu setiap kali berkunjung ke Bandung? (sekarang aku tinggal, berkeluarga, dan bekerja di Jakarta).

Mungkin Braga memang menyimpan masa silam Bandung, dekat dengan aroma kolonial dan seni, juga dekat dengan peristiwa bersejarah semacam KTT Asia Afrika. Hampir sama dengan ikatan chemistry seseorang terhadap Malioboro di Yogya, misalnya. Atau Jalan Sabang di Jakarta. Atau Jalan Somba Opu di Makassar. Mungkin. Tapi demikianlah perasaanku terhadap Braga.

Itu kusebut ilham yang membius. Yang menerbitkan rasa haru. Dan perasaan seperti itu, dulu, sanggup membuatku tiba-tiba ingin pulang untuk menulis padahal sedang jalan bersama seorang kawan. Atau terpaksa tidak kuliah demi mengalirnya banjir cerita untuk menjadi halaman-halaman prosa.

SUMBER ILHAM DAN BUKU

Selalu terngiang ucapan Joni Ariadinata yang meminta cerpen-cerpenku untuk dibuat buku antologi pribadi. Buku? Wah, apakah sudah saatnya? Itu tahun 2002. Begitulah, pada tahun 2004, terealisasi 2 buku sekaligus: Senapan Cinta (Penerbit Kata-Kita) dan "Bercinta di bawah Bulan" (Metafor Publishing). Pada tahun 2005 menyusul 2 buah lagi: Aura Negeri Cinta (Lingkar Pena Publishing House) dan Kincir Api (Gramedia). Sementara di tahun 2006, aku berhasil menerbitkan novel remaja Selembut Lumut Gunung (Cipta Sekawan Media).

Kadang-kadang aku tidak menyangka dengan momentum seperti itu. Mungkin karena banyak uluran tangan sahabat juga yang membuat buku-buku itu lalu menyebar sebagai pemberitaan maupun koleksi.

Aku bekerja di perusahaan otomotif (ATPM) Suzuki Mobil. Sangat beruntung karena aku berada pada bagian pengembangan showroom seluruh Indonesia. Setidaknya 3 kali keluar kota dalam sebulan. Setidaknya berkali-kali mengunjungi wilayah-wilayah baru di pelbagai daerah. Jadi sudah terbiasa, sejak dari bandara aku sudah sms kepada para sahabat (jurnalis, penyair, budayawan, redaktur, seniman) di daerah tujuan. Saat aku keliling daerah itulah, kujumpa beribu tunas cerita. Tak hanya melihat sunset di pantai Pare-Pare, atau memandangi tamasya ikan di dasar laut Bunaken melalui Katamaran. Bertemu dengan kawan-kawan sastrawan, jurnalis, dan seniman di daerah, membuat hidup ini sangat berwarna. Ternyata, ketika ide mampet, ngobrol dengan kawan-kawan itu seperti charging baterei dalam pikiranku. Dari sanalah ilham mengalir. Tinggal: sempat atau tidak menuliskannya di antara waktu yang padat oleh kegiatan formal kantor?

Jadi, mohon jangan menolak jika sewaktu-waktu kalian kutelepon, hanya untuk sekadar makan malam di TIM, atau sama-sama menikmati sate kambing di Bukafe milik Mas Kiki di Duren Tiga. Tentu tak ketinggalan berusaha hadir pada acara-acara yang digelar oleh toko buku MP Point Book, Selasar Omah di Empu Sendok, Bentara Budaya atau PDS HB Jassin dan Teater Utan Kayu. Entah kenapa, otakku jadi berbinar-binar.

Selalu kupanas-panasi kawan untuk terus menulis. Kubagi alamat email semua redaktur kepada teman sejawat. Pokoknya, mari kita menulis! Agar dunia bacaan kita makin ramai. Dan tentu akan melahirkan sejumlah buku-buku baru lagi. Jangan pikirkan award atau pernghargaan dulu. Yang penting batin kita puas dan orang lain beroleh pencerahan.

Dari satu buku (yang disiapkan demikian lama) ke buku yang lain, ternyata mengalir saja. Itulah yang kusebut momentum tadi. Dan tak terhindarkan dari campur tangan tulus orang lain. Maka sebaik-baik pengarang adalah (menurutku, tentu) yang memiliki banyak jaringan, dan saling berkomunikasi secara tulus dan saling berbagi.

Kurnia Effendi