Saturday, December 30, 2006

A L M A N A K

SIAPA sanggup menghentikan waktu? Almanak tetap bertengger dengan angka tanggal, nama bulan, dan angka tahun. Tetap bergeming bila kita diamkan sepanjang tahun, tapi toh kita harus percaya pada waktu yang berjalan. Waktu yang membaca kalender, dari angka satu ke angka berikutnya, dari bulan Januari ke bulan berikutnya. Waktu yang lantas menggerakkan tangan kita untuk menyobek tiap halaman penanggalan, seperti kekuatan yang tak tampak, namun bekerja di seluruh penjuru dunia.

Kini kita berpisah dengan tahun 2006, serta-merta masuk ke tahun 2007. Tidak secara individual, tidak ada yang menolak dan ingin tinggal saja di tahun sebelumnya, karenaternyatabukan kita yang bergerak, melainkan: waktu yang melindas kita! Meskipun dengan matahari yang satu itu, dengan bumi yang kian renta ini, dengan udara yang kemarin-kemarin juga, kita secara bersama-samamelangkahke periode 2007.

Apa yang hendak kita lakukan? Evaluasi kegiatan yang telah berlalu untuk tidak mengulangi kekeliruan? Membaca ulang setiap rencana awal tahun dan mencocokkannya dengan kenyataan yang berlangsung? Mencatat setiap ilmu baru, tambahnya sahabat, kenangan peristiwa luar biasa, termasuk pelbagai bencana yang membuat perasaan kita runtuh? Apa pun boleh, sepanjang itu bermanfaat untuk menata agenda setahun ke depan.

Sebagaimana nasihat Rasulullah, “Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini.” Peningkatan itulah yang semestinya kita dambakan dan kita rencanakan, kemudian kita buktikan. Pepatah Jepang yang mengatakan: “Rencanakan apa yang hendak anda kerjakan, dan kerjakan apa yang telah anda rencanakanmerupakan saran agar kita hidup dengan target tertentu. Dengan cita-cita dan impian yang membuat setiap langkah kita menggairahkan.

Boleh jadi, aral akan menghambat perjalanan kita, itu sebabnya upaya meraih harapan dianggap sebagai perjuangan. Dan perjuangan penuh dengan ujian itulah yang membuat makna hasil lebih membanggakan, ketimbang yang dicapai dengan sangat mudah. Kemudahan adalah bentuk keluaran (output) dari kecerdasan mengantisipasi kendala, dan kekuatan menyingkirkan masalah yang kita hadapi.

Ah, mengapa jadi serius begitu? Mari kita sambut mentaribaru’, fajar yang disongsong oleh suara terompet di mana-mana, dengan senyum cerah. Udara mungkin basah, langit mungkin kelabu, jalanan mungkin becek oleh genangan hujan, tapi percayalah: kekuatan hati untuk tetap bersemangat akan memenangi kompetisi di tahun 2007.

Bagi politisi yang hendak membentuk partai baru, pikirkan sungguh-sungguh visi dan misi yang hendak diemban. Saya kira rakyat sudah mulai pintar memilih yang benar, setelah berulangkali merasatertipuoleh gebyar di awal kibar. Bagi pejabat atau tokoh publik yang hendak mencari istri baru (yang kedua dan seterusnya), pikirkan sungguh-sungguh kemampuan diri untuk berbuat adil. Bagi para sastrawan yang ingin menerbitkan buku baru, pikirkan sungguh-sungguh tanggung jawab moralnya bagi kepentingan pembaca, penerbit, dan pengarangnya sendiri. Kita percaya, manusia memiliki kalbu. Justru kalbu itu yang (sesuai dengan makna harafiahnya: sesuatu yang mudah naik dan turun) mudah terpedaya oleh situasi. Pertanyaannya adalah: apakah kita akan terus-menerus menjadi sang keledai?

Tahun sedang berganti wajah. Ah, tidak! Kita semua yang akan mengubah wajah tahun 2007, dengan pelbagai corak. Almanak berubah angka, seperti juga angka usia kita. Tanggal 1 Januari, seolah kita hendak memulai segalanya dari awal lagi. Oleh karena itu jangan terlampau sedih bila menengok jejak di belakang yang masih juga terasa sia-sia. Karena, sekuat apa pun kita, sanggupkah menghentikan waktu?

           

(Kurnia Effendi, untuk kolom JEda tabloid PARLE)

 

 

 

MARYAM

ANDAIKATA ada pertanyaan: “Siapakah perempuan paling suci di dunia?” Saya akan menjawab tanpa ragu-ragu: “Dialah Maryam, ibunda Nabi Isa alaihissalam. Dia perempuan paling suci di bumi sepanjang zaman.”

Adakah jawaban saya berlebihan? Mudah-mudahan tidak. Justru mungkin, menurut saya, agak berlebihan penghormatan masyarakat dunia terhadap pemakaman Lady Diana, yang tewas dalam keadaan hamil bukan oleh (dan tidak sedang bersama) suami resminya. Sementara ada wanita terhormat dunia lain, Mother Theresa, yang meninggal sehari kemudian setelah kecelakaan Lady Di, pemberitaannya hanya singgah secara formal dalam media massa.

Ibunda Maryam, pada umat  Nasrani dipanggil sebagai Bunda Maria, tercantumkekalkisahnya dalam kitab suci. Kita semua tahu, saat mengandung Isa Almasih, Maryam tetap dalam keadaan perawan. Terbayang betapa berat cobaan bagi kekuatan imannya untuk dapat meyakinkan penduduk di sekitarnya, bahwa ia tidak pernah melakukan hubungan seks dengan lelaki manapun. Mahasuci Allah. Dan terpujilah Bunda Siti Maryam.

Pada masa itu, tentu, belum ditemukan teknologi kawin suntik atau pembuahan dengan cara-cara di luar kelaziman. Itu semata kehendak Tuhan, dengan kun fayakun. Lantas apa maksud Tuhan melalui keajaiban yang ditunjukkan justru serupa aib, yang harus dijaga dengan air mata kecintaan hambaNya yang tak pernah goyah imannya?

Dengan berlinang air mata dan bersandar pada petunjuk malaikat, Maryam melahirkan Isa. Tangannya yang lemah mengguncang batang kurma yang segera menjatuhkan butiran bebuahnya, sebagai suapan pertama, baik bagi ibu yang baru melahirkan maupun bayinya. Kita semua tidak pernah melihatnya, atau mendengar langsung dari tetangganya, karena telah terlampau jauh kejadiannya di masa silam. Kita hanya dapat membaca kisahnya melalui Al-Quran dan pelbagai tafsirnya. Namun, dengan kebeningan hati nurani, semoga dapat membayangkan penderitaan lahir batin Maryam. Bagaimana ia kemudian dicerca dan terasing. Bagaimana ia mengeluarkan seluruh koleksi kesabarannya untuk dapat bertahan dari peristiwa yang ia yakini sebagai kehendak Tuhan.

Maryam melahirkan seorang Rasul. Seorang Pemimpin bagi umat Kristiani, juga Nabi bagi orang Islam, sebelum sang penghujung: Rasulullah Muhammad SAW. Isa adalah seorang lelaki yang tak pernahmati’. Dalam Islam, Nabi Isa AS, juga tetap hidup di surga, karena ia diangkat tanpa melalui ajal. Allah menggantikannya dengan seseorang, tentu hanya atas ijinNya. Dalam kemudaannya Isa telah memperjuangkan banyak hal, banyak keajaiban, yang terjadi karena mukjizat, juga mewariskan Injil. Salah satu mukjizat yang mirip kemampuan Tuhan, adalah meniupkan ruh pada tubuh burung tanah liat. Sekejap kemudian terbanglah burung itu dengan suka-cita.

Kembali kepada Maryam, kita tak pernah benar-benar paham maksud Allah di balik peristiwa itu. Seperti kita tak pernah paham, mengapa Allah memerintahkan Ibrahim AS meninggalkan isterinya, Siti Hajar, di tengah padang pasir bersama bayi Ismail yang lemah. Ketika orok itu menangis kehausan, sang ibu harus mondar-mandir di bawah terik surya untuk mencari setetes air, antara Shafa dan Marwa. Berulang kali pergi dan pulang, tak juga dijumpai oase sebenarnya dari setiap fatamorgana yang dipandangnya, untuk mendapatkan air minum bagi sang bayi. Setelah sekian lama, tiba-tiba dari entakan tumit Ismail mungil yang meronta itu tercecah celah yang kemudian menyemburkan air. Zamzam! Zamzam! Air itu, subhanallah, hingga detik ini masih mengalir, dan telahmenggenangilambung para peziarah dan keluarganya di seluruh bumi. Mungkin hingga akhir zaman. Subhanallah.

Apakah dengan demikian kita harus belajar kepada ketabahan dan kesabaran perempuan? Kita yang laki-laki, mungkin benar memiliki otot luar biasa kuat, sementara tubuh perempuan akan terbang sekali empas. Tapi siapa berani bertaruh, mana lebih kuat bertahan ketika harus menggendong bayi (sebagai contoh sederhana) sepanjang hari? Ada keajaiban di situ. Kekuatan yang tidak ditunjukkan dalam bentuk fisik, tetapi lebih kepada yang abstrak: semangat, keikhlasan, ketabahan, ketekunan, harapan, kesabaran, dan banyak lagi. Oleh karena itu, percaya atau tidak, seorang lelaki yang diduakan akan lebih lekas meledak ketimbang perempuan yang memperoleh banyakmadu’.

Dalam kelemahannya, perempuan memiliki kekuatan yang melebihi laki-laki. Dalam pelbagai kejadian, baik yang positif maupun negatif, perempuan sering mengalahkan laki-laki. Mungkin karena itu pula, posisinya diletakkan sebagai salah satu dari tiga yang akan memperdaya laki-laki. Tapi jauh dari maksud itu, saya secara pribadi kagum terhadap perempuan.

Jadi, andai ada pertanyaan, siapakah perempuan paling suci dan sekaligus sabar di bumi? Saya akan menjawab tanpa ragu-ragu:  Dialah Maryam, ibunda Nabi Isa alaihissalam. Dia perempuan paling suci di bumi sepanjang zaman. Juga tak kalah sabar dengan Siti Hajar.”

 

(Kurnia Effendi, untuk kolom JEDA pada tabloid PARLE)

 

 

 

 

 

 

Thursday, December 28, 2006

Dunia Leila Tanpa Koma

SETELAH sekian lama televisi kita hanya dihiasi sinetron hantu dan remaja penuh intrik berebut gebetan, terpana kita oleh tayangan drama seri 14 episode berjudulDunia Tanpa Koma” (DTK). Cerita apakah gerangan yang tertayang di sana?

Malam Minggu tanggal 9 Desember 2006, merupakan malam episode terakhir DTK. Tapi mungkin gemanya masih akan memanjang. Dan perlu kiranya sedikit mengungkap apa dan siapa yang berkiprah di sana. Maka kita tak mungkin tidak menyebut nama Leila S Chudori. Dia seorang wartawan senior majalah TEMPO, yang enak dan perlu untuk diajak berbincang, pada sebuah senja. Dialah yang menggagas DTK sekaligus menulis skenarionya, setelah Pak Leo dari SinemArt begitu antusias untuk merealisasi ke dalam sebuah mini-seri.

Siapa yang harus menjadi tokoh utama?” begitu pertanyaan sang produser terlontar. Jawab Leila cukup menantang: “Dian Sastro!” Ah, kita tahu, Dian Sastro pernah menyampaikan statement kepada publik: tidak mau main sinetron! Tapi apa reaksi Dian Sastro saat membaca naskah yang ditawarkan Leila? Setuju! Itu ternyata jawabannya.

Maka Leila mendapuk beberapa bintang yang terdiri dari aktor kawakan Slamet Rahardjo Djarot, si ganteng Tora Sudiro (yang tak sampai membaca skenario langsung bilang setuju, karena surprised atas keputusan Dian Sastro), dan yang tak kalah senior: Didi Petet. Namun, yang kita lihat di layar kaca selanjutnya, begitu banyak bertaburan bintang-bintang ternama. Ada Wulan Guritno, Doni Damara, Fauzi Baadilah, Surya Saputra, dan lain-lain. Apakah memang diramu demikian? Sebenarnya Leila juga tak menyangka ketika perkembangannya menjadi seperti itu. Menggelembung menjadi sebuah cerita besar, demikian istilah yang digunakan Leila.

Apa sebenarnya motif Leila menulis DTK? Ternyata sederhana saja. Ia kerap dikeluhi anak-anaknya yang melihat tontonan di TV tidak bermutu dan meminta bundanya (yang memang seorang cerpenis dan novelis) untuk membuat cerita televisi yang bagus. Maka ia berangkat dari dunia yang digeluti sehari-hari: jurnalis. Dengan becermin pada aktivitas di kantor Majalah Tempo, ia pun membuat skrip yang benar-benar komprehensif mengangkat kehidupan wartawan. Kasus yang perlu investigasi, deadline, persaingan antarmedia, wawancara, sampai urusan hak dan kewajiban karyawan dalam perusahaan media cetak; diungkap secara hidup dan mengalir.

Pertanyaan selanjutnya: “Apa debut berikut yang hendak digarap?” Dengan senyum optimis, Leila mengatakan, bahwa ia sedang menyiapkan sebuah proyek film layar lebar. Rasanya tak perlu dibocorkan sekarang, kecuali bahwa salah satu pemain utamanya Slamet Rahardjo Djarot. Kisahnya mengambil setting waktu sekitar tahun 1965.” Sedikit kita bisa menebak, tentu berhubungan dengan drama revolusi di tanah air.

Demikianlah sepercik tentang Leila S. Chudori, yang menganggap tema tidak penting. Ia lebih berpikir tentang cerita yang manusiawi dan membumi. Pendapatnya tak perlu kita uji mengingat karirnya sebagai pengarang telah dimulai sejak remaja. “Leila, kapan membuat film petualangan para tokoh cerita remajamu dulu?”

 

***

 

(Kurnia Effendi, kolom JEDA untuk tabloid PARLE)

 

 

 

 

 

 

 

Thursday, December 14, 2006

Infotainment

Ike Nurjanah Terlena oleh Puisi

 

NAMA Ike Nurjanah tentu tak asing bagi penggemar lagu dangdut di tanah air. Tetapi, malam Minggu 25 November 2006 yang lalu, Ike di MP Book Point Jakarta Selatan tidak menyanyi satu lagu pun. Ia hadir untuk sahabatnya, Johannes Sugianto, yang meluncurkan buku antologi puisi berjudulDi Lengkung Alis Matamu”.

Di antara para penggemar sastra, khususnya puisi, Ike tidak tampak canggung. Dengan wajah polos tanpa make up (ah, ia memang bukan sedang menghadiri pesta selebritis seperti biasanya), Ike tampak cantik alami. Wajah lembut itu berulang kali tersenyum, menyapa dan disapa, serta ngobrol dengan para pengunjung yang lain.

Rupanya, Ike telah jauh-jauh hari dipesan untuk membacakan satu buah puisi di beranda belakang toko buku MP Book Point. Setelah sejumlah penyair turut merayakan acara launching dengan membawakan puisi pilihan dari buku Jo, Ike didaulat untuk tampil sebagai puncak acara. Tentu ia mengaku grogi, karena biasanya diminta menyanyi  sebagai satu hal yang sangat dia kuasai.

Ternyata, walau puisi yang dibacakan judulnya bukanTerlena”, Ike membaca penuh penghayatan, bahkan suaranya gemetar oleh rasa haru, membuat kita semua terlena dibuatnya. Aplaus panjang mengiringi ujung baris puisi yang dibacanya. Lalu ia kembali tersenyum, anggun dan menawan.

Apa yang menarik dari puisi atau sastra umumnya bagi Ike? Ternyata ia menggemari karya-karya Kahlil Gibran, juga sempat mengoleksi beberapa buku puisi para pujangga tanah air. Setidaknya dengan wawasannya itu, sebagai penyanyi, Ike sering diajak diskusi oleh pencipta lagunya saat menggarap lirik. Dengan demikian, Ike dapat memberikan masukan, kira-kira suasana apa yang hendak disampaikan melalui melodi itu.

Walau Ike memiliki lagu favorit lain dari album-album yang dirilis, lagu Terlena karya Kuntet Mangkulangit telah membuat namanya berkibar dan bergema panjang. Dan malam itu, giliran Ike Nurjanah terlena oleh karya puisi.

Apa kegiatan Ike akhir-akhir ini? Tentu saja menyanyi seraya memanjakan puterinya semata wayang. Malam itu, Ike yang tampil dengan wajah alami, telah membuat kami semua terpesona. Terima kasih, Ike. Namun sayangnya, ia tak sampai larut, sementara para penyair terus merayakan pesta puisi itu hingga jauh malam.

           

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

 

 

 

Tuesday, December 12, 2006

Membongkar Ihwal di Kepala Akmal

KARENA Akmal Nasery Basral seorang wartawan, boleh jadi, cerpen-cerpennya berangkat dari pelbagai bongkahan pengalamannya sebagai pengunduh berita. Selintas kita akan ingat beberapa nama yang lebih dulu melakukan cara demikian: menulis fiksi dengan acuan fakta. Misalnya, Sori Siregar, Seno Gumira Ajidarma, Sirikit Syah, dan Putu Fajar Arcana. Meski demikian, ada banyak pula jurnalis yang tidak menempuh cara itu, misalnya Triyanto Triwikromo, Oka Rusmini, Ahmadun Yosi Herfanda. Tentu tidak ada yang salah bagi kedua kelompok itu. Sepanjang fiksi itu hidup, gemerlapan oleh pergulatan batin yang melibatkan emosi pembaca.

Dan sejak awal, saya sangat menyukai cerpen “Kelambu”, (atau saya katakan sebagai cerpen favorit?) yang, setelah saya cermati, justru nyaris tidak menunjukkan Akmal sebagai jurnalis. Tetapi, bukan berarti saya mengabaikan cerpen-cerpen Akmal yang lain. Justru saya, diam-diam, agak minder begitu membaca serbuk pengetahuan yang tertabur bak gemintang. Oleh karena itu, sebagai ‘kompetitor’ saya memilih cara aman dengan – seperti nasehat Seno Gumira – meletakkan diri lebih rendah di hadapan sebuah karya.

Mari kita surut ke belakang, tepatnya pada proses terbentuknya kumpulan cerpen “Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku”. Akmal mengaku ada semacam pemantik yang membuat dirinya melaju dengan tulisan demi tulisan, yakni ketika menemani Nelden (sepupunya) bertemu dengan Pak Budi Darma dalam rangka minta pengantar kumpulan cerpennya. Ini hal biasa, rasanya, bagi hampir setiap pengarang. Ada bagian syaraf-syaraf yang terbakar, yang membentuk motif, untuk segera berangkat lebih cepat ketimbang sebelumnya, saat belum ada yang ‘mengejar’nya. Tapi hal ini boleh dijadikan pertanyaan mendasar: mengapa Akmal perlu buru-buru menyelesaikan sebuah buku? Sehingga malam-malam berikutnya ia merasa gelisah, menyadari cerpennya baru satu-dua diumumkan di media massa. Lantas dengan cara yang tak terpahami oleh dirinya sendiri (saya jadi ingat bagaimana Budi Darma melahirkan Olenka atau Andrea Hirata menyelesaikan Laskar Pelangi), ia ‘menyaksikan’ pikiran dan tangannya bekerja, dan sejumlah cerpen lahir seperti mitraliur. Hingga genap dan patut untuk sebuah buku.

Targetkah itu bagi Akmal? Sedang berlomba dengan siapa? Kita mungkin perlu mendengar jawabannya langsung dari sang pengarang. Tetapi kita tahu, sesempurna apa pun hal yang dibuat dengan lekas dan rikat, akan menyisakan beberapa kekurangan. Mula-mula tentu saya temukan beberapa susunan kalimat yang bukan salah cetak, tetapi mungkin luput dari suntingan. Mudah-mudahan, dengan lolosnya hal seperti itu, tidak mengurangi kenikmatan membaca cerita-cerita yang berpijak pada latar fakta.

Pernah suatu hari di masa lalu, saya berbincang santai dengan Sitok Srengenge, perihal nama-nama yang saat kita pinjam sebagai tokoh cerita tak serta-merta menjadi fiksi. Misalkan kita sebut Goenawan Mohamad, pasti agak susah untuk diberi peran sebagai tukang kebun. Meskipun mungkin benar ada, tentu pembaca tak dapat melepaskan diri dari citra yang dikenal secara umum, sebagai tokoh publik. Oleh karena itu nama Johan dan Khaleeda dalam cerpen “Dilarang Bercanda dengan Kenangan” merupakan nama rekaan (atau samaran) yang menyusup ke dalam peristiwa nyata (prosesi pemakaman Lady Diana). Ada sejumlah besar manusia dalam peristiwa itu, membuat pengarang lebih leluasa memasang tokoh, dan pengalaman (dirinya atau orang lain) yang pernah menjadi kenyataan sebagai bagian otentik yang membuat cerita ini berhak hadir. Berbeda misalnya bila kita menceritakan tentang Perjanjian Linggarjati. Keduanya sama-sama mengandung unsur sejarah, namun peristiwa yang terakhir terdokumentasi secara lebih spesifik, sehingga tidak mungkin mengubah nama-nama peserta.

Kembali kepada keheranan sang pengarang terhadap mengalirnya gagasan yang kini menjadi teks (cerpen), sebetulnya, pada akhirnya, dapat kita mengerti masalahnya. Waktu dan kesempatan, yang seolah terkunci pada keran kesibukan tugas formal, telah menyumbat aliran itu selama ini. Sesungguhnya, seperti juga para jurnalis atau mantan jurnalis lain (saya sebut saja Arya Gunawan), memiliki timbunan gagasan yang merupakan frementasi seluruh peristiwa yang dialami hari demi hari melalui profesinya. Itu adalah sebuah deposit besar yang sewaktu-waktu dicairkan oleh sebuah kebutuhan. Kebutuhan dapat berasal dari diri sendiri atau justru dipicu oleh orang lain. Akan halnya Akmal, saya kira, pengaruh orang lain sebagai pemantik cukup besar. Ketika melihat orang lain hendak menerbitkan buku, ketika melihat kawan-kawannya begitu produktif, ketika menyadari lingkungan pada milis membuat gesekan-gesekan yang mengakibatkan semangatnya terbakar. Dan tentu oleh sebab-sebab lain yang bersifat spiritual.

Dengan kata lain, seorang jurnalis tak perlu heran ketika mampu menulis cerpen dengan baik, karena pada dasarnya sudah memiliki modal keterampilan mengkomunikasikan peristiwa yang disaksikannya kepada pembaca. Namun kenyataannya, tak banyak jurnalis yang mengambil kesempatan itu.

Pilihan Akmal untuk menulis fiksi selain menulis berita (investigasi) adalah bentuk aktualisasi diri yang patut dihargai. Sebagai teman, sekaligus saingan (dalam kompetisi anugerah sastra, misalnya), ada kewajiban untuk melakukan friendly speaking. Semangat Akmal dalam menggunakan metafor (yang menurutnya bukan satu-satunya cara menyampaikan pesan atau gagasan), kadang-kadang justru mengganggu kenikmatan penghayatan, mungkin karena ada yang hiperbolistik. Contoh saja: Fiona mengerti jika namanya dipanggil lengkap, berarti Danan sedang mendaki lereng kejengkelan yang lebih terjal dibandingkan gunung berapi manapun (cerpen “Fiona Benci dengan Paul Anka”). Atau: Lidah-lidah ombak seperti terus menjaga Mulhid sampai sebatas pinggang, bak selimut hidup yang terus bergerak… Angin mati… (cerpen “Lelaki yang Berumah di Tepi Pantai”). Atau: Aku memberi isyarat kepada para wartawan seperti mengayun tongkat Musa untuk membelah lautan… (cerpen “Dilarang Bercanda dengan Kenangan”).

Sementara itu, ada yang juga mengganggu, walaupun isinya tak keliru. Misalnya: Bukankah Rasul Muhammad mengajarkan agar Lebaran disemarakkan dengan zakat dan takbiran? (cerpen “Lebaran Penghabisan”). Atau: Tapi di manakah akar korupsi sebenarnya. Adakah ia sesederhana akar rumput… dst (cerpen: “Fiona Benci dengan Paul Anka”). Dalam cerpen “Seekor Hiu di Cangkir Kopi”, sang pengarang tampil dominan sebagai dirinya sendiri, sehingga surat Aldebaran dan Hyacinth, seperti ditulis oleh satu orang. Memang, disadari atau tidak, seorang pengarang, termasuk saya, sering terjebak pada hal-hal seperti ini.

Tampilnya aksen yang menghiasi sejumlah halaman pada buku kumpulan cerpen ini, mengingatkan saya pada permainan tipografi yang dilakukan oleh Hudan Hidayat dan Mariana Amiruddin dalam novel mereka Tuan dan Nona Kosong. Meskipun pada buku Akmal ada maksud yang lebih jelas, mungkin, sebagai dramatisasi kisah yang nyaris jadi kenes. Apakah dengan demikian pembaca akan lebih terbenam dalam penghayatan (semacam ilustrasi musik pada film)?

Namun seperti kata Budi Darma dalam pengantar buku ini, Akmal telah mengambil pilihan. Soal pop yang lebih bermakna tidak substansial, biarlah dibahas oleh pakar sastra. Saya sependapat dengan Nirwan Dewanto, bahwa harmoni sebuah cerpen (atau karya sastra pada umumnya) adalah keserasian antara bentuk dan isi. Sementara kekuatan sebuah cerpen, justru pada ironi yang ditimbulkannya. Joko Pinurbo, sebagai seorang penyair, pernah mengatakan: “Tulislah apa saja yang hendak kautulis, dan berikan kejutan pada kahir.” Rasanya, tanpa harus mengurai satu per satu, Akmal mampu melakukan itu. Hampir seluruh cerpennya mengandung unsur kejutan dan ironi. Tokoh-tokohnya, sebagaimana kenyataan manusia, adalah tubuh dan perasaan yang digayuti persoalan psikologis. Dan kembali, saya jatuh cinta pada cerpen “Kelambu”.

Ada sedikit kesan hiperealis, misalnya pada cerpen pembuka yang sekaligus menjadi judul buku, “Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku”, “Prolog Kematian” dan “Perkabungan Hujan”. Ini mengingatkan beberapa film Garin Nugroho yang terkadang ingin menampilkan peristiwa sebagaimana peristiwa itu terjadi: golok yang menebas leher kuda (Surat untuk Bidadari), perempuan yang menjahit jemarinya sendiri (Bulan Tertusuk Ilalang), atau pelbagai kejadian yang menghiasi film Daun di Atas Bantal.

Baiklah. Upaya saya membongkar ihwal di kepala Akmal tentu baru sebagian saja dari yang masih tersembunyi. Namun sebagaimana sebuah karya seni, yang acap mengandung multi tafsir, dan kadang-kadang bebas nilai, biarlah waktu dan publik yang mengujinya. Pertanyaan akhir bagi kumpulan cerpen Akmal, yang mungkin akan menjadi pemicu kehangatan diskusi pada sore ini, adalah: “Apa yang tercerap sebagai kesan bagi kita setelah membaca seluruh cerpen Akmal?”

 

(Ditulis sebagai pengantar diskusi buku “Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku” karya Akmal Nasery Basral, penerbit Ufuk Jakarta, 2006, dalam rangka Festival Potluck Bandung, 2 Desember 2006.)

Jakarta, 2 Desember 2006, pukul 02:27

 

 

 

 

Friday, December 08, 2006

Poligami

TANPA pengalaman, berbicara tentang poligami tentu tidak meyakinkan. Namun demikian, jika harus mengalami terlebih dahulu, ada sejumlah bekal yang harus saya (kebetulan seorang lelaki dan menjabat sebagai suami dan ayah) dipersiapkan sekaligus sejumlah resiko yang harus saya tanggung, dalam waktu yang memanjang ke depan.

Poligami sebagai sebuah solusi melembagakan hubungan seksual dan perasaan antara seorang lelaki dengan lebih dari satu perempuan (dalam Islam), ketika itu menyangkut nama seorang kyai yang kondang sebagai panutan, membuat pembicaraan tentang perkawinan itu marak di seantero Indonesia. Kebetulan pula, bersamaan dengan beredarnya video hubungan seks seorang pejabat DPR ‘melawanseorang penyanyi dangdut. Seolah-olah Tuhan sedang berkenan memberikan pelajaran kepada manusia (Indonesia) yang harus disikapi dengan kearifan luar biasa.

Siapa yang tak benar dalam kasus keduanya? Mana yang cocok untuk lelaki dan wanita Indonesia dengan dua contoh kasus di atas? Bagaimana jika tetap bersitahan untuk tidak memilih keduanya?

Rasanya Puspowardoyo, yang dengan bangga bahkan memberikan piala bagi poligamian teladan, juga bukan kasus yang pertama. Karena hampir semua pemimpin pesantren merasa lebih afdol jika memperistri lebih dari satu perempuan. Lebihdihormati’, sebagaimana raja-raja di zaman dahulu (maupun yang tersisa sekarang). Bahkan pernah ditampilkan dalam acaraCanda Sindendi sebuah stasiun televisi, seorang saudagar batik yang memiliki 9 isteri, dan konon rukun-rukun saja. Dalam kelakar yang mungkin tulus, diceritakan, setiap Lebaran mereka akan menyewa bis untuk bersilaturahmi kepada seluruh mertua tanpa memisahkan masing-masing isterinya.

Yang penting adil, bukan? Padahaladil’, rasanya hanya milik Allah. Karena Rasulullah, sepanjang berpoligami (sepeninggal yang terhormat Siti Khadijah), juga tak pernah henti meminta ampun kepada Allah. Bagaimana kita yang manusia biasa, dapat memanipulasi nafsu syahwat menjadi sebuah cinta yang ‘lil alamin’? Dalam sejumlah riwayat, setiap kali Muhammad SAW sedang bersama salah satu isterinya, sang isteri merasa dialah satu-satunya yang dimiliki oleh Sang Nabi. Kesan ini membutuhkan tak sekadar seorang lelaki yang piawai menciptakan ‘drama’, melainkan juga karena ada petunjuk Allah.

Kini poligami menjadi pembicaraan yang kembali hangat, dipicu justru oleh penggemar Aa Gym yang kecewa. Saya dan dua orang teman pun ikut bergosip pada suatu kesempatan makan siang. Apa kira-kira alasan Aa Gym? Jika Aa membutuhkan teman dalam perjalanan dakwahnya yang kadang-kadang berminggu-minggu, mengapa dipilih seorang janda dengan anak tiga yang tentu akan sulit pula pergi berlama-lama? Andai tujuannya meredakan gejolak kompetisi para santrinya yang sedangmemperebutkanwanita cantik itu, dengan cara menikahinya, barangkali ada cara lain yang lebih elegan. Misalnya: mengumpulkan semua santri yang berminat, lalu meminta sang wanita memilih yang paling dia cintai, dan Aa bertindak sebagaiwali’nya. Eh, kami kok jadi tukang saran… memangnya ilmu kami sampai di mana?

Akan tetapi, tentu jauh lebih buruk bila memilih jalan seperti yang ditempuh oleh YZ dan ME – kebetulan keduanya menyandang nama indah Islami dan salah satunya bekerja untuk menjaga moral bangsa (kerohanian).

Pagi ini saya bertanya kepada rekan sejawat wanita, bagaimana sebenarnya sikap perempuan terhadap poligami? Sementara Dewi Yul yang pernah mendukung namun terempas juga pada akhirnya. Teman saya menjawab: “Dari hati yang paling dalam, seorang perempuan tak bisa menerima poligami.” Lalu ia mencontohkan, bahwa dalam ungkapan keikhlasan Teh Ninih, isteri pertama Aa Gym, terselip kata: “Ini cobaan terberat.” Artinya, dengan tingkat keimanan yang kuat pun masih memandang ini sebagaicobaan’, belumanugerah’. Lantas bagaimana halnya dengan perasaan isteri kedua dan berikutnya?

Baiklah, tanpa pengalaman, pembicaraan tentang poligami tentu nyaris nonsens. Untuk menasihati diri sendiri, mungkin sebaiknya saya ucapkan sesuatu yang juga tidak perlu menjadi amanat.

Wahai para lelaki yang telah berpredikat suami, setialah anda kepada satu-satunya isteri anda sampai akhir hayat. Wahai para wanita yang (kebetulan lebih banyak jumlahnya ketimbang lelaki) belum menemukan suami, setialah pada kelajangan anda sampai mendapatkan jodoh yang tidak akan mengganggu perasaan wanita lain.”

Ucapan di atas tentu karena sang penulis miskin pengalaman dan pengetahuan.

 

(Kurnia Effendi, untuk kolom JEDA tabloid PARLE, edisi 66)