Monday, September 14, 2009

ENERGI POSITIF

Perilaku manusia di dunia, seperti yang pernah diperkirakan oleh malaikat, lebih dominan membuat kerusakan. Bumi hijau ranum yang dihadiahkan Tuhan kepada umat manusia keturunan Adam sebagai satu-satunya planet yang dapat dihuni oleh kehidupan para makhluk, justru menjadi bulan-bulanan (bukan bumi-bumian). Eksplorasi tak kunjung usai, sejak untuk kemanfaatan sampai demi kerakusan manusia.

“Aku Mahatahu,” itulah firman Tuhan saat malaikat mengajukan ‘protes’ atas rencana-Nya menurunkan manusia ke Bumi. Dengan keseimbangan harapan bahwa tugas manusia di Bumi adalah menjadi wakil Tuhan, sebagai khalifah, agaknya telah memperpanjang usia jagat raya sampai detik ini. Sampai hari kemudian.

Untuk memelihara keseimbangan itu, tarik-menarik yang menyisakan usia entah sampai kapan, pasti ada semacam energi positif. Bahkan ada sedikit unsur mistik (bukan animisme, melainkan sesuatu yang gaib dan abstrak), misalnya: sepanjang azan masih berkumandang pada tiap waktu salat, dunia ini bertambah usia. Apa pun yang melatarbelakangi hal itu, saya pribadi sangat percaya bahwa hal-hal baik selalu akan menetralisir hal-hal buruk.

Dengan kata lain, energi positif akan selalu memudarkan energi negatif. Warna putih jika dituang terus menerus ke dalam warna hitam, lambat-laun akan berubah abu-abu. Percaya atau tidak, sebaiknya kita praktikkan saja. Mari kita awali setiap hari dengan tersenyum.

 

”Halo!” Sebetulnya tidak harus dengan kata ’halo’. Boleh dengan ’hai’ atau yang lebih indah, ’asalamualaikum’. Apa pun bahasanya, sesuai dengan tempat kita berpijak, sepanjang bermakna sapaan yang ramah dan tulus, akan menyembuhkan seribu penyakit hati. Ah, ini istilah saya saja, agar terdengar puitis. Namun saya teringat akan pendapat seseorang bahwa tersenyum itu sebaiknya tidak melulu akibat dari stimulan yang menyenangkan, tetapi justru sebagai pencipta kegembiraan. Jadi, tersenyumlah untuk mencairkan suasana yang murung. Tersenyumlah untuk mewarnai dunia ini menjadi gilang-gemilang.

Sapaan ramah itu alangkah indahnya bila dilanjutkan dengan menanyakan kabar lalu mendoakan agar kita (yang menyapa dan disapa) selalu dianugerahi kesehatan. Ternyata, sehat itu paling penting dari semua urusan. Mungkin karena semua yang kita lakukan dan kita rasakan menjadi buruk jika kita sakit. Sehat juga ternyata mahal setelah tahu tarif rumah sakit dan harga obat sering tak terjangkau oleh isi dompet kita.

Energi positif yang kita embuskan, percayalah, akan mengembalikan berkali-lipat kemanfaatan yang oleh kita sering disadari sebagai keajaiban. Jadi, janganlah merasa sayang atau pelit untuk menyapa anggota keluarga, tetangga kanan dan kiri, orang-orang yang berpapasan dengan langkah kita, teman sejawat di kantor, dan siapa pun yang jaraknya tak sampai satu meter dari kita.

 

”Tolong.” Perintah seberat apa pun ketika diawali dengan kata ’tolong’, serasa menjadi sebuah kelembutan yang meningkatkan derajat orang yang kita repotkan. Coba kita rasakan bedanya memaknai perintah atasan yang langsung menyuruh: ”Kef, siapkan laporan survei kemarin dalam lima belas menit ya!” dengan ”Kef, tolong bantu saya menyiapkan laporan survei kemarin. Akan sangat menyenangkan bila selesai sebelum lima belas menit.”

Apa reaksi saya untuk kedua permintaan itu? Tentu akan lebih memberi energi positif cara kedua dibanding cara pertama. Power atau kekuasaan tak perlu ditunjukkan dengan kencangnya suara, ketusnya nada ucapan, atau tajamnya kalimat. Keduanya bermakna sama, menyuruh-nyuruh juga, tetapi bakal diterima dengan perasaan berbeda. Perintah pertama akan membuat saya blingsatan dan mengerjakan tanpa rasa tulus, di bawah tekanan, dan ada bekas sakit hati yang berjejak. Sementara perintah yang kedua akan dilaksanakan penuh semangat, karena ada empati yang lebih dulu dibalurkan pada cara memintanya. Bos kita butuh bantuan, itu yang terasa untuk permintaan dengan kata ‘tolong’, bukan sedang ‘menyiksa’ kita.

Kata ‘tolong’ mengandung energi positif yang mengalir dengan efektif. Membuat yang diberi tugas terdorong lebih semangat dan merasa memiliki peran. Sama sekali jauh dari kesan ’pecundang’. Nah, sesungguhnya kita acap ”menyuruh-nyuruh” Tuhan melalui doa yang kita panjatkan. ”Ya Tuhan, ampuni dosa saya. Berikan saya kesehatan. Curahkan kepada saya rizki...” Memang, permintaan tolong yang paling tanpa batas hanyalah kepada Tuhan, meskipun kita sering tak paham saat Tuhan tidak mengabulkan permohonan kita.

 

”Maaf.” Begitu indah dunia dan kehidupan saat setiap orang mudah meminta maaf. Kesalahan tidak selalu kita sadari karena tidak setiap perilaku buruk dan tak menyenangkan itu direncanakan. Perilaku aneh-aneh yang terbit dari sifat egois kita kerap muncul di jalan raya (bagi yang hidup di kota). Oleh kepentingan pribadi kadang-kadang kita tega mengesampingkan prioritas orang lain. Jadi, apa salahnya jika menjadikan ucapan ’maaf’ sebagai refleks lidah dan mulut?

Kita masuk berlawanan arah dalam sebuah gang sempit. misalnya. Segeralah mengambil tindakan mengalah, karena itu jauh mempercepat selesainya masalah ketimbang kita menilai siapa yang salah. Lantas, setelah kita bersimpangan, ucapkan ’maaf’ meskipun kita tahu dia yang melanggar. Tidak disampaikan dalam nada sindiran, tetapi keluarkanlah dengan nafas ketulusan. Mungkin bagi orang yang beradab akan membuat dirinya malu, tetapi bukan itu tujuan kita. Dengan mengucap ’maaf’, kita telah terbebas dari jalinan rasa tak nyaman yang sempat sengkarut.

Energi maaf, yang disemburatkan melalui pintu hati yang terbuka lebar, sekaligus membuat kita terlepas dari beban. Mendadak menjadi lega. Apakah dengan kata ’maaf’ berarti kita bersalah? Belum tentu. Ungkapan maaf lebih bermakna silaturahmi untuk saling membersihkan hati. Dengan kenyamanan orang lain otomatis kita bakal menerima dampaknya yang lebih manis.

 

”Terima kasih.” Mungkin inilah puncak dari kenikmatan hidup; yakni ketika kita sanggup mensyukuri semua yang kita terima. Bayangkan, sejak membuka mata dinihari, kita sudah dilimpahi kenikmatan oksigen yang kita hidup, sinar matahari yang membuat segala benda mudah terlihat, hawa yang membuat tubuh kita nyaman. Semua itu gratis dari Tuhan.

Kita juga wajib berterima kasih kepada sang Pencipta lantaran bisa bangun kembali dari tidur dengan semua organ tubuh berfungsi baik: otak, jantung, paru-paru, ginjal, persendian, pancaindra, dan semuanya. Bagi yang tidak sempurna, pasti memiliki kebahagiaanya yang lain. Dengan menyadari itu semua, tak pantas kita menyia-nyiakan semua fasilitas dengan mengisi hidup ini tanpa manfaat.

Sebagai manusia, apalagi yang merasa berjasa kepada lainnya, didambakannya diam-diam ucapan terima kasih dari orang lain. ”Boro-boro membayar, terima kasih saja tidak.” Kita sering mendengar keluhan atau umpatan semacam itu. Itu terlontar karena ketika memberikan bantuan dan jasa tidak menggunakan ilmu ikhlas. Maka, ketika penerimaannya tidak sesuai dengan ekspektasi, yang muncul adalah rasa sesal. Padahal ketulusan justru akan menolong kita dari beban yang tak penting. Dengan keingina  dibalas budi. kita jadi sibuk mengingat-ingat sesuatu yang lantas tergerus pahalanya. Mungkin yang lebih tepat adalah: pamrihlah kepada Tuhan. Sebab, Tuhan memang tempat meminta yang tak pernah kehabisan stok.

Tuhan saja ’senang’ dipanjatkan alhamdulillah, apalagi sesorang yang dihargai dengan ucapan terima kasih. Boleh jadi, jasanya hanya kecil. Sebagai contoh, ia hanya memberi sedikit tempat dalam kabin lift yang penuh, kita wajib menyampaikan terima kasih. Apalagi jika dia telah menolong kita terbebas dari bencana dahsyat (tentu banyak contohnya), rasanya tak akan cukup kita sampaikan terima kasih berulang-ulang setiap hari. Penting diketahui, ucapan terima kasih yang wajar tanpa harus membuat orang itu sungkan dan salah tingkah, akan memekarkan dadanya. Itu artinya, sebuah energi positif sedang kita tuangkan untuk mengganti sel-sel rusak menjadi gumpalan semangat baru.

Dengan terima kasih yang kita dermakan, orang-orang akan semakin ringan tangan membantu kita. Apa artinya? Mulai dari sapaan ramah, permintaan tolong yang sopan, ungkapan maaf atas ketidaknyamanan orang lain, dan rasa terima kasih yang mendalam, membuat hidup ini indah tanpa harus menghiasinya dengan dekorasi yang mahal. ***

 

* Kurnia Effendi, Ketua Asosiasi Penulis Cerita (ANITA)

 

Thursday, September 10, 2009

MASA INKUBASI KARYA

Masa inkubasi tidak hanya berlaku bagi virus penyakit. Kata itu memang berasal dari istilah pengeraman, pembentukan, proses pembiakan, untuk kuman atau virus sejak benih sampai terjadinya penyakit. Dengan kondisi yang mirip, rentang durasi yang mengubah cikal bakal tumbuh dan ‘lahir’ sebagai bentuk yang berbeda (mengejawantah), disebut masa inkubasi.

Istilah itu disampaikan oleh Budi Darma, seorang novelis yang menjadi guru besar di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan dosen Universitas Petra Surabaya, pada kesempatan diskusi novel Olenka. Ada beberapa pertanyaan dari peserta forum diskusi, berbunyi seperti ini: “Apakah ada hubungan antara novel Olenka dengan tren hippies di Amerika tahun 70-an? Siapakah Olenka sebenarnya? Apa yang menyebabkan novel Olenka ditulis begitu deras seolah tak terbendung?”

Sebelum menyampaikan jawaban dari ketiga pertanyaan itu, saya ingin berbagi pengalaman saat membaca novel Olenka.

Novel itu ditulis oleh Budi Darma di akhir tahun 70-an. Mendapat penghargaan sebagai buku sastra terbaik sekitar awal tahun 80-an. Diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka dengan kaver yang sederhana (bila dibandingkan dengan desain-desain sampul masa kini). Pertama kali saya membaca langsung terpesona. Di awal tahun 80-an itu, saya sedang keranjingan bacaan.

Saat itu saya masih duduk di STM Pembangunan Semarang, jauh dari urusan sastra. Pelajaran yang saya terima di kelas yang minim teman perempuan, dominan soal teknik. Namun dalam pelajaran bahasa Indonesia, saya memiliki ketertarikan lebih. Tak heran jika saya demikian aktif  mengisi majalah dinding bernama “Trio Dinamika”. Tak heran jika saya sering berlama-lama mojok di perpustakaan membaca buku-buku fiksi.

Apa yang saya baca saat itu? Karmila dan Badai Pasti Berlalu karya Marga T. Cintaku di Kampus Biru, Terminal Cinta Terakhir, Sirkuit Kemelut, karya Ashadi Siregar. Sejumlah puisi Toto Sudarto Bachtiar, Darmanto Jatman, dan Taufiq Ismail. Berlangganan majalah Hai dan menggemari Arswendo Atmowiloto. Menyukai novel dan cerpen Putu Wijaya yang absurd. Di antaranya Stasiun, Telegram, dan naskah-naskah dramanya. Kagum pada karya Iwan Simatupang seperti Tegak Lurus dengan Langit, Ziarah, Merahnya Merah. Membaca terjemahan indah Anton Adiwiyoto untuk novel Wanita karya Paul I Wellman. Lalu, di antara yang berserak itu… saya temukan Olenka!

Sebuah cara menulis yang tak biasa diakui oleh pengarangnya, Budi Darma, membuat saya ingin mendapatkan pemicu dan dorongan yang sama. Menulis dengan deras seolah tak terbendung tentu digerakkan oleh energi yang tak tampak. Keunikan novel karya Budi Darma itu terdapat pada bias antara proses yang merupakan fakta dan aliran kisah yang fiktif (fiksi). Ini sebuah skripsi atau cerita rekaan?

Di sana ada bab-bab dengan banyak catatan kaki. Dalam novel itu ada ihwal cerita yang masuk ke dalam cerita. Tokoh-tokoh utama dalam novel itu, Olenka, Wayne Danton, dan Fanton Drummon, adalah karakter yang tak dapat disebut normal. Mereka unik satu sama lain, dan secara psikologis bahkan dapat digolongkan ‘sakit’.

Ada penciptaan metafor yang asyik, misalnya si Drummon menganggap Olenka sebagai sebuah peta. Digelar di mana saja: meja makan, dapur, di atas lemari. Terbayang betapa liarnya mereka bercinta. Bagaimana mungkin keliaran tokoh-tokoh itu muncul dari pribadi yang santun dan tenang semacam Budi Darma? Kenyataannya seperti itu. Sikap sopan, ramah, dan selalu menghormati orang lain itu tidak menghalangi pikiran dan imajinasinya untuk kelayapan ke mana-mana. Gabungan antara energi dan kreativitas telah membangun sebuah masterpiece karya sastra. Dan ternyata, saya telah membaca Olenka lebih dari 4 kali, dengan kesan yang selalu baru.

Cerita dengan latar tempat Bloominton, Indiana, Amerika itu  toh tidak serta-merta menyembunyikan Budi Darma sebagai orang Jawa (Surabaya). Percakapan dalam novelnya itu selalu menggunakan kata ‘sampeyan’ sebagai kata ganti ‘kamu’ yang terkesan Jawa banget.

Mari kita simak jawaban Budi Darma untuk tiga pertanyaan di atas. Fakta pertama, di tahun 70-an Budi Darma bersama Sapardi Djoko Damono berada di San Fransisco, kota pusat ledakan hippies yang terjadi sebagai dampak dari kebijakan wajib militer bagi setiap warganegara Amrik, yang ditolak oleh salah satunya petinju Muhammad Ali.

Fakta kedua, Olenka adalah seorang warga Rusia dengan nama panjang Olga Semionova, yang menjadi tokoh dalam cerpen “The Darling” karya anton Chekov. Budi Darma membaca bertahun-tahun sebelum novel Olenka ditulisnya. Dalam waktu yang berbeda, gerakan hippies di Amerika dan nama Olenka mengendap dalam alam bawah sadarnya.

“Ada seorang penumpang pesawat yang terbang dari Honduras ke Amerika,” kata Budi Darma. “Penumpang itu telah terjangkit virus flu babi yang pada hari keempat atau kelima akan merasakan sakit. Setelah tiba di Amerika, pada hari kelima ia merasakan sakit dan oleh dokter divonis mengidap flu babi. Jarak sejak virus itu mengeram sampai meledaknya rasa sakit itulah yang disebut masa inkubasi. Endapan nama Olenka itu mengeram dalam masa inkubasi yang panjang sampai meledak sebagai tokoh novel di Bloomington bertahun-tahun kemudian.”

Pertanyaan kita berikutnya: apa yang memicu terbukanya keran kreativitas dan energi untuk menuliskannya?

Fakta ketiga, suatu hari ketika Budi Darma pulang ke apartemennya, bertemu seorang wanita dan tiga gembel dalam sebuah lift. Budi Darma membayangkan nama perempuan itu Olenka! Sesampai di kamarnya, ia membuka mesin ketik dan menulis seperti kesetanan. Mengalir deras tak henti-henti.

Jadi antara endapan memori dan trigger itu merupakan faktor yang menentukan lahirnya karya bagi seorang seniman. Budi Darma mengaku tidak memiliki tendensi khusus novel-novelnya akan ditujukan kepada sekelompok pembaca tertentu. Ia hanya menulis saja, sesuatu yang sangat nikmat baginya. Saya mengenal karya-karyanya yang lain: Orang-Orang Bloomington, Nyonya Talis, Rafilus, Harmonium, dan Kritikus Adinan. Dan novel Olenka diterbitkan ulang oleh Balai Pustaka tahun 2009 ini.

Setiap kali saya bertemu dengan Budi Darma, selalu bertambah ilmu, selalu merasa dipompa energi untuk menulis lebih baik. Ia seorang bapak yang dermawan berbagi pengalaman dan pengetahuan. Setiap kali saya berdinas ke Surabaya, selalu saya sempatkan singgah di rumahnya. Setiap kali Budi Darma memiliki agenda di Jakarta, Depok, Puncak, atau di mana pun yang sanggup saya sambangi, selalu saya usahakan untuk bertemu. Kadang-kadang terlibat dalam acaranya atau sengaja mengobrol sembari minum kopi di lobi hotel tempatnya menginap. Itu pasti lebih hikmat dan nikmat.

***

Kurnia Effendi

 

 

 

 

 

Wednesday, September 09, 2009

INKHEART

Ia disebut si Lidah Perak, Silvertounge. Mengapa? Karena saat ia membaca cerita dari sebuah buku, setiap tokoh di dalamnya akan keluar dari teks dan menjadi wujud nyata dengan karakter yang persis sesuai keinginan pengarangnya.

Ini cerita dari sebuah novel berjudul Inkheart karya Cornelia Funke, tetapi saya menontonnya dalam media film. Audi visual. Ditunjukkan di sana, ketika Mortimer si Lidah Perak itu sedang membacakan cerita bagi Meggy, anak perempuannya yang masih berada dalam kereta dorong, ada sesuatu yang aneh. Ia membaca bagian yang menyebut “selimut merah”, dan datanglah selimut merah dari langit diantar cuaca mendung penuh petir.

Ringkas cerita, ada sebuah buku fiksi fantastik yang melepaskan sejumlah tokoh. Satu di antaranya memburu Mortimer ke segala penjuru. Apa tuntutannya? Ia ingin dikembalikan ke dalam buku itu. Risiko yang lain, entah mengapa, istri Mortimer atau mama Meggy yang merupakan tokoh nyata, masuk ke dalam buku Inkheart. Sejak itu Meggy menjadi piatu, diasuh oleh ayahnya hingga remaja.

Petualangan Mortimer memburu buku Inkheart (diceritakan selalu mengunjungi pameran dan bursa buku-buku lawas) adalah untuk mengembalikan istrinya ke alam nyata. Namun di sebuah kota di Prancis, ia harus berurusan dengan tokoh dalam Inkheart yang ahli menjadi pengelola api. Petualangan itu sampai kepada peristiwa terbakarnya perpustakaan besar milik nenek Meggy dan diculiknya keluarga Mortimer bertemu dengan para tokoh fantasi dalam Inkheart yang dikurung kerangkeng besi. Di tempat itulah sebetulnya Resa berada, namun dalam keadaan kehilangan suara.

Film ini sangat menggugah karena berkaitan dengan buku: sebuah dunia yang saya akrabi sejak kecil. Buku adalah sahabat yang menghibur di pelbagai tempat. Buku adalah jendela dunia, kata Nehru. Buku adalah gudang ilmu. Buku adalah petunjuk hidup (terutama jika itu kitab suci), pedoman untuk melakukan banyak hal (jika itu buku-buku praktis). Buku adalah bagian dari industri masa kini.

Menurut seorang pembaca ‘gila’, film Inkheart tak sekuat novelnya. Tentu saja, karena buku bisa memancing imajinasi kita ke mana-mana hanya dengan buaian kata-kata. Sementara film, selain durasinya terbatas, imajinasinya telah diwakili oleh sutradara melalui artistik visual. Namun demikian, tidak semua film gagal menerjemahkan buku. The Goodfather masih cukup baik dan berhasil.

Pengarang novel Inkheart yang juga sempat bertemu dengan tokoh-tokohnya, begitu kagum mendapati “kenyataan” itu. Ini semacam simbol, bahwa buku-buku fiksi yang bagus (termasuk Harry Potter dan karya-karya Ernest Hemingway), yang menampilkan tokoh-tokoh dengan karakter kuat, serupa anak-anak kandung bagi sang pengarang. Tokoh itu begitu hidup. Seperti orang-orang yang berada di sekitar kita.

Entah energi seperti apa yang ditiupkan oleh para pengarang hebat, sehingga Don Carleone (The Goodfather), Hercule Poirot (novel-novel detektif Agatha Christie), Ikal (tokoh sentral novel memoar Laskar Pelangi), Musashi dan masih banyak lagi, menjadi ikon yang melekat dalam ingatan banyak orang. Barangkali, Inkheart juga ingin memberi tahu kepada kita, bahwa setiap goresan pena sang pengarang adalah benih energi yang dapat dihidupkan oleh siapa pun kapan saja.

Maka berbahagialah para pembaca yang menemukan kisah-kisah bagus, yang ditulis bukan dengan sambil lalu, namun mengerahkan semua imajinasi dan pertimbangan rasional untuk menemukan logika (fantasi) yang dapat diterima secara luas. Pembaca-pembaca pintar selalu memberikan nilai tambah pada buku yang dibacanya. Membeli buku bagi yang punya uang tentu persoalan gampang, namun yang sulit adalah memilih buku yang baik.

Bagaimana cara mengenali buku yang baik? Ada banyak bantuan kalau kita mau membuka blog-blog para reviewer buku. Di sana, para pembaca ‘gila’ itu memberi kesan pembacaan mereka dengan cukup terbuka. Jika bagus akan dibilang bagus, jika buruk juga bisa terus terang dinilai buruk. Bahkan komentar-komentar yang hadir sesudah rilis resensi buku itu akan membimbing kita ke arah pendapat yang cukup solid.

Di masa kini buku menjadi semacam gaya hidup. Kalau tidak pernah membaca buku, tampaknya akan berkurang gengsinya. Kalau ada eksekutif muda yang tidak tahu siapa John Grisham atau Sidney Sheldon, rasanya kurang gaul. Jika ada kaum intelektual yang luput membaca Goenawan Mohamad, Pramoedya Ananta Toer, atau sejarah sukses Starbucks, bisa dibilang ketinggalan. Bahkan para santri pun mulai membaca buku-buku di luar teks agama. Mungkin saja diawali dengan novel Ayat-Ayat Cinta, selanjutnya terjemahan karya Julian Barnes pun dilahap.

Buku akan bertambah indah oleh imajinasi pembaca. Inkheart akan lebih indah bila kita lepaskan ingatan dari filmnya. Filmnya sendiri sudah mewakili bayangan takjub tentang tokoh yang “tersesat” di bumi dan menuntut pembacanya dengan kekerasan demi dapat kembali ke dalam teks. Meggy, anak Mortimer yang mewarisi kemampuan ayahnya dalam menghidupkan tokoh, di pengujung cerita telah menyelamatkan umat manusia. Dengan cara apa? Membaca teks yang ditulisnya sendiri, menghancurkan tokoh-tokoh jahat, dan mengembalikan keluarganya dalam satu pelukan kebahagiaan.

Berbeda dengan film-film vampire yang selalu mengakhiri dengan sebuah awal (menyisakan tanya: “Wah, bagaimana selanjutnya?”), Inkheart ditutup dengan happy ending. 

Dalam hal ini, seorang pengarang wajib pintar dan komunikatif. Kalau tak pintar, tak mungkin menghasilkan karya yang sanggup memukau pembacanya. Kalau tidak kreatif dan komunikatif, mana mungkin kisahnya terasa hidup, diterima, dan dikenang oleh banyak orang, nyaris sepanjang zaman. Dulu tentu berawal dari para sastrawan bangsawan, karena merekalah yang memiliki kesempatan menjadi pintar dibanding rakyat jelata. Kini hampir semua kalangan dapat menjadi pengarang, dengan panduan bakat dan ilmu yang diperlolehnya secara akademis maupun informal.

Inkheart mungkin salah satu contoh saja yang memadukan antara otoritas pengarang dan manifestasi para tokohnya. Di masa lalu ada dongeng yang selalu menyelamatkan penceritanya dari hukuman mati dari Sang Raja (Kisah 1001 Malam). Beberapa memoar juga berkisah atau terabadikan lantaran buku, seperti “Buku Harian Anne Frank” atau kisah perjalanan Mayan, memoar yang ditulis dalam bentuk novel oleh Sanie B. Kuncoro.

***

(Kurnia Effendi, penulis memoar “The Four Fingered Pianist”)