Tuesday, March 24, 2009

Pranita Dewi, Anomali Gadis Bali

Adakah perempuan Bali yang tak pandai menari? Ada. Salah satunya adalah Pranita Dewi. Bukan berarti tubuhnya kurang gemulai atau tak luwes menggerakkan tangan, tetapi ada “syarat” yang dipenuhinya, yakni sepasang matanya yang sipit.

“Jadi matamu tak pandai mengerling dengan kelopak terbuka membundar?”

Eka, panggilan akrabnya, tertawa. Dan semakin menghilang mata kecilnya menjadi garis yang eksotik. Mungkin untuk mencuri ciuman pada pipinya, perlu membuatnya tertawa dulu.

“Saya dulu belajar menari bersama sepupu di banjar. Tetapi entah mengapa, guru tari yang masih saudara itu tidak pernah mengajari saya. Selalu saja sepupu saya yang dilatih gerakan-gerakan baru. Apakah ia telah melihat tak ada bakat pada saya?” Pranita Dewi mengenang masa lalunya.

Tetapi, sebagaimana orang Bali yang selalu karib dengan seni budaya, ada satu bakat cemerlang yang dimilikinya. Pranita Dewi adalah seorang penyair!

Ia mengaku menyukai puisi sejak masa kanak-kanak. Ketika masih SD dan SMP sering mengikuti perlombaan membaca puisi, namun saying tak pernah meraih kemenangan. Sungguh bukan kemenangan yang dicari semata, melainkan karena ia mencintai sastra, maka tak pernah lepas ia dari dunia puisi.

Suatu kali, sebagaimana remaja sebayanya, ia hendak menyaksikan pertunjukan Sheila on 7 (sebuah grup band anak muda yang dimotori oleh Duta dan Eros) di Taman Budaya Denpasar. Ia dan beberapa temannya belum memiliki tiket, sehingga sedikit panik. Saat dilihatnya ada seorang lelaki sedang berada di sekitar tempat itu, Pranita dan teman-temannya mendekat, mengira ia calo tiket.

“Wah, saya di sini sedang menunggu teman sambil melihat-lihat buku,” begitu Pranita menirukan jawaban cowok itu. “Tahu nggak, siapa dia?”

Tentu saja saya menggeleng. Dan Pranita sambil tersenyum geli mengenang peristiwa itu, mengatakan: “Dialah Warih Wisatsana!”

Warih Wisatsana adalah seorang panyair yang telah banyak memenangkan lomba menulis puisi, berpengalaman menjadi juri, menerbitkan buku puisi, dan menjadi pelatih penulisan pada sanggar-sanggar sastra.

Sejak itu, setelah Warih memperkenalkan diri sebagai seorang penyair dan Pranita mengatakan suka sastra, mereka sering bertemu. Ada satu ucapan Warih yang masih diingatnya: “Kamu boleh datang ke sanggar, tapi jangan bilang sebagi murid saya.” Padahal secara khusus, Pranita belajar pada Warih.

Ni Wayan Eka Pranita Dewi, lahir di Denpasar 19 Juni 1987. Kini dikenal luas melalui buku antologi puisinya berjudul “Pelacur Para Dewa.” yang pernah masuk nominasi Khatulistiwa Litetrary Award 2005. Karya puisi, prosa lirik, dan cerita pendeknya, muncul di berbagai media cetak, antara lain Koran Tempo, Kompas, Media Indonesia, Horison, dan sejumlah jurnal sastra. Ia juga diundang ke berbagai perhelatan sastra, baik di Denpasar maupun di luar kota. Pernah membacakan puisi-puisinya di Teater Utan Kayu bersama penyair Lampung, Yogya, dan Batam.

Akhir tahun lalu ia diundang dalam temu sastrawan Mitra Praja Utama di Lembang, Jawa Barat. Kedatangannya di kota dingin itu menghangatkan suasana. Di malam penutupan, Pranita Dewi menari bersama para penyair dalam acara musik tradisi Sunda. Goyang pinggul dan gerakan luwes tangannya memukau berpuluh pasang mata.

Ah, Pranita Dewi!  Ia seperti titisan Dayang Sumbi. Terlebih ketika ia berada di tengah alam terbuka, saat  kawah Tangkuban Perahu sedang dibayangi kabut putih.

(Kurnia Effendi)

 

 

Monday, March 23, 2009

Safrina dan Peduli Bacaan Remaja

Anak-anak dan remaja adalah masa depan kita. Mereka masih memiliki waktu panjang yang akan ditempuh. Jadi, mari kita berkarya untuk mereka. Bekali mereka dengan cerpen, novel, dan karya sastra lain yang baik.”

Itu ucapan Safrina saat menjadi pembicara dalam Temu Sastra Mitra Praja Utama di Lembang. Ketika kembali di wawancara oleh Parle, pendapatnya masih konsisten, bahwa kita harus memikirkan bahan bacaan yang baik bagi anak-anak dan remaja. Pekan ini, Safrina diminta menjadi pembicara dalam seminar sastra di Universitas Sanata Dharma Yogya, yang bertema “Reading Asia, Forging Identities in Literature (Rafil): East-West Encounters”

            ”Mau mengangkat soal apa?”

“Saya kebetulan pernah membaca sebuah novel remaja yang cukup unik, terbitan Australia. Judul bukunya Snow, Fire, Sword karya Sophie Masson. Di sana ada konflik yang menyangkut agama. Novel itu ditulis setelah peristiwa bom Bali. Latar tempatnya mengambil rujukan Indonesia, tepatnya Pulau Jawa. Ada unsur pewayangan, keris, dan legenda Nyai Loro Kidul yang disebut Ratu Pohon. Tokohnya orang Arab, mungkin untuk menggambarkan Islam. Nasrani dan Hindu disebut tetapi agama yang lain menggunakan nama fiktif.” Safrina menjelaskan.  

Bercakap dengan Safrina Soemadipradja Noorman—demikian nama lengkapnya dengan ’mengajak’ orang tua dan suami—sangat menyenangkan. Pandangannya luas tetapi selalu berusaha rendah hati. Ia menjadi dosen di Fakultas Sastra Inggris Universitas Pendidikan Indonesia (dulu IKIP) Bandung sejak 1987. Cita-cita memang menjadi pengajar, guru SMA, tetapi kenyataannya menjadi dosen.

Sejak kecil suka membaca, kini keempat anaknya juga sangat menyukai buku. Mereka memiliki kegemaran yang berbeda dalam memilih buku, dan itu malah jadi memperkaya ”perpustakaan” di rumah.

”Di mana-mana ada buku,” begitu pengakuannya. Tidak menyebut jumlah yang tepat, tetapi diperkirakan jumlahnya sekitar 2000 buku. “Kami memang menciptakan budaya gemar membaca. Dulu, ketika anak-anak masih kecil, setiap masuk ke toko buku, masing-masing bebas memilih buku, tetapi ada satu buku dari ibu.”

Rupanya, dengan cara demikian, sang anak jadi terarah jenis bacaannya. Kini, ketika si bungsu sudah SMP, tentu sudah boleh menentukan sendiri buku yang hendak dibeli dan dibacanya. Bahkan mereka suka membaca buku-buku berbahasa Inggris.

Ketika ditanya tentang hobi yang lain, Safrina yang lahir tanggal 29 Juli 1962 ini mengaku suka melukis. Obyek yang paling disukai adalah pohon. ”Dengan pensil saja, sih.”

Kapan pameran? Safrina tertawa.  

 

 

 

Friday, March 06, 2009

Sekolah Anak-Anak Lapas

Pernahkah terpikir oleh kita, bahwa ada sejumlah besar anak-anak tak beruntung yang terpaksa harus kehilangan waktu untuk menambah ilmu?

Mereka adalah residu dari kepentingan dan egoisme para orang tua,” ujar Abdurrahman Saleh yang akrab dipanggil Maman. Lajang kelahiran 1974, alumni Jurusan Seni Murni dari Yogya  itu, sejak 2005 menggeluti dunia anak-anak penghuni penjara.

Anak-anak? Usia berapa mereka? Apa kesalahan mereka sampai-sampai harus disekap dalam penjara – yang kita selama ini ketahui menjadi tempat bermukim para maling, penjahat seks, pembunuh, atau koruptor? Bervariasi umur mereka, karena dalam kategori hukum, sampai usia 21 tahun masih tergolong anak-anak. Pembatasan itu ditandai dengan berakhirnya tanggungan orang tua terhadapnya (dalam struktur gaji).

Perbincangan tentang anak-anak dalam hukuman ini bermula dari sebuah pameran komik di Senayan City yang berakhir bulan lalu. Di lantai dasar, menempati salah satu hall, karya anak-anak lembaga pemasyarakatan (lapas) Tangerang dipamerkan. Sejak tanggal 1 sampai 7 Februari. Selama itu banyak peminat yang singgah dan terperangah menyaksikan gagasan anak-anak itu yang dituang dalam bentuk gambar komik. Pameran itu hasil sebuah workshop selama seminggu.

Awalnya, Maman “mengetuk” pintu rumah penjara anak-anak untuk sebuah tugas, yakni mendokumentasi kegiatan mereka. Namun rupanya ia “dijebak” oleh si tuan rumah. “Anak-anak, Kak Maman ini seorang seniman yang pintar menggambar. Siapa berminat belajar menggambar?”

Demikianlah, anak-anak penghuni lapas Tangerang itu antusias menyambut usulan Kepala Lapas. Lalu jadwal pun diatur, sehingga Maman menjadi pengajar setiap hari Sabtu untuk anak-anak itu, yang semuanya laki-laki.

Sebetulnya ada juga anak perempuan penghuni lembaga pemasyarakatan, namun tempatnya terpisah. Salah satunya di penjara wanita Pondok Bambu. Maman juga pernah melakukan pelatihan untuk napi anak-anak perempuan, tetapi tak berlanjut karena jumlahnya hanya 7 orang. Berbeda dengan penjara anak-anak lelaki yang jumlahnya mencapai 150 orang, secara turn over.

Aneka ragam kasus yang membuat mereka harus disekap, seperti layaknya orang dewasa. Paling banyak memang masalah narkoba. Namun, selain mencuri (kleptomania), pelecehan seksual (akibat menonton VCD porno), tawuran yang menyebabkan cidera, ada juga kasus pembunuhan. Sungguh mengerikan, ketika kita temukan kenyataan bahwa anak-anak usia SMP bisa melakukan tindakan kriminal yang keji.

Dapat diterka, bahwa umumnya mereka yang terperangkap pada perilaku jahat itu datang dari keluarga yang retak (broken home). Kebanyakan pula dilakukan oleh anak-anak jalanan. Mereka tidak menyadari bahwa waktu yang dihabiskan di luar sekolah telah merugikan masa depan.

Pendekatan kepada mereka, memerlukan metode dan tahapan. Maman, bungsu dari sembilan bersaudara, cukup terampil melakukannya. Ia belajar dari kakaknya, seorang psikolog yang kerap ia bantu pekerjaannya di lapangan. Beberapa kakaknya yang lain bekerja di bidang sosial dan LSM, sehingga Maman punya rujukan yang dapat diterapkan untuk kepentingan anak-anak itu.

Ada 8 atau 9 tahapan yang dilakukan untuk mengenali sekaligus membantu mereka mengenali diri sendiri, dengan cara menggambar. Pertama kali mereka diminta untuk menggambar wajah. Kedua, diperkenalkan dengan gambar gerak (tindakan). Selanjutnya mereka diminta untuk mengidentifikasi diri melalui komik. Dengan cara ini, mereka akan mengungkap keinginan-keinginannya dalam bahasa gambar.

Tahap berikutnya menggali sosialisasinya, lantas diminta membuat komik yang tematik. Baru setelah itu belajar narasi. Bisa berupa komik atau hanya tulisan saja. Setelah itu mereka ditugasi membuat cerita imajinatif. Pada tahap persepsi, kadang-kadang diperkenalkan sebuah puisi yang diminta untuk ditafsirkan dalam bentuk gambar.

Melalui langkah-langkah itu, dapat “dibaca” sifat mereka melalui gambar, sebagaimana yang acap ditempuh oleh para psikolog. Motif hidup mereka akan tampak melalui identifikasi diri. Dari sana tergali persoalan keluarga yang mereka alami, keinginan-keinginan terpendam, sampai hal-hal yang mengerikan, misalnya dendam. Dari sana pula akan tampak minat atau bakat yang perlu untuk diasah secara positif. Selain melukis, mereka juga belajar musik, teater, sastra, dan keterampilan lain sesuai dengan minat khusus masing-masing.

Dalam melakukan semua kegiatan itu, Maman membiayai diri sendiri. Ia akan menyisihkan keuntungan dari proyek desain grafis atau percetakan yang didapatnya. Ia menganggap bahwa ada saja rejeki untuk mendukung programnya. Pernah ia menjalani program anak-anak itu atas biasa suatu lembaga setelah ia mempresentasikan proposal.

Awalnya Maman merasa sanggup melakukannya sendiri, namun sejak tahun 2007 ia memerlukan asisten. Ia mencari ke kampus-kampus dengan menempelkan poster-poster sederhana, sampai ditemukan seorang mahasiswi tingkat akhir dari UNJ Jurusan Seni Rupa yang bersedia membantu pekerjaannya. Jeany namanya.

Dalam operasional pengajaran, perempuan lebih banyak dibutuhkan. Jeany mengaku meluangkan waktu tiap Sabtu untuk melatih mereka di kelas dengan senang hati. Saat ini dia sedang menunggu sidang Tugas Akhir. Namun sebagai desainer atau kreator, Jeany telah berkarya untuk pameran-pameran bersama. Ia tak hanya melukis, tetapi juga mendesain karya instalasi.

Di antara anak-anak itu, ketika keluar dari penjara, ada yang terpaksa harus menjalani penyesuaian di suatu tempat sebelum kembali kepada orang tuanya. Maman menyediakan rumahnya untuk membina mereka sementara waktu, lalu ditawarkan mengantarnya ke rumah. Ternyata, banyak orang tua yang tak peduli dengan kondisi anaknya, sehingga sering ditemukan kasus anak-anak yang kembali ke dunia jalanan sekeluarnya dari sel.

RTJ atau Rumah Tanpa Jendela, itulah nama “lembaga” yang dibangun oleh Maman. “Sesuai dengan kondisi rumah saya,” ujarnya sambil tertawa. Ia pernah mendidik seorang mantan napi anak-anak yang berbakat besar untuk melukis, namun gagal. Sifat klepto sang anak muncul lagi dan lari karena takut kembali masuk penjara. “Saya sampai saat ini mencari di stasiun-stasiun, tapi agaknya dia takut dan menghindar. Padahal saya ingin membinanya.”

Seharusnya kita bisa mengulurkan bantuan dalam bentuk apa pun, seperti yang dicontohkan Maman, untuk memberikan pendidikan pada generasi muda itu. Kejar Paket, itulah yang mereka tempuh untuk dapat menyesuaikan diri dengan siswa-siswa normal.

(Kurnia Effendi)

 

Tuesday, March 03, 2009

Sisi Muram Peradaban Kota

Buruk muka cermin dibelah. Andaikata bisa, orang-orang India yang yang tinggal dalam kemewahan di luar negeri akan melumat film Slumdog Millionaire. Dalam film itu, India dipotret dari sisi paling kumuh (slum area), melalui kota Mumbai. Seperti layaknya negara dunia ketiga yang sedang tumbuh, pembangunan senantiasa memakan korban. Ditambah pula konflik agama yang membuat masyarakat hidup tidak tenteram. Film yang menggambarkan realitas kota Mumbai memang menampar wajah manis yang kerap ditampilkan dalamsandiwaraBollywood.

Memperhatikan wajah seluruh film, nyaris tak berbeda dengan kondisi Jakarta yang dari segi fisik menunjukkan ketimpangan itu: di balik gedung-gedung pencakar langit, terdapat kawasan miskin dan rawan yang tak mampu tersembunyikan. Dengan penggambaran karakter tokoh yang tumbuh melewati peristiwa psikologi masing-masing, kerap menunjukkan perilaku hiperealis. Praktik masyarakat sehari-hari dalam tekanan kemiskinan dan hukum pemerintah yang lemah menghasilkan banyak dampak buruk.

Film-film drama sosial yang hendak menyampaikan secara jujur kondisi zaman tempatnya lahir, akan mencatat dokumentasi tersendiri. Sebuah perjalanan bangsa, yang secara politik selalu melewati hipokritasi temperamen, mau tak mau harus mengorbankan masyarakat yang lemah. Kisah para nabi pembawa wahyu atau pemimpin agama budaya yang mengulurkan tangan mereka kepada si miskin dan si tertindas adalah satu pola penyelamatan yang digariskan dalam takdir sejarah besar manusia. Dan kota di mana pun di dunia ini tak terhindar dari ambiguitas itu.

Dikaitkan dengan musim kampanye di negeri kita, setiap calon pemimpin menjanjikan hari depan yang baik. Namun masyarakat sudah telanjur tahu ‘modal’ yang dimiliki masing-masing pemimpin itu. Banyak di antara mereka adalah para pelaku sejarah dengan track record yang tidak mulus. Banyak cacat menghiasi perjalanan politik itu, dengan segala upaya dibalut ucapan manis untuk membujuk kembali hati rakyat yang terluka. Sayangnya memang, seolah-olah negeri kita kehabisan tokoh teladan yang dapat menjadi panutan tanpa harus gembar-gembor janji.

Untuk menjadi nomor dua saja sulit, apalagi ingin meraih nomor satu. Namun tak seorang pun dengan legowo menerima tugas yang tak kalah beratnya sebagai nomor dua. Para politisi itu berebut posisi puncak namun melupakan kekuatan pondasi yang mendukungnya. Ibarat sebuah kota yang tumbuh dengan kecepatan untuk mencapai predikat metropolitan, namun melupakan dukungan masyarakat yang tumbuh dengan ekonomi stabil. Sendi-sendi itu rapuh belaka. Akhirnya para pejabat hanya akan bermain topeng. Berada di panggung dengan wajah yang bukan miliknya.

Slumdog Millionaire mungkin sebuah film yang hendak melepaskan diri dari tradisi kepura-puraan pertunjukan hiburan. Di sana ada seorang Jamal yang memenangkan hadiah kuis dan menjadi seorang milyuner (kuis yang juga pernah populer di Indonesia dengan host Tantowi Yahya). Berbeda dengan film-film India yang umumnya menampilkan eloknya tarian dan merdunya nyanyian, sutradara Danny Boile (dari Inggris) dan Loveleen Tandan (dari India) justru membuka realitas paling memprihatinkan yang terjadi di negeri Gandhi itu.

Film itu mengisahkan lelaki yang mendapatkan peruntungan justru dari perjalanan perih yang dilewati sepanjang hidupnya. Setiap pertanyaan yang dilontarkan kepadanya, tahap demi tahap. Selalu dijawab dengan benar. Pihak penyelenggara, bandar Who Wants to be Millionaire, merasa curiga dan menganggap Jamal melakukan kecurangan. Kembali kekerasan harus diterima oleh Jamal, setelah kenyang dengan perjalanan hidupnya yang keras sejak kecil. Pada akhirnya, setiap jawaban yang menunjukkan ‘kecerdasan’ itu dapat diterima oleh kebetulan yang telah menjadi nasibnya. Sesungguhnya Jamal belajar dari riwayatnya sendiri.

Selalu, dalam sebuah cerita dramatik, ada unsur cinta yang tak hanya mewarnai, namun juga menjadi bagian yang menyumbangkan rasa pedih itu. Dengan irama yang bervariasi, gegas dan tenang, setiap babak memberikan pelbagai kejutan. Tanpa upaya keras untuk membuka mata penonton, kenyataan kelam di balik wajah kota sungguh terjadi dan berlangsung paralel dengan kehidupan nyaman yang dijalani segelintir orang.

Ada pernyataan menarik dan tak perlu dibungkus dengan slogan apa pun, ketika Jamal kecil menyerukan kepada turis asing: “Inilah India yang sebenarnya.”  Secara keseluruhan, film Slumdog Millionaire hendak menyampaikan India yang sesungguhnya. Mirip dengan film Daun di Atas Bantal karya Garin Nugroho yang menggambarkan dunia kelam anak-anak jalanan di kota besar.

Baju yang dikenakan sebuah kota, metro atau kosmo, adalah setelan gemerlap dari tubuh yang arang keranjang oleh luka peradaban. Kemajuan pesat di satu sisi selalu akan mengorbankan sisi yang lain. Dengan komposisi seperti itulah dunia ini tumbuh. Sejarah hanya mengulang-ulang saja tragedi manusia yang kerap kali diciptakan sendiri.

 Kita tahu, pembunuhan berlangsung sejak keturunan pertama Adam dan Hawa dilahirkan di bumi. Pelacuran merebak sejak zaman prasejarah dengan model yang terus diperbarui. Korupsi dan budaya suap sudah menjadi perilaku sehari-hari dalam pemerintahan Cina kuno, terlihat dalam nasakah Water Margin. Kekuasaan menampakkan keangkuhannya pada dinasti Firaun yang salah satu pemimpinya mengaku sebagai tuhan. Bukankah segala carut-marut di bumi ini sudah ditengarai oleh malaikat?

Namun sungguh penting kiranya kehadiran film sejenis Slumdog Millionaire untuk mewakili sisi buruk peradaban kota. Film-film yang menggambarkan kisah gelap dalam tradisi agama juga merupakan koreksi terhadap kealpaan kita atau sebuah ingatan yang menandai kesucian palsu. Semua pelaku sejarah adalah manusia, termasuk para nabi, yang tentu memiliki sifat manusia: ada gabungan malaikat, iblis, dan binatang.

Baru-baru ini beredar film Perempuan Berkalung Sorban yang berkisah tentang gugatan seorang wanita terhadap diskriminasi gender dalam pesantren. Film ini mengundang pro dan kontra. Sebagai negara yang sedang belajar menempuh budaya demokrasi, sudah seharusnya memberikan edukasi kepada masyarakat dengan kesempatan dan kemerdekaan berpendapat. Secara alamiah orang ramai akan tahu, lantas memilih yang benar dengan pengujian waktu dan hikmah.

Bagaimana cara Jakarta dan Indonesia menata diri untuk mencapai harapan masyarakatnya? Diperlukan pemimpin yang visioner dan memiliki integritas tinggi. Sebentar lagi kita akan memilih calon dari yang berserak, patut berhati-hati dan jeli. Mereka adalah orang-orang yang harus mengakui kondisi seperti dalam film Slumdog Millionaire, lalu menyelesaikan setiap persoalan bangsa dengan adil dan cerdas, bukan melalui kekerasan politik. 

(Kurnia Effendi)