Monday, October 29, 2007

Aroma Slawi

            Guru pertama saya adalah kakek saya sendiri. Radis Hardjo Soeprapto namanya. Mirip dengan yang diceritakan oleh Andrea Hirata, bahwa seorang guru Sekolah Dasar di masa lalu mengajar semua mata pelajaran seorang diri. Namun berbeda dengan novel Laskar Pelangi, waktu kelas satu SD saya memiliki lima angkatan kakak kelas. Dan ketika itu, sekolah saya tidak dalam keadaan hendak roboh. Di masa itu, 1967, selain memiliki satu-dua buku, saya masih menggunakan sabak (batu tulis) dengan grip sebagai pena. Benak murid dilatih menjadi kantung ingatan karena pelajaran berhitung tidak memiliki arsip. Begitu usai tugas dinilai, sabak itu dibersihkan kembali dengan kain untuk digores pelajaran berikutnya.

            Semburat memori masa silam itu mencahayai pikiran saya selama beberapa hari saat pulang kampung. Inilah mudik dengan serangkaian penghayatan. Dimulai dengan perjalanan sepanjang 16,5 jam sejak beranjak dari Pondok Bambu Jakarta Timur sampai tiba di teras rumah ibu di Slawi. Begitu bergabung ke jalan tol Jakarta-Cikampek tengah malam itu, seperti memasuki arena parkir terpadat di dunia. Dengan kecepatan 0-10 kilometer per jam, saya rehat pasrah di peristirahatan Krawang Timur tepat waktu subuh. Lima jam berlalu hanya untuk limapuluh kilometer. Inilah mudik dengan serangkaian penghayatan! Sementara seorang teman dari New York terus menghibur melalui sms.

            Ringkas kisah, sampailah saya di rumah ibu, pangkuan tujuan yang ditempuh dengan segala cara, menjelang senja. Saya bahagia karena tiba dengan selamat dan menemukan air yang selalu dingin di kamar mandi rumah ibu. Saya menyadari, mudik kali ini, setelah tiga kali Lebaran justru ibu yang saya boyong ke Jakarta, menjadi semacam perjalanan napak tilas. Ada empat menu wajib yang harus saya santap sependek waktu yang saya miliki. Pertama kali adalah sauto babat dengan bumbu tauco, sungguh tak ada duanya. Meskipun yang terkenal adalah “Sedap Malam” Pak Jenggot, saya memilih “Moro Trisno” Pasar Senggol dekat alun-alun Tegal. Minuman yang saya pesan tentu teh poci. Air teh panas beraroma melati yang mengucur dari mulut poci gerabah mengguyur gumpalan gula batu yang mencair perlahan dalam ceruk cangkir, adalah sebuah proses yang membuat saya selalu kangen kampung kelahiran.

            Sebelum tiba di rumah, singgah di warung tahu-aci Kalianyar, yang menempati sudut pintu pasar lama (kini telah menjadi kompleks ruko) Slawi. Meskipun yang terkenal adalah tahu Randualas, untuk kesempatan pertama saya tak hendak memutar ke selatan. Saya minta dibungkuskan 25 biji. “Berapa?” Saya menyiapkan uang duapuluh ribuan. “Delapan ribu lima ratus,” sahut si penjual. Saya mencoba membagi bilangan itu untuk menemukan harga per biji. Alangkah murahnya! Sebab ketika saya sesekali membeli di Carrefour, harganya Rp. 1.250,- per biji. Barangkali sangat nikmat hidup di kampung dengan gaji Jakarta, pikir saya.

            Demikianlah, hari berikutnya makan siang dengan sate kambing khas Tegal. Dua hari berikutnya ternyata saya selalu makan siang dengan sate kambing. Pertama di warung Bu Narto, Slawi. Berikutnya di Tegal, dibelikan oleh adik saya, katanya di warung yang pernah disinggahi oleh “Si Mak Nyus” Bondan Winarno. Ketiga di warung Tirus, Tegal, bahkan membawanya sampai ke Jakarta sebanyak 3 kodi.

            Untuk sarapan pagi menjelang perjalanan kembali ke Jakarta, ibu sengaja menyiapkan lengko, yang tak akan ditemui secara lazim selain di Slawi, Tegal, dan Cirebon. Sederhana saja isinya: nasi diramu dengan potongan timun mungil, rebusan tauge, irisan tahu, disiram bumbu kacang dan kecap, ditimbun kerupuk mi yang diremas oleh tangan ibu. Rasanya ini menu sehat yang tak perlu diragukan. Oleh-oleh lain yang “wajib” dibawa arus balik tidak lain adalah kacang asin (serupa kacang Bali) dan pilus, yang kemudian ditiru produsen terkenal makanan jenis kacang. Ada pula dodol cikal, anthor, dan jenang Glempang yang hampir tak mungkin ditemui di kota lain.

           Kepulangan saya ke Slawi saat Lebaran, selain sungkem pada ibu dan silaturahmi ke sanak-saudara, juga untuk ziarah. Kakek saya, sekaligus guru sekolah pertama saya, sudah terbujur tenang di bawah naungan rimbun kemboja. Tak jauh dari istri pertamanya, ibu kandung ibu saya. Istri keduanya hingga kini masih hidup, dan rumahnya di Curug, sebuah tempat antara Slawi dan Pangkah. Di Pangkah itulah SD saya berada, tempat kakek mengajar. Dalam seminggu, dua sampai tiga kali, sepeda kakek yang dipasangi keranjang untuk saya duduk, mampir ke rumah nenek tiri saya. Makan siang dengan sayur asem dan tempe goreng. Selanjutnya saya tak tahu kegiatan kakek dengan istri keduanya itu.

            Masih terbayang dalam rongga kenangan, kakek mengayuh sepeda menyusuri jalan tanah, melewati perkebunan tebu dan pabrik gula Pangkah. Sering saya melihat deretan lori di musim tebang, memanjang di sisi jalan. Terkadang kakek sengaja berhenti dan meminta sebatang-dua tebu untuk cucunya yang dibonceng setiap hari. Sesekali membawa pulang beberapa gelagah (bunga tebu yang mirip ranting bambu panjang), untuk dibuat mainan: roda dengan tongkat, didorong ke mana-mana di jalan desa.

            Di masa kecil itu pula, ketika ayah menempuh pendidikan di Jakarta, ibu suka membawa saya mengambil gaji ke Kabupaten Tegal setiap awal bulan. Kantor Bendahara Negara yang dituju terletak dekat stasiun, ditandai dengan bangunan menjulang tinggi milik perusahaan air minum, yang kami panggil dengan nama Ledeng. Seperti sebuah ritual, pulangnya saya digandeng menyusuri trotoar toko sebelum naik kendaraan umum kembali ke Slawi. Ada penjual jubika (makanan dari terigu berisi potongan pisang yang dipanggang dalam cetakan berbentuk bintang) langganan ibu. Penganan itulah yang dibawa pulang ke rumah sebagai oleh-oleh.

            Jalan yang pernah saya lewati puluhan tahun lalu itu saya tempuh kembali saat mudik. Pasar Pagi yang menempati benteng peninggalan Belanda itu masih utuh, kini bertambah cantik karena diperbarui dan dicat kembali. Tegal telah tumbuh menjadi kota modern dengan sejumlah mal yang menghias beberapa sudutnya. Sementara hampir semua bioskop punah seperti binatang purba, meskipun gedungnya belum diubah bentuk.

            Saya pun tak lupa mengambil foto pohon raksasa randualas sebelum ikut punah. Ia tumbuh di lembah, tegak dengan batang dan ranting kokoh meski meranggas. Tampak teguh dilihat dari jalan raya. Di tepi jalan itu, ada kedai tahu yang hingga kini dijadikan langganan banyak orang: Tahu Randualas. Anak sang owner, pernah menjadi teman sekelas saya di SMP, Wono Wiguna. Kakaknya, Imelda Wiguna, adalah salah satu pemain bulutangkis nasional yang pernah mengharumkan nama bangsa.

            Perjalanan dengan upaya menciumi jejak masa kecil kadang-kadang membuat hati teriris. Mengapa waktu lekas berlalu? Sementara aroma Slawi masih sayup-sayup tersisa di hidung, terbawa hingga kini. Ampas melati sebagai campuran teh Gopek yang biasa menimbun di sisi kali, berbaur dengan asap sate kambing. Arus bis terus meluncur dari Tegal ke Purwokerto atau sebaliknya. Setiap hari.

            Entah siapa yang ditinggalkan: saya atau Slawi? Ketika saling bertemu, selalu ada gumpalan rindu. Tak habis digerus waktu.  ***

(Kurnia Effendi)

 

Tuesday, October 09, 2007

Silaturahmi Penulis dan Penerbit

Empat Tahun Lingkar Pena Publishing House:

            Rasanya jarang dilakukan oleh penerbit; mengundang para penulisnya untuk buka puasa bersama dan berbincang dari hati ke hati untuk saling memantapkan kerjasama. Sebagian penerbit besar tentu akan repot bila mengumpulkan ratusan pengarangnya dalam satu event dan membutuhkan banyak biaya. Namun untuk sejumlah penerbit yang baru tumbuh dan sedang berkembang, gagasan ini patut ditiru.

            Dirancang secara mendadak, menurut Asama Nadia, CEO Lingkar Pena Publishing House (LPPH), acara ini dianggap penting. Kenyataannya, sebagian pengarang tak pernah bertemu muka dengan “awak” penerbit yang terdiri dari editor, penata letak, ilustrator, dan bagian keuangan yang mengurusi royalti. Maka Minggu petang, 30 September lalu, sekitar 15 orang berkumpul di Asma Nadia Centre, Depok, untuk bermuka-muka. Sebetulnya jumlah penulis yang bukunya pernah diterbitkan oleh LPPH sangat banyak, namun tidak seluruhnya tinggal di Jakarta.

            Pertemuan yang bersifat silaturahmi itu berjalan santai dan akrab. Sebelum perbincangan sekitar proses penerbitan, seorang ustadz memberikan pencerahan dengan kultum tentang manfaat membaca Al-Quran. Setelah itu, Helvy Tiana Rosa selaku Direktur LPPH menceritakan muasal Forum Lingkar Pena (FLP) mendirikan penerbitan.

            Memang semua berawal dari komunitas penulis FLP, para penulis yang memiliki satu visi untuk memegang semacam prinsip bahwa menulis adalah “media dakwah”. Maka ketika ada seorang penulis yang merasa kurang percaya diri untuk mempromosikan karyanya, Helvy memberikan pandangan: “Kita menulis sesuatu yang baik dan mengajak orang untuk kebaikan, kenapa harus minder?”

            FLP didirikan tahun 1997, sedangkan LPPH dimulai 2003. Menurut Asma Nadia, sejak awal FLP memang ingin membentuk semacam siklus atau matarantai produktif yang terus membesar. Para anggota yang hobi membaca diminta untuk belajar menulis. Setelah bisa menulis selanjutnya diusahakan untuk bisa terbit. Dengan terbitnya buku mereka akan menggalang para pembaca baru yang sebagian tertarik untuk belajar menulis. Kini, setelah anggotanya semakin banyak karena tumbuhnya cabang-cabang FLP di pelbagai penjuru Indonesia dan mancanegara (di antaranya Mesir, Hongkong, bahkan Jepang), mereka memiliki “pasar sendiri”. Artinya, buku-buku yang dilemparkan ke pasaran mendapat jaminan akan dibeli oleh anggota komunitas yang melewati angka 2000 orang. Jadi pantas saja, bila ada dua peluang bagi buku-buku FLP untuk menduduki posisi best seller. Pertama karena memang mengundang ‘keras’ minat baca yang membuat buku-buku bukan sekadar fast-moving; kedua karena jumlah pembeli internal memadai untuk laris manis.

            Ada semacam infosesi dari pihak penerbit yang disampaikan kepada para pengarang FLP, terutama penjelasan proses sejak naskah diterima oleh LPPH sampai menjadi buku dan beredar di pasaran. Proses itu cukup fair dan melibatkan secara intens pengarangnya untuk berdiskusi demi lakunya sang buku nanti. Revisi berulang kali bukanlah tabu, justru menurut Asma, pengarang senior lebih rendah hati dalam proses itu.

            Acara bincang-bincang sejenak jeda untuk buka puasa dan salat bersama. Semua berlangsung di ruang meeting lesehan lantai dua. Mereka yang sudah saling kenal sebelumnya dan sebagian bahkan (ternyata) suami-istri, menciptakan suasana seperti sebuah keluarga besar. Rata-rata pengarang yang bekerjasama dengan LPPH mengaku puas, terutama dalam hal laporan penjualan dan royalti. Dalam kesempatan itu, Nita, yang menjadi orang penting dalam organisasi LPPH, patut dipuji. Ia bekerja sendiri, mengurus seluruh administrasi keuangan LPPH, namun tak pernah terlambat melaporkan dan mentransfer royalti kepada setiap pengarang. Padahal, laporan itu disampaikan setiap tanggal 10, empat bulan sekali. Menurut Asma, mereka mulanya meniru Mizan, namun kini ternyata lebih disiplin dari ”guru”nya.

            Memang benar, LPPH terkait dengan Mizan, karena kelahirannya melalui rahim Mizan Group. Atas nama penerbit, Helvy Tiana Rosa bertanggungjawab dengan pinjaman modal yang 20% diserahkan sebagai bagian andil LPPH. ”Tapi sampai kini kami belum benar-benar profit,” ujar Helvy. ”Meski demikian tidak memengaruhi hak pengarang. Kami selalu tepat waktu membayar royalti.”

            Tak banyak gaya militansi pelaku penerbitan yang betul-betul dijalani dengan konsisten, namun LPPH adalah contoh yang baik. Selain tetap menjaga kualitas dan materi buku-bukunya agar tidak menyimpang dari garis kebijakan mereka sejak awal, duo Helvy-Asma tetap survive dan tidak menyerah pada keterbatasan. ”Kami rela untuk bertugas rangkap.” Dan Asma Nadia berharap, para pengarang harus juga ikut berjuang dengan mencipta karya-karya terbaik agar makin banyak posisi best seller diraih. Bukankah keuntungannya buat pengarang juga?

            Doorprize dan foto bersama menutup acara yang sederhana namun bermakna malam itu.

(Kurnia Effendi)

 

 

             

 

           

 

Monday, October 08, 2007

Ambang Kemenangan

            Angin berkesiur bebas, begitu merdeka, melalui kisi-kisi dan setiap celah Masjid Istiqlal. Tak ada penghalang, kesejukan itu berulang kali mencuci debu dan aroma yang tak mungkin menetap dalam relung-relung rumah suci itu. Siapa kiranya yang memiliki gagasan dan kemudian menerapkannya dalam rancangan yang demikian sehat untuk sebuah tempat sembahyang? Umat tak perlu berpikir untuk mencegah hawa panas yang akan menyungkup di bawah kubah raksasa. Kubah berbentuk setengah bola yang dibuat dengan kerangka polyhendra ’kelahiran’ Jerman Barat. Konstruksi beton bertulang bergaris tengah 45 meter itu ditopang 12 tiang berlapis logam stainless steel dengan masing-masing diameter 2,5 meter.

            Saya senang berlama-lama duduk menatap sekeliling. Duduk di tempat mana pun, saya akan merasakan cumbuan angin yang sejuk. Lantai marmer menularkan dingin ke tubuh, melerai emosi yang sebelumnya menyala-nyala di jalan raya nan macet. Bangunan sakral itu tengkurap di atas lahan yang awalnya seluas 9,5 hektar. Bangunan utama yang membutuhkan luas 2,5 hektar itu menyediakan pelbagai faedah selain tempat salat di ruang utama.

            Setiap kali saya masuk ke ruang salat yang berupa atrium agung dengan lima strata balkon di tiga sisi, saya membayangkan diri memasuki Gua Hira abad 20. Di sini, di hall yang sanggup menampung 61 ribu jamaah, adalah tempat yang tepat untuk sebuah perintah mukjizat. “Bacalah!”

            Sungguh, kita semua, umat manusia dari titik nol sejarah hingga tepi hari kiamat, diwajibkan membaca. Seluruh bentuk huruf, yang sebagian besar menjelma kehidupan, telah dan akan menuliskan jutaan riwayat. Siapa yang demikian rinci mencatat semua itu kecuali tangan malaikat dan kesaksian alam semesta? Meski perintah membaca bukan sekadar nubuat, melainkan awal pertanda kenabian Muhammad di abad keenam dalam hening Gua Hira; namun kitab kehidupan alam raya ini berlangsung sejak milyaran tahun silam.

            Lalu saya berpikir, di zaman yang serba mudah dan lekas ini, seharusnya tak ada alasan untuk tidak membaca. Saya pun bersimpuh, mengaduh, mengurai seluruh gaduh. Alangkah kelam jejak yang telah saya lewati ribuah hari hanya untuk mendamba duniawi. Di bawah lindungan kubah Istiqlal inilah semestinya saya rubuh serendah-rendahnya, menghikmati dzikir angin yang berprosesi dalam pengabdian tiada henti kepada Sang Khalik.

            Sekali lagi saya mesti merenung untuk jasa yang tak habis disebut. Ketika itu, tahun 1949, seiring serah terima kedaulatan dari pemerintahan kolonial Belanda kepada Republik Indonesia, muncul gagasan Kyai Haji Wahid Hasim untuk membangun sebuah masjid besar di ibukota negara. Beliau menjadi Menteri Agama periode tahun 1950 yang kemudian ditunjuk menjadi Ketua Yayasan pembangunan masjid itu. Namun baru tahun 1953 dibentuk panitia pembangunannya yang diketuai oleh Anwar Cokroaminoto. Ide mulia ini disampaikan kepada Presiden Soekarno yang menyambut dengan dukungan moral dan material secara sungguh-sungguh.

            Sebagai teknokrat, Ir Soekarno diangkat oleh panitia sebagai Kepala Bagian Teknik Pembangunan Masjid Istiqlal. Sejak 1954 mereka bergiat untuk mulai perancangan, setahun kemudian mengadakan lomba gambar dan maket secara terbuka. Saya kira, saat itu, ribuan sayap malaikat bergetar gembira menyongsong cita-cita membangun rumah ibadah yang akan menjadi pintu menara terpancarnya doa-doa khusyuk para alim ulama.

            Terkabarkan 27 peserta menyerahkan gambar, 22 di antaranya memenuhi syarat untuk dinilai oleh Dewan Juri. Hasil dari evaluasi mereka meloloskan lima peserta nominasi yang terdiri dari F. Silaban (dengan nama sandi “Ketuhanan”), R. Oetoyo (“Istighfar”), Hans Groenewegen (“Salam”), lima orang mahasiswa ITB (“Ilham”), tiga orang mahasiswa ITB (“Khatulistiwa”). Akhirnya Dewan Juri sepakat memilih Frederich Silaban, yang justru seorang Nasrani, sebagai pemenang. Pada tahun 1961 tiang pancang pertama Masjid Istiqlal ditanam.

            Adakah hubungan erat antara kemerdekaan yang telah menjadi milik Republik Indonesia secara total sejak 1949, dengan bangunan Istana Merdeka dan “jiwa” merdeka yang ditetapkan sebagai nama masjid terbesar di Asia Tengara masa itu? Barangkali karena anugerah terbesar dari Tuhan untuk manusia adalah kemerdekaan. Meskipun telah turun dari “langit” agama-agama samawi, namun Tuhan tidak pernah memaksa manusia untuk terikat kepada para pemegang kitab. Baik Zabur, Taurat, Injil, dan Al Quran, seluruhnya merupakan petunjuk hidup. Makna cahaya yang bagi setiap orang berbeda tampak terangnya, tergantung dari hidayah yang melekat padanya.

            Maka Istiqlal, yang bermakna merdeka, benar-benar diletakkan sebagai ikon dengan multitafsir yang cukup dramatik. Kemerdekaan, di mana pun posisi dan kurunnya, selalu dilalui dengan sejumlah perjuangan. Untuk mendapatkan kemerdekaan kita harus memenangkan pertarungan. Bertempur melawan musuh wadak yang kasat mata, penjajah yang menghapus almanak panjang suka cita sebuah bangsa; atau musuh tak tampak: nafsu pribadi yang menguasai seluruh akal budi kemanusiaan.

            Saya suka melangkah pelan-pelan di teras Istiqlal. Memandang ke luar. Memandang jubah barok di tubuh katedral. Memandang kemilau puncak tugu Monas. Memandang jalan raya yang dialiri ratusan kendaraan setiap menit. Memandang jejak masa silam: Rijswijk yang kini berubah bentuk dan fungsi.

            Pada paruh awal abad ke-19, letnan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, mengembangkan kota ke kawasan Weltervreden, sekitar Gambir dan Monas. Masih tertinggal sisa sejarah, sepasang istana yang dulu bernama Paleis de Rijswijk dan Paleis de Nordwijk. Kini telah menjadi Istana Merdeka dan Istana Negara.

            Kembali ke hamparan sajadah di ruang utama masjid, pernah saya saksikan Abdullah Gymnastiar, ustadz muda yang sanggup menghimpun lebih dari dua puluh ribu jamaah di Istiqlal. Sejak sebelum waktu zhuhur hingga lepas ashar. Meskipun kini banyak yang berpaling semenjak beliau menempuh hidup poligami, masjid ini tetap merdeka menerima siapa pun yang ingin khusyuk berdoa. Masjid tanpa pintu ini merdeka menerima kunjungan angin dari delapan penjuru arah. Masjid ini menerima siapa pun yang ingin meraih kemenangan mengalahkan angkara murka dalam diri: sisi gelap manusia.

            Sebentar lagi Idul Fitri. Mungkin kita semua akan tiba di ambang kemenangan. Bukankah tanda tak kalah itu hanya sebuah keikhlasan meminta maaf dan memberi maaf? Dan siang itu. setelah seluruh beban yang menggantung di seluruh pundak luruh ke lantai bersama lafaz memuja Allah, saatnya saya kembali memasuki jalan raya. Menuju pulang. Menempuh pertarungan untuk mencapai sabar hingga tiba di rumah.

Kurnia Effendi. Jakarta, Ramadhan menjelang Syawal 1428 H

 

Tuesday, October 02, 2007

JEJAK mengukir jejak di negeri tetangga

Dua puluh tiga perupa dari negeri jiran, Malaysia, berpameran bersama di Galeri Nasional Indonesia (Galnas), Jakarta. Berlangsung sejak tanggal 10 sampai 20 September 2007. Pameran yang mengambil judul “Jejak” merupakan pencanangan tekad para seniman yang tergabung dalam lembaga Balai Seni Lukis Negara (BSLN) menuju Wawasan 2020, saat Malaysia memproklamirkan diri sebagai Negara Maju dan menjadi pusat Multimedia Super Corridor (MSC).

Menarik untuk disimak, karya mereka telah mengikuti gelombang senirupa yang sangat terpengaruh oleh teknologi multimedia. Masing-masing dengan karakter penciptaan yang berusaha terlibat dengan kondisi sosial di sekitar kehidupan mereka, isu global, dan demam industri yang marak di mana-mana. Misalnya dalam karya grafis yang satiris, Ahmad Fuad Osman melakukan permak terhadap perwajahan majalah kelas dunia: Time menjadi “Item”, dan Newsweek menjadi “Newsweak”. Mengalir bersama Osman, Roalisham Ismail juga menggarap poster yang mengangkat kebudayaan massa, di antaranya pengaruh televisi sebagai gerakan pop yang mendunia.

Tak beda dengan para perupa Indonesia, dengan kebebasan yang mungkin juga sama, mereka bukan sekadar murni berkarya. Selalu ada pesan yang termaktub dalam desain atau goresan, sehingga yang tampil dalam kanvas atau karya instalasi dapat dilihat secara multitafsir. Gambar Chan Kok Hooi misalnya, ada metafora dan personifikasi yang rumit melalui bahasa rupa. Sejalan dengan Ilham Fadhli bin Mohd Shaimy dengan lukisan yang mengingatkan kita akan bahaya polusi terhadap lingkungan hidup. Sementara Mohd Saharuddin memilih materi tembaga untuk mengilustrasikan problem kita bersama terhadap tekanan hidup manusia.

Barangkali karena saya hobi mengumpulkan kartu pos, langsung tertarik dengan deretan lukisan mini yang ditera di atas kartu pos. Tan Nan See menunjukkan ketelatenan  luar biasa dengan ukuran-ukuran mungil, bahkan mempergunakan bingkai sebagai varian estetika. Sebaliknya, kibasan kuas besar yang membentuk ekspresi kuat sebuah wajah dipresentasikan oleh Chong Siew Ying.

Tentu tak semua dibahas di sini, namun dapat dipuji bahwa sang kurator telah bekerja sangat selektif hingga yang dipamerkan merupakan pilihan dari pelbagai cara ungkap, materi, dan teknik. Ada fotografi, geometrik yang tekstural, medium tiga dimensi, dan eksperimen penggunaan cat dalam sebuah rangkaian komposisi. Bahkan Umibaizurah Mahir sengaja membuat hiasan manis dengan puluhan kapal terbang mungil yang terbuat dari porselen, terlihat cukup dekoratif.

Angkatan muda yang merupakan masa depan senirupawan Malaysia ini sudah selayaknya dicatat sebagai pengukir jejak. Maka tema ”Jejak” dipilih sebagai satu gambaran berawalnya era baru dalam seni rupa Malaysia ke depan. Segala yang terjadi dan berkembang di tanah air dan budaya mereka dapat dilihat dari karya-karya yang terpamer. Setidaknya mereka telah mengalami pergulatan pemikiran dengan para seniornya sebagai proses yang lumrah dalam membentuk jati diri.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

Monday, October 01, 2007

Tempat Sujud

Senja tiba sebelum saya mencapai kota Semarang. Perjalanan dari Kudus hanya membutuhkan kurang dari satu jam. Matahari hinggap di puncak atap Masjid Agung Demak. Bayang-bayangnya memperteduh halaman parkir. Awal waktu salat Asar sudah satu jam berlalu. Boleh kiranya menyerahkan penat pada lantai dingin rumah singgah para wali.

Mobil yang saya kendarai masuk ke halaman masjid yang luas. Seperti benar disambut oleh elusan tangan gaib yang lembut, rasa nyaman itu mengalir ke seluruh jaringan darah. Beranda rumah Tuhan memang tepat untuk istirah. Oase yang menjadi ujung pandangan dari keluasan gurun. Saya pun melepas sepatu, memandang sekitar masjid yang tak terlalu ramai, kecuali para musafir yang duduk tenang di beberapa tempat.

            Setiap memasuki wilayah baru, selalu ada keinginan untuk memotret atau berpotret dengan latar yang tak terjumpa setahun sekali. Namun ada peringatan untuk tidak mengambil gambar interior, terutama bagian utama masjid. Apa boleh buat, saya hanya akan menyimpan semua yang terlihat dalam memori. Entah akan bertahan berapa lama sebelum ditimbun pelbagai pemandangan baru.

            Ini masjid tertua di Nusantara. Benarkah? Masjid Agung Demak terletak di desa Kauman, Demak, Jawa Tengah. Dari tempat inilah penyebaran agama Islam di Tanah Jawa dimulai oleh para wali. Sebenarnya saya sedikit bingung oleh hikayat yang mengandung dua cerita. Konon masjid ini didirikan oleh raja pertama Kesultanan Demak yang bernama Raden Patah (Raden Fatah). Tetapi sumber lain menyebutkan sebuah riwayat yang cukup dramatik mengenai terbangunnya masjid besar ini oleh empat orang wali.

            Boleh jadi, muasalnya tempat bersujud ini merupakan “masjid tumbuh” seperti kita kenali “rumah tumbuh” sekarang: membangun secara bertahap. Empat tiang utama yang menyangga atap disebut sebagai Saka Guru. Saka tenggara dibuat oleh Sunan Ampel, saka barat daya hasil kreasi Sunan Gunung Jati, saka barat laut didirikan oleh Sunan Bonang. Ada satu tiang yang tidak dibuat dengan kayu utuh melainkan sambungan beberapa balok jati, merupakan sumbangsih Sunan Kalijaga. Tiang ini disebut saka tatal, terletak di sudut timur laut. Barulah pada tahun 1520, di masa pemerintahan Adipati Yunus sebagai Raja Kedua Kesultanan Demak, dibangun serambi dengan delapan tiang yang disebut Saka Majapahit.

            Barangkali, pembangunan awal masjid itu bertepatan dengan pemerintahan Raden Patah. Seperti Borobudur, tentu tidak akan menyebut secara menonjol tentang Gunadharma sebagai sang arsitek dan pemahat utama. Seperti Tugu Monumen Nasional (Monas) atau Masjid Istiqlal, tentu lebih merujuk pada nama Soekarno, sebelum membahas tentang arsiteknya: F. Silaban.

            Sebelum tiba twilight zone, saya mengambil air wudu. Ingin segera melihat empat tiang yang menjadi jejak sejarah tumbuhnya Islam di Indonesia. Saya masuki bangunan utama yang luasnya 31 x 31 meter itu. Ada pembatas yang mungkin melarang sembarang orang masuk ke dalam di saat-saat tertentu. Sebuah beduk besar menempati serambi dalam. Sayang sekali saya tak sempat mendengarnya ketika lingkaran yang dilapis serentang kulit sapi atau kerbau itu dipukul begitu tiba waktu salat.

            Ini tempat sujud terbaik senja ini, pikir saya sebelum mengembangkan sepasang tangan melafalkan takbir. Andaikata terseret arus waktu menuju masa lalu dan berada di antara para wali, saya akan menjadi makmum yang begitu dekat dengan kaki Tuhan. Saya akan berlama-lama mencium Bumi, mengalirkan air mata, menyentuh alas tebaran rahmat.

            ”Payok Kakbah lawan sirah gada masjid Den-nyataken sawujud Ceples kenceng datan menggok”

            Ah, prasasti apakah yang tertulis dalam legenda itu? Kiranya suratan dari peristiwa yang mengukuhkan Masjid Agung Demak. Benarkah Sunan Kalijaga dengan kesaktiannya, melalui samadi, tafakur sedalam-dalamnya, mempersatukan Ka’bah di Mekkah dengan pucuk Masjid Demak hingga menyatu wujud? Cahaya merona menjadi aura kesucian. Itulah akhir dari ”perselisihan” sejumlah wali dalam menentukan arah kiblat.

            Petang itu saya tinggal mengenang semua lipatan peradaban yang lingsir dari babad demi babad. Ketika Demak, sebagai dusun terdekat dari Asem Arang tumbuh menjadi sebuah kota, debu kerap hinggap di ubin masjid ini. Tak ada lagi yang dengan kekuatannya, misalnya, meniup seluruh rerontok daun dari halamannya. Kini ada seorang yang entah siapa menawarkan buku-buku cetakan dalam kertas buram. Surah Yasin, ringkasan sejarah tentang Masjid Agung Demak, dan kumpulan doa, yang dihargai dengan murah. Sebagai pelancong, salah satu dari buku itu tentu penting untuk dibaca. Kecuali jika saya telah berulang kali mampir dan berulang kali pula ditawari.

            Sebelum tiba malam, saya pun pamit. Meninggalkan masjid para wali itu dalam temaram langit lembayung. Itu terjadi sekian tahun yang lalu. Karena esok harinya saya menjadwalkan kembali ke Jakarta, tentu harus tiba di Semarang sebelum larut malam. Dingin lantai Masjid Agung Demak masih lekat di kening sampai saya masuki kamar hotel dekat Simpanglima Semarang. Saya, dalam perjalanan itu, tentu seorang musafir. Saya memperoleh hak salat jama’, bahkan boleh qashar. Begitu sayang membasuh wajah yang masih menyimpan debu halus lantai masjid yang didirikan para wali itu, namun tak mungkin salat tanpa bersuci, ketika tak yakin belum batal wudu.

            Roda sejarah akan terus berputar menggilas setiap peristiwa. Kita tak akan menyaksikan kembali kejadian ajaib: sewaktu Syeh Siti Jenar dihukum pancung oleh Sunan Kudus, kepalanya mengitari tubuhnya sebanyak tiga kali dan menyatu kembali pada leher yang sempat meneteskan 84 titik darah membentuk tulisan Allah. Mungkin dalam surau-surau tertentu ada seorang imam yang sederhana masih bercerita tentang Wali Sanga. Kita mendengarnya secara lamat-lamat, dalam jeda antara tarawih dan tiga rakaat witir.

            Sambil menunggu sahur yang sebentar lagi tiba, saya mencoba menghitung jarak Lebaran dengan tempat saya menulis. Tanda jarak itu terlihat melalui saf masjid di beberapa tempat yang mulai susut. Rasanya tubuh yang sebulan lalu terlihat tambun mulai susut pula. Tapi adakah saya, sebagai salah satu khalifah di Bumi, telah memimpin diri saya sendiri untuk meneruskan ajaran para wali?

            Saya hanya sempat singgah, dan mungkin akan mengulang suatu ketika, di Masjid Agung Demak. Salah satu tempat sujud terindah itu.

(Kurnia Effendi untuk Parle)