Wednesday, February 28, 2007

Menuju Institusi Apresiasi Sastra, Mungkinkah?

SEBUAH media maya yang kemudian membangun dunia maya, menurut saya hampir menjadi kehidupan lapis kedua. Berjalan paralel dengan kehidupan yang kita jalani sehari-hari. Mengapa demikian? Ada sejumlah kegiatan komunikasi yang begitu intens, bahkan sepertinya kita benar-benar mendengar suara “di sana” yang sedang bercakap-cakap dengan kita melalui tulisan. Ada nada riang, bersemangat, sendu, sinis, meledak-ledak, nylekit, dan banyak lagi, yang kita tangkap dari kalimat-kalimat itu.

Dalam sejumlah pembicaraan yang kait-mengait, tampaklah motif dari masing-masing “pembicara” dalam aksinya urun-rembuk di sana: memancing pendapat orang, mencari informasi, menggocek emosi, memberi nasihat, memanas-manasi, menunjukkan kepintaran, menengahi perdebatan, menghibur dan membesarkan hati.

Hebatnya, komunikasi antarmanusia itu tidak di tempat yang sama. Bukan di ruang tamu, bukan di aula sekolah, bukan di tempat rapat, bukan pula di sebuah arena diskusi. Pembicaraan riuh-rendah itu menjembatani jarak-jarak antarwilayah, antarkota, bahkan antarbenua. Dalam media maya ini, yang tinggal di Malang bisa bicara dengan yang berkantor di Batam, berumah di Depok, Swiss, atau Prancis tanpa hambatan (kecuali jika listrik mati, karena “nyawa” lalu-lintas percakapan tergantung padanya).

Inilah hikmah besar atas kehadiran internet sebagai bagian dari teknologi informasi. Dari pelbagai perkembangannya, oleh manusia yang pada dasarnya tergolong makhluk sosial dan berbudaya, infrastruktur ini dimanfaatkan sebagai media untuk bergaul. Ruang dan waktu disiasati dengan kecanggihan media nirkabel, alhasil, setiap peristiwa di sudut mana pun dari bumi ini dapat kita ketahui seketika sepanjang disampaikan oleh penghuninya.

Dari urusan formal semacam pemberitaan yang digunakan oleh media massa, manusia secara kreatif memperluasnya sebagai temali pengikat komunitas. Sejumlah provider (yang awalnya didasari kepentingan bisnis) membuka peluang untuk pergaulan komunitas itu. Salah satunya Yahoogroups. Dari sini tumbuhlah dengan pesat komunitas media maya yang dikenal dengan mailing list (milis).

Rasanya pembukaan saya terlalu panjang, padahal saya ingin cerita serba sedikit tentang milis Apresiasi Sastra (Apsas). Sebuah milis yang mencoba mewadahi pembicaraan kaum pecinta sastra untuk saling menyampaikan apresiasi. Pertama, saya mengucapkan selamat ulang tahun kepada milis Apresiasi Sastra yang dibentuk tanggal 6 Januari 2005. Dalam pertumbuhannya yang menggairahkan, Apsas telah memiliki hampir 800 orang anggota (persis pada saat syukuran dua tahun Apsas, 28 Januari 2007 di toko buku ak.’sa.ra Kemang, tercatat 766 anggota). Kedua, saya bukan salah satu moderator Apsas, namun dipercaya untuk bercerita mengenai kegiatan yang berlangsung dalam keluarga Apsas. Untuk kesempatan ini, saya merasa tersanjung dan tak ada pilihan lain kecuali membeberkan sejumlah aktivitas dengan antusias. Ketiga, menurut saya, sudah saatnya milis menjadi alternatif untuk membudidayakan ilmu dan moral yang melepaskan diri dari hambatan strata, sekaligus memberikan sumbangsih nilai-nilai sebagai ukuran rujukan.

Milis Apsas memiliki 9 moderator yang tersebar di seluruh dunia (untuk menyebut tak hanya di Indonesia atau Asia). Mereka adalah: Djodi Sambodo di Amerika, Sigit Susanto di Swiss, Mega Vristian di Hongkong, Yahya TP., Hernadi Tanzil di Bandung, Dorsey Elisabeth Silalahi dan Akmal Nasery Basral, keduanya di Jakarta, Didik EkoCak Bono” Wahyudi dan Lan Fang, keduanya di Surabaya. Para moderator aktif mengendarai milis ini dengan gagasan masing-masing yang umumnya saling mendukung. Selain itu juga memberikan jalan bagi anggota milis yang memiliki ide kegiatan seputar apresiasi sastra secara positif. Memang demikianlah saya kira tugas moderator, di samping harus secara tegas memperingatkan kiriman surat yang menyimpang dari tujuan milis (misalnya beriklan untuk dagangan pribadi), bahkan memasukkan anggota milis ke dalam daftar hitam apabila meluncurkan kalimat-kalimat kasar tak senonoh yang menyerang pribadi anggota yang lain.

Ragam Program

MUNGKIN kegiatan yang berlangsung dalam milis Apsas bukanlah yang terbaik dan terbanyak dibanding milis lain, namun demikian, sepanjang saya berada di dalamnya, telah banyak manfaat saya peroleh tanpa harus pergi ke suatu tempat atau membayar dengan biaya mahal. Tanpa harus menyebut satu per satu orang-orang hebat yang terlibat dalam komunikasi aktif, setidaknya kita tahu di tubuh Apsas ada sejumlah jurnalis, novelis, penyair, cerpenis, aktivis kemanusiaan, pecinta buku, dosen, kritikus, penerjemah, dan pekerja imigran, yang siap membagi pencerahan tanpa meminta imbalan.

Mari kita lihat kegiatan yang dibuat dengan kegembiraan bersama. Dimulai dari penulisan pantun dengan tema Tsunami Aceh (saat Apsas berdiri, tsunami baru sekitar 10 hari melanda daratan Aceh dan provinsi Sumatera Utara). Rasa simpati dan empati tercermin dalam karya, yang tidak membedakan antara senior dan junior (dari “jam terbang” sebagai pengarang). Itulah awal komunikasi ketika jumlah anggota belum mencapai angka seratus.

Menjelang setahun usia Apsas, atas prakarsa Mega Vristian, lahirlah puisi bersama yang ditulis oleh puluhan anggota milis menjadi semacam ensembel. Dimulai oleh Rita Achdris pada tanggal 30 Desember 2005, disambung oleh yang lain dari menit ke menit, hari demi hari, dan berakhir dengan larik yang dibuat Djodi Sambodo pada tanggal 31 Januari 2006. “Waktu Bukan Milikmu” adalah judul yang dipetik dari baris puisi kiriman Karimah. Untaian panjang puisi itu selanjutnya menghiasi halaman awal buku Selasar Kenangan yang juga memiliki sejarah sendiri.

Selasar Kenangan adalah buku kumpulan cerpen karya para Srikandi Apsas (untuk menyebut anggota perempuan dalam milis ini) yang dipilih dari hasil program apresiasi penulisan prosa. Waktu itu, dengan tema “Masa Kecil”, terkumpul 21 cerita yang kemudian dinilai oleh 13 relawan apresiator Apsas yang seluruhnya pria. Dengan semangat persahabatan, begitu istilah Djodi Sambodo, terpilih 10 cerpen yang mengumpulkan nilai tertinggi.

“Proyek” tak berhenti sampai di situ. Atas upaya sang penyelia, Akmal Nasery Basral, 10 cerpen pilihan itu diterbitkan oleh Penerbit Akoer (yang juga menerbitkan novel Imperia karya Akmal). Sebuah kerjasama memang terasa ringan bila diemban oleh pemikiran dan aksi sejumlah orang.  Disunting oleh Ugie (Eko Sugiarto) dan dihiasi logo Apsas karya Abang Edwin, buku yang memuat karya Anjar, Rita Achdris, Feby Indirani, Anindita, dan teman-teman, hadir di tengah-tengah perbukuan Indonesia pada tangal 1 Juni 2006.

Tak lama sesudah itu, giliran para pria Apsas diberi ruang untuk menulis prosa dengan tema “Lelaki yang Meneteskan Air Mata”. Tema pun diputuskan melalui pemilihan, bukan merupakan instruksi seseorang atau moderator. Barangkali iklim demokrasi dan saling menghargai pendapat anggota lain inilah yang membuat sebuah milis bertahan dengan kekentalan nilai persahabatan. Dari program ini terhimpun sekitar 40 cerpen dan dalam penilaian para relawan apresiator yang seluruhnya perempuan, telah menghasilkan 20 cerita pilihan. Namun sampai saat ini, meski ada usulan dari Slamat P Sinambela untuk diterbitkan, belum mendapatkan kesempatan yang baik.

Apakah program hanya berkisar pada penulisan karya (puisi dan cerpen) saja? Ternyata tidak. Milis Apsas merupakan tempat belajar bagi semua anggota, oleh karena itu banyak di antaranya adalah penggemar sastra yang baru mulai menulis. Atau sebaliknya, karena banyak peserta milis ini ingin pintar menulis, mereka saling belajar satu sama lain tanpa rasa sungkan. Seperti yang saya sebut di bagian awal, bahwa melalui milis kita tak perlu mengeluarkan biaya mahal untuk memperoleh ilmu dari para senior. Itu sebabnya, dalam milis Apsas sempat ada program pelajaran Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), “diasuh” oleh Eko Sugiarto yang memang bekerja pada urusan bahasa di Kompas Biro Semarang.

Selain itu, Titon Rahmawan menawarkan program diskusi dua mingguan, membahas para sastrawan terkemuka atau penulis favorit. Dalam program ini Titon mengajukan nama-nama pembahas dan nama-nama sastrawan. Maka bergulirlah diskusi yang hangat itu, mulai dari Karl May oleh Pandu Ganesha, Pablo Neruda oleh Hasan Aspahani, James Joice oleh Sigit Susanto, Goenawan Mohamad oleh Kurnia Effendi, sampai serial Narnia oleh Arie Saptaji dan novel NH Dini oleh Ita Siregar. Sang pembahas bukanlah orang yang paling pintar, karena dari diskusi yang berlangsung, sebenarnya masing-masing anggota boleh saling memberi masukan.

Program terakhir yang masih berlangsung adalah membuat bunga rampai tulisan bertema kereta api. Dipicu oleh tema Catatan Pinggir Goenawan Mohamad yang membahas tentang kereta api, usulan untuk mengangkat tema itu dalam karya puisi, cerita pendek, dan esai pun gayung bersambut. Setidaknya, sampai medio Januari tahun 2007, jumlah kiriman karya menunjukkan antusiasme para anggota.

Temu Apsasian

PERGAULAN di dunia maya nyaris tidak berubah saat dipertemukan dalam dunia nyata. Ini sebuah kenyataan yang patut disyukuri, karena komunikasi melalui internet menjadi ice-breaker yang paling efektif. Saya sering mendapati kejadian itu.

Anggota milis Apsas tidak seluruhnya berasal dari satu komunitas yang pernah atau sering bertemu. Umumnya mereka hanya akrab berkomunikasi melalui media maya tanpa bertatap muka. Upaya untuk “kopi darat” (istilah para breaker), selalu mendapat sambutan hangat. Beberapa yang paling berkesan adalah: acara nonton bersama Apsas, pertemuan 4 milis dalam acara Cinta dalam Perangkap Aksara, peluncuran buku Nyanyian Imigran, dan yang baru saja berlangsung adalah Syukuran 2 Tahun Apsas.

Film Berbagi Suami karya Nia Dinata cukup fenomenal, dari sisi teknik penceritaan maupun tema (tentang poligami). Premiere yang sedianya ditujukan bagi para wartawan dimanfaatkan oleh Akmal untuk dapat mengajak kawan-kawan Apsas turut mengapresiasi, sekalian agar mereka yang biasa bertemu melalui layar komputer dapat saling menyapa. Permintaan khusus terhadap Nia Dinata ini disambut baik. Saat itulah, di lobi bioskop 21 Setiabudi Kuningan, saya mengenal secara langsung Olin Monteiro, Firman Firdaus, Keiya, Krisdian, Fitri, dan anggota Apsas lainnya. Antara kami langsung bisa bercakap-cakap dengan meriah, karena pada dasarnya sudah pernah saling berkomunikasi lewat internet.

Pertemuan 4 milis (Apsas, Pasar Buku, BungaMatahari, dan Truedee) di Café Omah Sendok pada tanggal 14 Februari 2006 merupakan kegiatan paling heboh. Hampir 150 orang hadir dalam nuansa cinta. Tema yang diusung malam itu memang cinta dalam pelbagai esensinya, terutama yang tersurat. Dilengkapi dengan pembacaan cerpen oleh 4 moderator milis dan nyanyian musikalisasi puisi bersama Dua Ibu (Reda Gaudiamo dan Tatiana), kopi darat antarmiliser demikian hangat. Trie Utami yang malam itu menyenandungkan salah satu nyanyian hatinya dalam buku Karmapala, menyampaikan konsep cinta dalam proses pemahamannya terhadap Budhisme.

Peluncuran buku Nyanyian Imigran di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin menjadi ajang temu Apsasian yang kesekian kali. Buku itu menghimpun karya-karya para Buruh Migran Indonesia di Hongkong, yang ternyata cukup baik sebagai kumpulan cerita pendek. Dalam acara itu saya mengenal Dino F. Umahuk, Lik Kismawati, Henny Purnamasari, dan Etik Juwita.

Tentu saja, hajatan ulang tahun yang diselenggarakan di Toko Buku ak.’sa.ra menunjukkan bahwa milis Apresiasi Sastra merupakan keluarga besar yang rukun dan ringan tangan, baik di “angkasa” maupun di “darat”. Hanya dalam waktu yang relatif singkat, Yohanes “blue4gie” Sugianto didaulat menjadi kordinator, dan Vivian Idris dengan gembira menyediakan tempat perhelatan. Dari hari ke hari, saya melihat perkembangan yang menyenangkan lewat komunikasi milis. Acara pun tersusun, konsumsi terhimpun, sampai pernik-pernik yang seakan lepas dari urusan sastra pun diusulkan secara beruntun.

Anggota yang hadir tak hanya dari seputar Jakarta, rombongan dari Bandung justru muncul pagi nian. Mereka adalah Tanzil, Adi Toha, Mang Jamal, dan Dhipie Kuron. Acara bergulir mulai dari pembukaan yang dipandu oleh Rilla Romusha dan Dino, pembacaan “pidato” yang ditulis oleh Sigit Susanto, dilanjutkan dengan monolog karya Bung Kelinci (Iwan Sulistiawan). Sejumlah diskusi digelar, antara lain membahas buku Yohanes Sugianto, Damhuri Muhammad, empat perempuan bukan penyair (Olin, Lulu, Vivian, Oppie Andaresta). Saya mendapat kesempatan mendampingi Remy Sylado (sebagai pembicara tamu) untuk menyampaikan proses kreatif masing-masing dengan moderator Akmal. Pembacaan puisi diisi oleh Rahmat Ali, Sihar Ramses Simatupang, Yonathan Raharjo, Urip Herdiman, dan Tiara. Sementara di sekitar lokasi acara terpampang 6 lukisan Wanda Leopolda, koleksi kartu pos, klipping, dan pembatas buku rajutan karya Arleen Amijaya.

Di luar acara formal yang dijadwalkan seperti di atas, temu Apsasian juga berlangsung secara sporadis. Misalnya saat Sigit Susanto “pulang kampung”, ia mampir ke Jakarta, Yogya, dan Solo, sebelum ke Kendal. Dalam persinggahannya itu sempat bertemu dengan sejumlah Apsasian. Atau ketika saya tugas ke Surabaya, “tuan rumahLan Fang sengaja mempertemukan saya dengan Cak Bono, Juliet Venin, dan Hary B. Kori’un yang kebetulan juga barada di Surabaya. Waktu itu kami bersilaturahmi ke rumah Pak Budi Darma. Di saat lain saya bertugas ke Malang sembari bertemu dengan Abdul Mukhid, Nanang Suryadi, dan Wawan Eko Yulianto. Saya kira, teman-teman lain pun melakukan hal yang sama saat bertandang ke kota lain.

Proses Ajaib

APAKAH milis hanya efektif untuk berdialog, menyampaikan informasi, berdiskusi dan berdebat? Tentu saja lebih luas dari itu. Dengan ragam latar belakang, selera, dan perangai masing-masing anggota, milis Apsas memang jadi tampak berwarna-warni. Misalnya ketika muncul isu RUU Anti Pornografi da Pornoaksi, suhu milis Apsas memanas oleh pro-kontra sekitar itu. Ketika kasus penggerebekan diskusi buku Marxis di toko buku Ultimus Bandung, reaksi spontan muncul sebagai pembelaan terhadap keterbukaan pemikiran. Tak luput dari tanggapan simpatik anggota Apsas, adalah ketika gempa bumi mengguncang Yogya. Sejumlah relawan, termasuk Widzar Al-Ghifary, turun tangan. Bantuan mengalir melalui teman-teman Apsas di Yogya, termasuk Wariatun dan Saut Situmorang. Musibah paling akhir adalah banjir yang melanda Jakarta dan sejumlah teman mendapat musibah karena rumahnya terendam air. Di antara mereka adalah Akmal Nasery Basral, Yohanes Sugianto, dan Nursalam AR. Itu menunjukkan bahwa milis, seperti yang dikhawatirkan media massa, lebih cepat menyampaikan laporan kejadian bahkan hingga ke jarak terjauh dari pusat peristiwa. Pak Sobron Aidit yang meninggal tanggal 10 Februari 2007 jam 9 pagi di Paris, “didengaroleh telinga Jakarta beberapa menit kemudian. 

Di samping silang pendapat yang memang sering meruncing, misalnya topik yang diangkat oleh Sam Haidy dalam beberapa kesempatan; ada yang selalu memberikan pencerahan secara tenang dan konsisten. Pak JJ Kusni tak pernah main-main saat membahas karya seseorang atau menyampaikan peristiwa budaya dari sudut pandang pemikirannya. Pandu Ganesha tak henti-henti melakukan sosialisasi karya-karya Karl May. Hernadi Tanzil dan Endah Sulwesi secara berkala mengumumkan apresiasi atas buku-buku yang dibacanya setiap pekan sebagai resensi atau review. Hal ini juga dilakukan sesekali oleh Nadhira Khalid, Rini Nurul Badariah, dan teman-teman lain. Sementara puisi-puisi Hasan Aspahani, Pakcik Ahmad, Inez Dikara, Leonowens, Urip Herdiman Kambali, Dedy Tri Riyadi, dan teman-teman lain, rutin mengisi lembaran halaman milis.

Pelbagai tulisan yang hadir dalam milis, sebagian besar serius dan layak jual. Artinya cukup memadai untuk sebuah penerbitan, misalnya tampil sebagai karya (puisi, cerpen, esai) di media massa. Termasuk memenuhi syarat untuk terbit sebagai buku. 

Sebenarnya selain buku Nyanyian Imigran, antologi puisi Perempuan Bersayap karya Mila Duchlun pun diproses melaluitangan-tanganajaib dari media maya. Kumpulan cerpen para pekerja Indonesia yang seluruhnya tinggal di luar negeri (Hongkong, Swiss, Amerika, dan Jerman) dikerjakan melalui komunikasi internet. Mendarat di Jakarta untuk diberi pengantar oleh Sihar Ramses dan dicetak di Malang, Jawa Timur. Berakhir dengan peluncuran di Taman Ismail Marzuki.

Ketika Mila Duchlun mulai mengumpulkan sejumlah besar puisinya yang selalu tampil di milis Apsas, dia masih bekerja di Republik Maladewa. Penyunting bukunya ada di Denpasar, Wayan Sunarta, yang kemudian membantu menerbitkannya. Menjelang peluncuran, Mila bekonsultasi dengan banyak teman, lalu memercayakan acaranya kepada saya. Sungguh, saya baru pertama kali bertemu Mila Duchlun tiga hari menjelang launching buku Perempuan Bersayap di Warung Apresiasi Bulungan. Alhamdulillah, pada tanggal 14 September 2006 acara berjalan dengan baik, bahkan profil Mila masuk ke kolom etalase Media Indonesia pada hari Minggu berikutnya.

Harapan

PADA perjalanannya menempuh tahun ketiga, saya berharap milis Apsas tumbuh semakin matang. Setiap program yang mengandung pembelajaran patut dilanjutkan dan ditingkatkan. Sementara kita harus terus mengksplorasi segala kemungkinan untuk pengembangan aktualisasi diri, siapa tahu akan menjadi cikal bakal “institusi” yang dirujuk oleh banyak orang. Andaikata suatu saat Apresiasi Sastra memberikan semacam penilaian khusus terhadap karya sastra yang terbit dalam setahun, bukankah itu menjadi alternatif lain di antara tolok ukur yang selama ini dikukuhkan oleh lembaga-lembaga resmi (pemerintah maupun swasta)? Bahkan seandainya pula sekaligus memberikan hadiahnya…

Pernah Apsas mengirim anggotanya untuk ikut dalam workshop penulisan kreatif yang berlangsung di Solo. Suatu saat nanti, giliran Apsas yang menyelenggarakan pelatihan dan memberikan sertifikat sebagai “tiket” bagi hasil workshop yang layak atau lulus untuk diterbitkan. Sebagai harapan tentu perlu upaya untuk mencapainya. Tetapi kita harus yakin, bahwa setiap pekerjaan yang diemban oleh banyak pemikiran dan aksi sejumlah orang, bukan sebagai obsesi pribadi, akan terasa ringan dan lekas sampai pada tujuan.

Apakah sudah saatnya Apsas meniti jalan menuju institusi? Bagaimana menurut anda?

(Kurnia Effendi, Anggota Milis Apresiasi Sastra, Penulis Cerpen)

 

 

 

Tuesday, February 27, 2007

A I R

PERIBAHASA yang kita kenal sejak Sekolah Dasar, ternyata kerap menjadi kenyataan. Ketika kecil menjadi teman dan di kala besar berubah sebagai lawan, apaka itu? Mereka adalah air, api, angin, dan tanah. Seluruh unsur alam itu memiliki sifat-sifat yang sebenarnya kita pahami tapi kerap kita lupakan. Terlepas dari yang dapat dipahami, boleh juga kita dengar yang seolah berada di luar pamahaman.

Konon, menurut sahibul hikayat yang sulit ditelusuri muasalnya, di balik peristiwa air yang tercurah dari langit demikian berlimpah menjelang hari raya Imlek, terdapat sebuah kisah. Diceritakan ada dua anak dewa, lelaki dan perempuan yang sedang menikmati masa remaja mereka. Keduanya tentu sakti luar biasa, mengingat orang tuanya bukan manusia biasa.

Dalam pergaulan sehari-hari, mereka berdua tidak menunjukkan kerukunan, justru sebaliknya saling berseteru. Namun, di balik dada kedua remaja itu tersimpan degup samar asmara. Keduanya saling jatuh hati tapi terhalang harga diri sebagai sesama makhluk digdaya. Mungkin lantaran keduanya juga menyadari memiliki kekurangan yang ingin disembunyikan.

Si perempuan akan tampak cantik merona apabila wajahnya tidak dipenuhi bercak-bercak yang membuatnya malu tampil tanpa bedak tebal. Sementara sang pemuda memiliki rambut tak sempurna, sehingga akan terlihat botak jika keluar rumah tanpa mengenakan topi. Diam-diam, antara perasaan cinta yang menggebu dan gengsi untuk saling mengakui kelemahan, menjadikan hubungan mereka justru rimbun dengan ancaman.

Suatu hari, menjelang ulang tahun mereka yang bertepatan tanggal dan bulannya, terjadilah pertengkaran hebat. Masing-masing bermaksud membongkar aib untuk mengalahkannya. Dengarlah kata-kata mereka dalam menumpahkan rasa geram, di balik letup api cinta:

“Hai, tunggu saatnya, akan kucurahkan hujan sederas-derasnya untuk melunturkan bedak di wajahmu!“

“Kaupikir aku tak sanggup mendatangkan angin puyuh untuk menerbangkan pelindung kepalamu itu?“

Ah, dasar remaja yang masih diombang-ambing oleh emosi. Kekalapan itu pun akhirnya memuncak persis pada perayaan ulang tahun mereka. Bukan peluk cium dan pesta kembang api yang terjadi, justru ledakan amarah yang sesungguhnya hanya dilatari oleh rasa ingin menang dan menguasai saja. Pada hari itu bertiup angin kencang sekaligus hujan yang seolah-olah pecah tempayan langit penampung berjuta kubik air. Bumi basah kuyup, sungai meluap, dan angin membuat seluruh isi daratan beterbangan.

Ah, ah, ah, adakah mereka becanda atau sungguh-sungguh? Namun sesudah amuk alam akibat perseteruan kedua makhluk yang dimabuk asmara itu, segala yang terpuruk bangkit kembali. Berkah menggantikan setiap kerusakan. Tanah pun subur bagai sedia kala. Seperti halnya hikmah pada setiap kepercayaan termasuk yang samawi: di balik kesulitan terdapat kemudahan.

Ulang tahun keduanya yang dijadikan hari puncak pertengkaran itu, mungkin, yang kini menjadi hari raya Imlek. Tapi jangan serta-merta dipercaya. Cerita itu disampaikan oleh orang tua teman saya dan sulit ditemukan runutan referensi bibliotiknya. “Camkan,” kata ayah yang ucapannya seolah mengandung tuah, “Hujan dan angin akan datang menjelang Imlek. Bersiap-siaplah!”

Benar atau tidak cerita itu, untuk masyarakat yang tinggal di Jakarta, kewaspadaan terhadap curah hujan menjelang hari raya Imlek, patut dilakukan. Segala bentuk kesiagaan, yang terbaik tentu bila didasari dengan kesadaran akan sifat-sifat air: mencari tempat paling rendah, dan selalu menunjukkan tabiatnya yang sama tinggi pada bejana berhubungan dalam bentuk apa pun. Ketika seorang teman, Yo Sugianto, yang kebetulan penyair dan seluruh lantai satu rumahnya tenggelam, menulis puisi, tersirat kata: manusialah pangkal kesalahan semua ini. Sehingga tak dapat dihindari murka alam yang selama ini dikhianati oleh perilaku manusia.

Setelah terjadi (dan berulang kali terjadi) air bah, mau apa lagi? Berderet rumah di bantaran sungai Ciliwung terseret arus. Perumahan yang memiliki kontur dataran semacam lembah terendam sudah. Pemukiman yang tak memiliki irigasi secara memadai, terjebak genangan air. Jalan raya terputus dan berubah bagai sungai. Ya, mau bagaimana lagi, selain segera mengungsi dan menyelamatkan sebagian barang yang paling berguna. Ironis bukan? Sebuah kota metropolitan serta-merta lumpuh begitu disiram hujan lebih dari lima jam sehari, ditambah kiriman arus deras dari daerah tetangganya yang lebih tinggi.

Dalam sepekan ini, air yang sehari-hari menjadi sahabat telah menjelma musuh: raksasa yang menakutkan. Bahkan dalam mimpi pun kita tak hendak membayangkannya. Tapi, demi Tuhan, kita masih mencintai air...

(Kurnia Effendi)

 

 

Friday, February 09, 2007

Cinta Separuh Malam

“JADI Arifa kuliah di Melbourne? Mengambil jurusan apa?” tanya Endah.

“Arsitektur, Tante.”

“Kata ayahmu, kamu juga berbakat menulis. Kenapa tidak memilih Sastra?”

“Papa juga tidak kuliah di Sastra, tetapi novel-novelnya cukup digemari.”

“Ah, benar juga.” Endah tertawa. Seperti teringat sesuatu, ia pun mengajak Arifa ke sebuah sudut yang ditempati seperangkat meja dan kursi. Letaknya dekat jendela, menghadap ke timur. “Ini meja tempat ayahmu membaca dan menulis. Bahkan kadang-kadang tertidur.”

Arifa pun mencoba duduk di situ. Matanya dapat memandang sebuah rak yang memajang buku-buku terbaik menurut versi Perca. Di antaranya Gabriel Garcia Marquez, Virginia Woolf, James Joice, Budi Darma, Emily Dickinson, Pramoedya Ananta ToerSelain ruap khas aroma buku-buku, di ruangan itu juga tercium wangi teh.

Menjelang maghrib Arifa pamit. Sekali lagi mengingatkan kepada Endah, bahwa yang tersimpan dalam kotak adalah manuskrip novel Jodik Givara yang belum usai.

“Nanti akan saya baca,” janji Endah sambil mengantar Arifa ke depan pintu.

Begitu mobil Arifa menghilang, Endah bergegas ke dalam. Tak sabar ingin segera membaca novel Jodik Givara. Pada halaman pertama, sesudah judul “Cinta Separuh Malam”, Endah mendapatkan kalimat ini:

“Aku terbangun ketika embun berkerumun di permukaan daun. Ada desir angin yang lolos melalui sela jalusi jendela, membawa serta aroma kabut. Sisa malam membiarkan titiik-titik terakhir gerimis gugur. Kusentuh serat halus pada selimut rajutan buatan tanganmu, yang menutup dadaku hingga ujung bahu. Kuhirup sayup wangi jeruk nipis yang merebak dari setengah cangkir teh, yang tersisa setelah sekian jam terlena dalam tidur. Tinggal segaris cahaya lampu menerangi sisi rak buku, yang ditempati lima belas novel terbaik. Cahaya itu pasti berasal dari pintu kamarmu yang dibiarkan sedikit terbuka. Untuk  meyakinkan diriku, bahwa di dalam gulita ruang pustaka itu aku tidak sendiri. Ada alunan nafas lain, ada denyut mimpi yang lain…”

Setetes air mata Endah meluncur begitu saja dan jatuh ke atas halaman aksara itu. Selekas yang ia mampu, segera dihapusnya. Ia tak ingin ada huruf yang luntur atau kertas itu menjadi bergelombang karena basah.

“Ya. Akhirnya kau tahu,” bisiknya sendiri. Selalu ada denyut mimpi yang lain!”

(Dipetik dari cerita Cinta Separuh Malam, Kurnia Effendi)

 

 

Thursday, February 08, 2007

Burung Kolibri Merah Dadu Book Launching

Klub Sastra Bentang mengundang Anda dalam acara peluncuran kumpulan cerita cinta Kurnia Effendi, Burung Kolibri Merah Dadu, pada tanggal 14 Februari 2007, jam 19.00 di MP Book Point, Jl. Puri Mutiara Raya 72, Jeruk Purut, Jakarta Selatan.

*

Jadikan malam itu sebagai ajang bernostalgia Back to Eighties, silaturahmi antarkomunitas dan miliser (antara lain Apresiasi Sastra, komunitas Leo Kristi, FSRD ITB, Komunitas Sastra Indonesia, BungaMatahari, dll) untuk berbincang perkara cinta.

*

Mengapa cinta? Karena setiap penciptaan dan kehidupan mustahil tumbuh  tanpa cinta.

*

Acara ini dimeriahkan dengan senandung dan pembacaan cerpen bersama Feby Indirani, Reda Gaudiamo, Ari Malibu, Wulan Guritno, dan Anya Rompas. Pembahasan perjalanan pengarang disampaikan oleh Arya Gunawan dan Ryana Mustamin. Dihiasi happening art oleh Indra Gunadharma, dan sejumlah doorprize menunggu kehadiran Anda.

*

Bagi yang ingin menjadikan buku ini sebagai kado atau souvenir, dapat diperoleh di toko buku Jakarta, Bandung, Yogya, dan sekitarnya. Menyusul kota-kota lain di Indonesia.

 

 

 

 

Selamat Datang Matahari

PINTU kamar terbuka perlahan. Aku terkesiap, karena hanya Ibu yang berbuat seperti itu. Tapi bayang-bayang yang memanjang langsing hanya milik Nadia. Mata kelincinya menatapku curiga.

Dery, sorry, kamu sedang jatuh cinta ya?” Suara Nadia begitu lembut. Saat seperti itu, aku merasa bahwa dia benar-benar belahan jiwaku.

“Apa yang membuatmu berpikir demikian?” Aku mencoba mengelak.

“Tampak dari kegelisahanmu,” ujarnya sok psikolog. Ia duduk di sampingku. Kepalanya disandarkan ke bahuku. “Kamu seharusnya ada di Bandung, dan bahkan sudah mulai naik ke Papandayan.”

“Kamu terganggu jika malam ini aku di rumah?” Aku memeluknya.

“Aku justru terganggu jika kamu jadi pemurung.” Nadia memandang ransel yang sudah kusiapkan. “Mau ke mana? Menyusul teman-temanmu?”

Aku menggeleng. “Hanum ingin edelweiss. Aku akan mencarinya di Suryakencana.”

Nadia melepaskan pelukanku. “Benar apa kataku, bukan? Kamu jatuh cinta!”

Aku menatap matanya. “Kalau benar, apa yang harus kulakukan?”

“Kukira Hanum gadis baik. Aku juga melihat ada kesedihan di balik keceriaannya. Jika boleh berikan saran, kamu jangan nekat naik gunung jika tak benar-benar siap. Aku masih punya edelweiss oleh-olehmu dulu. Berikan padanya. Daripada Ibu pingsan jika kamu pamit tengah malam nanti.”

“Jadi apa yang harus kulakukan?”

“Kita ke rumah Hanum!” Nadia tidak menunggu jawabanku. Dia telah melompat pergi ke luar kamar.

Kita? Aku terhenyak. Tumben dia mau ngurusin perasaanku. Aku segera menelepon Rukmi dan teman-teman lain. Meralat rencana.

 

(Dipetik dari cerita Selamat Datang Matahari, Kurnia Effendi)

 

Tiga Ribu Kaki di Atas Bandung

SYUKURLAH, gumam Katy. Ia melangkah ke jendela. Menghirup semilir angin gunung yang dingin. Tiga ribu kaki di atas Bandung, menyaksikan titik-titik sinar yang menempuh usia malam. Apakah cinta harus selesai di sini? Katy meratap dalam hati. Membagi jeritan jiwanya dengan memandang kelap-kelip ribuan lampu di kejauhan. Kabut amat tipis, melayang di antara gerimis yang jatuh seperti debu.

Katy merasakan genggaman hangat tangan Mahendra. Tapi sudah tidak menjanjikan apa-apa, kecuali sebagai permulaan dongeng tentang hati yang sepi. Ia gemetar menyadari kenyataan itu.

“Lena!” panggil Mahendra tiba-tiba. Ditinggalkannya jendela. Masihkah kamu simpan surat-surat Katy untuk saya?”

Kamu ingin membacanya sekarang?” tanya Svetlana gembira. Penuh ketulusan. Sepertinya, saat-saat yang paling dia nantikan.

Ya. Saya ingin membacanya bersama Katy. Di sini.” Mahendra menatap dalam-dalam bola mata Katy, sebelum meraih tangannya menuju perapian.

Katy mengerti. Mahendra hendak menguburkan semua sejarah dengan cara yang paling masuk akal. Sementara hati Katy berbuat sebaliknya. Ia berniat mengenangnya, sampai hatinya tak mampu lagi mengingat nama-nama hari.

Dan Katy tidak mengatakan apa-apa ketika akhirnya Mahendra menyelesaikan sejumlah harapan dan kerinduannya – yang tersimpan bertahun-tahundengan unggun yang menyala. Setiap lembar surat Katy, dari tanggal ke tanggal, terbakar dan menyerpih jadi abu beberapa detik setelah kalimat terakhir selesai mereka baca. Semuanya. Ya, semuanya!

 

(Petikan dari cerita Tiga Ribu Kaki di Atas Bandung, Kurnia Effendi)

 

 

Wednesday, February 07, 2007

Sepanjang Braga

            KUUSAP air mata tanpa khawatir menarik perhatian. Udara basah sepanjang Braga mengirim Dust in The Wind Braga Stone ke telingaku. Aku menghadap hamburan kemilau neon toko Concurrent. Lalu aku masuk denganmungkinmata yang sembab. Di toko inilah, pada malam terakhir, engkau menghabiskan waktu. Semata-mata untuk mengamati sebuah bros kecil yang begitu indah. Dan saat itu engkau mencoba berahasia dengan keinginan yang meletup-letup. Kau seolah mau ingkar dari jam-jam di hadapan kanvas yang menunggu tarian tanganmu. Engkau sedang terpesona oleh karya seni lain, tapi alangkah mahal. Ke Bandung pun engkau harus membongkar seluruh tabunganmu. Diam-diam aku menatap, menyaksikan perjuangan melawan naluri. Aku berjanji dalam hati: “Akan kubeli suvenir itu untukmu!”

            Kado itu kuambil dari saku jaket. Tahukah kau? Yang kulakukan ini bukan jawaban dari ribuan pertanyaann tentang: bagaimana mencintaimu, menghormatimu, dan merelakan kepulanganmu ke rumah kekal.

            “Maaf,” Aku mendekati seseorang yang segera mengenaliku. “Apakah Bapak ingat pada seorang gadis berwajah tirus, berambut lurus, waktu itu mengenakan jaket biru, di tangannya ada...”

            Barangkali kamu heran karena aku begitu sabar menuntun ingatannya memilah-milah ratusan pembeli untuk menemukan sosokmu di antara kenangan sebulan. Sampai kusobek kertas kado untuk menunjukkan bros yang pernah kamu genggam berkali-kali tapi tak terbeli.

            “O...ya, saya ingat...” Orang itu tersenyum akhirnya.

            “Kemarin dia meninggal dunia. Beritanya saya terima tadi pagi.”

            Meninggal?” Senyumnya sirna. “Dan ini...”

            Kuceritakan kepadanya bahwa seluruh honor noveletku telah kutukar bros ini. Mau kukirim pada ulang tahunmu keduapuluhsatu, minggu depan. Karena aku cinta padamu, cinta padamu.

            Saya turut berduka cita,” ujarnya perlahan.

            ‘Ya, ya, terimakasih.” Mataku berkaca lagi. Dari pertarungan batin, akhirnya kutemukan kata-kata yang segera kuucapkan. Saya hendak menjual bros ini kembali.”

            Dijual?”

            Dia tinggal di Ujungpandang. Saya tak punya cara lain untuk mencium terakhir kali pipinya, bahkan seandainya sudah berupa nisan. Saya cinta padanya. Saya harus ke sana. Saya ingin melihat Braga. Saya ingin menghirup nafas Braga di kamarnya. Dia seorang pelukis, dia...” Aku mirip seorang putus asa yang senewen dan nyaris pingsan. Kulihat matanya sangsi. Mungkin dia mengira aku tengah bermain drama.

            Lama sekali ia mengamati kotak di tanganku, sebelum akhirnya. “Coba saya lihat lagi.”

            Kalimat itu seperti embun, harapan yang mungkin raib. Namun setidaknya sedang kususun sebait requiem, sebelum benar-benar lenyap cahaya terakhir matahari. Aku cinta padamu, cinta padamu, lebih dari sepanjang Braga...

(Dipetik dari cerita Sepanjang Braga, 1988, Kurnia Effendi)