Friday, February 20, 2009

Melibas Batas Seni dan Realitas

KRONIK

Erasmus Huis kerap menjadi tempat untuk menggelar karya-karya hasil eksperimen atau workshop. Kali ini, kurator Dolorosa Sinaga telah memilih dan memberi kesempatan kepada 12 perupa untuk menyampaikan hasil karyanya. Mungkin karena para perupa itu rata-rata pematung, maka Dolorosa yang ditugasi untuk mengurasi.

Mereka adalah AB Sutikno, Amalia Radjab, Yani M. Sastranegara., Innes Indreswari, Budi Santoso, Awan Simatupang, Anusapati, Hardiman Radjab, Taufan AP., Amalia Sigit, Ade Artie Tjakra, Abdi Setiawan, dan Tita Rubi. Dengan tema “Interaksi sebagai Sumber Inspirasi Kreatif”, Dolorosa mencoba melihat awal mula barang jadi atau barang kemasan yang menjadi bagian atau diklaim sebagai karya seni.

Dari sisi konsep seni rupa, sering dibedakan antara kerajinan (handycraft) dengan karya seni (fine art), dengan contoh yang paling sederhana, misalnya souvenir yang dibuat secara massal di tempat pariwisata dengan benda seni yang hanya dibuat satu-satunya. Walaupun, keduanya bermula dari konsep desain juga. Kemudahan untuk menggandakan justru melunturkan nilai adiluhungnya. Dari sini, lantas terbedakan antara yang kebanyakan (populer) dengan yang langka (koleksi).

Di abad 20, sebagaimana yang ditulis oleh Dolorosa, dunia seni rupa dikagetkan oleh karya Marcel Duchamp, seniman dan intelektual dari Prancis. Ia membawa urinoir ke ruang pameran dan memberinya judul seperti pajangan karya seni. Kepindahan urinoir dari toilet ke galeri, membedakan nilai yang dikandungnya. Kontroversial, tentu. Saat itu para kritikus menyebut Duchamp sebagai pelopor readymade. Tak hanya menciptakan ide nyleneh, Duchamp juga menerbitkan majalah Antiartistic.

Dari nama majalahnya, ada upaya untuk melawan pendapat yang sudah pakem bahwa karya seni dijauhkan dari fungsi-fungsi selain sebagai hiburan bagi mata yang memandangnya dengan segala tafsir sesuai selera masing-masing. Duchamp ingin menawarkan pemahaman baru tentang seni.

Dalam gelombang aliran Art Deco di awal abad 20, demam berlangsung tak hanya pada karya seni murni, melainkan juga (yang lebih kentara) pada aplikasi arsitektur, desian furniture, fashion, sampai dengan barang cetakan dan tipografi. Kenyataannya, pemikiran Duchamp masih berpengaruh hingga kini. Bahkan, jika ditilik dari perkembangannya, readymade itu mengawali karya instalasi yang banyak digemari oleh para perupa. Seolah-olah, segala benda dapat diklaim sebagai karya seni.

Kedua belas seniman yang berpameran di Erasmus Huis, walau tidak bekerja dalam satu studio yang sama, namun coba diikat oleh interaksi yang sama antara sang seniman dengan benda-benda di sekelilingnya. Interaksi itu mewujudkan gagasan baru dari benda-benda yang telah lama lahir. Brainstorming antara diri perupa dengan atmosfer yang dihadapinya memunculkan tafsir yang dimatangkan dalam suatu konsep. Meskipun dalam pandangan selintas, terasa ada peniruan dan pengulangan saja, ketika Hardiman Radjab membawa koper ke ruang pameran. Pada koper itu diwakilkan kisah tentang perjalanan yang kaya dengan pengalaman.

Dalam dunia sastra, di akhir tahun 70-an, juga terbawa dunia benda dalam arti yang sesungguhnya, yang dinilai sebagai narasi. Misalnya ada sebaskom air yang diberi judul “Kiriman Salju dari Canada”. Boleh diprotes, tetapi cukup masuk akal, bahwa salju yang sudah sampai di Jakarta itu mencair sebagai air bening. Lalu itu disebut sebagai puisi bebas. Narasi selain yang dituliskan, bisa diangankan oleh yang memandang. Puisi itu dilepaskan dari baris, dari paragraf, dari huruf, dan halaman yang lazimnya dwimatra.

 Pada pertengahan abad 19, pematung Auguste Rodin yang juga berasal dari Prancis, memulai genre patung tanpa kepala atau anggota badan. Torso. Gejala ini bahkan kemudian menjadi bagian dari pengajaran dalam seni patung. Implementasinya di zaman modern ini merambah dunia fashion, dalam wujud manekin yang semata menitikberatkan pada tujuan menampilkan model busananya, bukan pada pemakainya. Amalia Sigit mengamalkannya dalam postur-postur idealis dan wajah yang cantik. Selendang dan tatto adalah penghias sebagai dekorasi saja.

Ade Artie menyampaikan komposisi dari materi yang tak disembunyikan: batu atau semen dengan warna abu-abu. Letak patung sosok manusia boleh di mana saja, itu semua tergantung pada estetika yang hendak ditawarkan. Pada tiga patung manusia dengan skala 1:1 yang menunjukkan komposisi saling bercakap, diberi judul “Ngerumpi”, walau sederhana menunjukkan ekspresi.

Gubahan tangan Yani M. Sastranegara cukup menarik. Pada patung-patung tembaga maupun yang diberi warna-warna ceria, menunjukkan gerak dinamis. Tubuh patung itu seperti dijahit, diberikan arah kibaran seolah sedang tertiup angin. Berbeda dengan Anusapati maupun Innes Indreswari yang mengeksplorasi bentuk dari wujud gumpalan, baik dari kayu maupun batu. Anusapati sebetulnya seorang pelukis juga, bahkan sedang naik daun disambut baik oleh para kritikus seni rupa.

Nilai-nilai artifisial dipertaruhkan di sini ketika para perupa menciptakan dunia sendiri sesuai dengan khayalannya. Kekuatan Innes dalam mengolah bentuk dari benda yang awalnya sederhana memang mewarisi kekuatan daya cipta dosennya, Rita Widagdo. Pematung asal Jerman yang telah menjadi istri desainer interior Indonesia (Widagdo) itu mengajarkan dasar-dasar yang kuat pada eksplorasi bentuk sesuai karakter bahan sejak mahasiswa tingkat I di ITB. Ia mengajar mata kuliah Trimatra (3 dimensi) untuk Tingkat Pertama Bersama. Mahasiswa akan bertemu lagi pada Jurusan Seni Patung. Karya-karyanya dapat dilihat pada sejumlah tempat di Jakarta, termasuk pohon-pohon palma dari logam/aluminiumdi kawasan Kelapa Gading.

Kadang-kadang seorang seniman sengaja menampilkan kenaifan dengan merujuk pada medium garis. Seperti yang ditunjukkan oleh Awan Simatupang. Segerombol lidi atau batang kayu yang diraut seperti tusuk sate, ditanam pada hamparan miniatur rumput. Judul “Vertical” di sana pasti mewakili lidi-lidi yang tegak itu. Filosofi apa yang hendak disampaikan? Sedangkan AB Soetikno sengaja menghentikan gerak benda-benda fungsional yang diabadikan dalam satu frame imajinasi.

Pameran dua belas perupa itu menempati ruang dalam dan ruang luar. Pada awal kita masuk ke ruang pameran akan dikagetkan oleh adegan seorang polisi yang sedang menangkap maling dengan percakapan yang dituliskan pada dinding. Kejenakaan satire yang diangkat dari kejadian. Paling tidak, sebelum berkeliling menyaksikan semua karya, kita dibuat tersenyum lebih dulu.

(Kurnia Effendi)

 

 

Monday, February 16, 2009

Tahun Ekonomi "Vegetarian"

Memasuki Tahun (dengan shio) Kerbau Tanah, seperti memasuki simbol baru tentang kerja keras. kita semua tahu, bahwa binatang bertanduk dengan kulit kelabu itu memiliki tenaga yang kuat. Tampak lamban namun produktif, sepanjang pengendalinya tahu persis bagaimana memanfaatkan kekuatannya yang tahan banting.

Seolah sudah ditetapkan oleh skenario besar, ketika krisis global melanda dunia dan konon akan terlihat dampaknya di tahun 2009 ini, dalam penanggalan Cina (sang ahli dagang) tahun pun berganti, dari Babi menjadi Kerbau (Tanah). Seperti sebuah novel peradaban ekonomi, sebagai kepercayaan atau dipandang secara ilmiah, dengan simbol tersebut, bersiaplah merancang program antisipatif.

Dalam menghadapi krisis, setelah pengalaman tahun 1997, sebagian perusahaan besar lebih siap. Namun krisis lebih terasa pada pasar bursa, terkait dengan turunnya daya beli akibat kredit macet, membuat nilai uang tak berharga karena barang menumpuk. Hal itu sanggup membalikkan posisi wirausahawan terkaya menjadi terpuruk. Kegelisahan ini sangat terasa melalui suhu politik lantaran adanya tarik-menarik kepentingan terhadap kekuasaan. Kebijakan pemerintah boleh jadi akan terpengaruh oleh prosesi sistem ekonomi yang berjalan di lapangan.

Dalam konteks politik dan visi-misi pemerintahan, ada yang memanfaatkan kondisi ini untuk memainkan persepsi dan perspektif masyarakat. Prabowo Subiyanto, misalnya, mendudukkan partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dalam wacana itu. Konsep yang kerap didengungkan adalah mengajak kita kembali pada masyarakat agraris. Pesona Indonesia terhadap industri dan teknologi, modernisasi yang diserap tanpa melihat kemampuan diri, barangkali dianggap pengalaman yang merugikan. Politik mercu suar, membangun secara besar-besaran dengan uang hasil utang luar negeri, telah memanjakan masyarakat sampai pada titik malas berpikir.

Tahun Kerbau seperti sudah digenggam jauh-jauh hari oleh politisi yang pernah menjadi bagian dari Keluarga Cendana itu. Dengan sifat dan keunggulannya, kerbau adalah hewan sawah, pembajak yang andal, dan bukan tergolong pemboros. Andaikata—tanpa  harus percaya kepada urusan shio—kita menangkap isyarat alam, sudah saatnya kita kembali memandang bumi: barangkali recovery ekonomi tak perlu berlangsung lama. Kinilah saatnya menghitung kekuatan diri, dengan semua yang kita miliki berusaha mengeksplorasi setiap kemungkinan. Tanah kita, dalam konteks negara adalah seluruh sumber daya alam, diperhatikan nasibnya, dirawat, untuk kebaikan masa depan.

Dalam konteks perusahaan, manajemen harus mulai melihat aset utama yang dimiliki, termasuk di dalamnya adalah sumber daya manusia. Alat sebagai sarana fasilitas harus dioperasionalkan dengan hati-hati demi menjaga keawetannya. Materi yang dapat dihemat harus dimulai penghematannya dari sekarang. Karyawan diberdayakan secara optimal dan diajak berpikir bersama tentang efisisensi. Gunakan waktu luang (oleh turunnya kesibukan karena kurangnya produktivitas) untuk menambah pengetahuan praktis, dengan pelatihan inhouse atau yang ringan biaya. Strategi training ini dinilai penting karena merupakan persiapan untuk menyambut kebangkitan ekonomi kembali.

Sejumlah usaha jasa dan penjualan produk otomotif bersaing dalam hal pelayanan terhadap pelanggan. Market share bisa tetap tetapi kuantitas distribusi turun karena menyusutnya daya beli masyarakat. Bagi pembeli yang bersandar pada dana pembiayaan lembaga keuangan (leasing) dapat diperkirakan akan rontok. Biasanya akan ada kenaikan bunga, mempersingkat tenor, dan down payment menjulang. Pelajaran dari obral gila-gilan perusahaan raksasa Amerika yang memicu krisis harus menjadi guru yang terbaik.

Memberikan kepuasan pelanggan menjadi strategi yang dimainkan oleh banyak ATPM dan perusahaan jasa. Pelanggan adalah aset yang secara tidak langsung menggaji karyawan. Pelanggan menjadi lebih sensitif, kompetisi begitu ketat, dan sedikit saja kekecewaan mereka terima, pilihan jatuh pada saingan.

Perusahaan otomotif Toyota saja mengalami penurunan penjualan terbesar sepanjang sejarah pada bulan lalu. Artinya, sekalipun krisis sepuluh tahun yang lalu berdampak sangat luas dan mengarungi waktu perbaikan yang begitu lama, krisis tahun ini juga tidak main-main. Dulu, mungkin tabungan perusahaan yang dihimpun melalui revenew dari tahun-tahun sebelumnya masih besar. Deposit yang dipersiapkan untuk pengembangan usaha, penanaman investasi saat diversifikasi usaha, akan membiayai krisis panjang. Rasanya kita semua belum menarik napas lega ketika gelombang kehancuran ekonomi baru kembali menghajar, dan justru berasal dari negara adikuasa.

Kerapuhan sistem keuangan yang tampak menggelembung dari luar sungguh mengerikan apabila salah satu sendi utamanya—setoran balik dari masyarakat—tak lagi sanggup menopang. Banyak orang keliru menafsir rayuan menggiurkan dari bank dengan pinjaman lunak. Sebenarnya ada apa di balik itu? Bank yang sehat biasanya tidak agresif, karena ia bermain di level atas, dan tidak menipu masyarakat luas. Bunga tinggi untuk para penabung tentu bermaksud untuk menyerap dana dalam rangka memperbesar modal dan bisa memutar ekonomi makro.

Kembali pada penanggalan Cina, orang-orang yang lahir dengan shio kerbau dikenal sistematis dan setia pada pola. Penghargaan terhadap tradisi besar sekali. Tipe pekerja keras dan fokus. Ia tahu, bahwa keberhasilan yang bertahan lama hanya dapat dicapai menurut cara yang benar. Oleh sebab itu, manajemen perusahaan yang kritis akan meletakkan pondasi kesuksesan sejak dini, sejak krisis dimulai. Tidak lagi menunggu kemelut datang dan orang-orang panik dengan gelombang pengangguran. Seharusnya hal itu dapat diatasi tanpa harus menyingkirkan karyawan. Bukan habis manis sepah dibuang, tetapi harus sama-sama berjuang.

Menurut beberapa pakar, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono cocok dengan tahun kerbau. Apakah karena ia tipe pekerja keras, atau ketenangannya menyimpan kecerdasan pandangan terhadap masa depan? Situasi kondusif itu harus diimbangi dengan kebijakan ekonomi yang menjunjung kepentingan masyarakat banyak. Keputusan untuk menurunkan harga BBM sampai tiga kali mungkin momentum bagus. Setidaknya berusaha terus menggerakkan ekonomi mikro. Presiden SBY boleh memanfaatkan situasi menguntungkan ini untuk iklan testimoni.

Mengikuti cara kerja dan konsistensi terpola gaya kerbau, ada baiknya kita menjadi vegetarian. Dalam arti sesungguhnya maupun kiasan. Ketika bahan pangan melonjak, semestinya hasil kebun dapat melangsungkan hidup orang banyak. Perpindahan pola makan juga akan menyehatkan badan, menjernihkan pikiran, dan memperpanjang usia. Secara kiasan, manajemen pemerintah maupun perusahaan harus mengubah biaya belanja dengan pola ”vegetarian”, alias penghematan. Ekonomi mikro harus tetap bergulir sehingga kegiatan masyarakat kelas bawah yang mayoritas tetap berlangsung. Lambat-laun, yang mikro akan menggerakkan yang makro. Mari kita tunggu pakar ekonomi membeberkan analisis mereka. (Kurnia Effendi).

 

 

 

 

 

 

 

Friday, February 13, 2009

Nirina Zubir, Ice Breaker

Nirina itu ikon Suzuki motor. Seperti juga Farhan. Nirina itu gadis lincah, mungil seperti bola bekel. Ia tak bisa diam, dan seolah tak kenal sedih. Di tempat shooting menjadi biang bercanda. Benarkah? Tanya saja Mas Didi Petet yang pernah menjadi rekan kerja dalam sebuah film. Ia menjdi semacam ice breaker. Tetapi, akting sedihnya dalam sebuah film drama berjudul Heart, membuahkan pujian dan penghargaan sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik pada FFI 2006. Hebat, ya?

Nirina itu nama lengkapnya Nirina Raudatul Jannah Zubir. Bagus ya? Artinya juga sangat bagus, mengandung makna surga (jannah). Dan juga taman nabi (raudah). Lahir nun jauh di Madagaskar, 12 Maret 1980. Nah, jadi, ngomong-ngomong hampir 29 tahun. Kok seperti remaja abadi, ya?

Nirina itu dikenal mula-mula sebagai video jockey (VJ) di MTV Indonesia. Ia memang fasih berbahasa Inggris. Juga pintar bahasa Mandarin. Tentu saja menguasai beberapa bahasa asing karena hidup berpindah-pindah negara berkat pekerjaan sang ayah sebagai diplomat.

Nirina itu main film pertama dengan judul 30 Hari Mencari Cinta. Semacam komedi romantik. Lalu berpindah genre dengan film horor berjudul Mirror (2005). Rasanya itu fil horor yang baik, karena bukan mengeksploitasi ketakutan dengan hantu-hantu model kuntilanak atau pocong. Setelah itu melompat lagi ke film genre psychological-thriller berjudul Belahan Jiwa. Tampaknya Nirina ingin mencoba semua jenis film, ya? Dua film belakangan beraliran komedi, di bawah arahan sutradara Hanung Bramantyo: Kamulah Satu-Satunya (2007) dan Get Married (2008).

Nirina kapan pakai jilbab? Wah, sebetulnya keinginan itu muncul sejak SMP, tetapi kok belum terealisir ya? Belum siap, katanya. Takut nanti bosan dan berubah pikiran, lalu dicopot lagi. Ya, memang jilbab ini masih menjadi pertimbangan panjang. Di Indonesia, kadang-kadang jilbab menjadi penghambat karier, seperti yang pernah disampaikan oleh Sandrina Malakiano. Tetapi, bukankah karier tak hanya pada satu jurusan?

Nirina sedang dekat dengan seseorang, siapakah dia? Setelah Ferry Ardiansyah, kini cowok yang menjadi gitaris grup band Cokelat resmi sebagai kekasihnya. Ernest namanya. Apakah ini serius untuk sampai ke jenjang pernikahan? Mestinya demikian. Kan sudah dipinang pada September tahun lalu? Ernest Fardiyan Sjarif bersama keluarganya datang ke rumah Nirina di kawasan Kebon Jeruk, untuk sebuah permintaan serius.

Nirina makin aktif di dunia entertainment. Tentu saja, itu kan keahliannya. Menjadi presenter, host untuk acara televisi, bermain film, mengisi acara dalam beberapa event budaya, juga bintang iklan. Jadi, kapan menikah? Ah…ah, bikin patah hati saja!

(Kurnia Effendi)

 

 

Monday, February 09, 2009

Aneka Ragam Media Islam

Pandangan tentang Islam cukup beraneka ragam. Hal itu pula yang membuat media massa berbasis Islam juga tidak senada. Kita dapat merasakan kehadiran garis keras, pluralisme, moderat, atau yang bersifat eksklusif karena keterbatasan segmentasi. Dari yang cukup populer, terbagi pula menjadi bacaan gaya hidup (secara Islam) dan semi jurnal pemikiran yang bersifat esais. Lantas, ’mazhab’ apa yang ditempuh majalah Madina, yang baru saja meninggalkan usia satu tahunnya?

 Telah beredar jauh sebelumnya beberapa majalah, antara lain Sabili, Hidayah, Annida, masing-masing membawa misi dan visi yang berbeda satu sama lain. Majalah Sabili, tersirat dari nama perang, terasa cukup keras dan tegas. Hidayah merupakan bentuk lain dari tayangan kisah-kisah mistik agama yang secara menjamur pernah muncul di televisi. Sedangkan Annida dan Ummi lebih menyasar remaja dan kaum ibu muda dengan memperbanyak cerita dan hikmah. Format ketiganya hampir sama, lebih kecil dari majalah umumnya.

Jauh sebelum itu juga telah terbit majalah berita Panjimas (sebelumnya Panji Masyarakat) yang pemimpin redaksinya dijabat oleh putri Mochtar Loebis, Uni Loebis. Posisinya dulu menjadi sparing partner majalah Tempo dan Tiras, kemudian Gatra. Untuk yang berselera feminin, muncul Amanah (berada pada segmen pembaca Femina, Famili, Sarinah, dan Kartini). Sedangkan untuk memenuhi bacaan remaja dan ibu muda muslimah, Femina Group membuat Noor yang kemudian dijajari oleh majalah Alila.

Sebetulnya ada majalah Islam yang lebih mengutamakan kajian intelektual dan mirip dengan jurnal. Ulumul Qur’an namanya, yang begitu elitis (bahkan nama yang dijunjung menunjukkan kekhususan). Namun sayang tidak berusia panjang. Selanjutnya muncul majalah Azzikra yang dikemas mewah dan lebih moderat. Di balik majalah itu, yang keredaksiannya pernah dipimpin oleh Eddy Soepadmo, ada sosok Arifin Ilham, sang penggerak dzikir Indonesia. Itu pun, entah mengapa tak berumur lama. Rasanya, kedua majalah itu memiliki dua hambatan: mencari penulis dan mendapatkan pembaca yang luas. Agaknya tidak mudah untuk menghimpun para pemikir Islam, jika tidak ingin nama yang itu-itu saja.

Bagaimana dengan model free-mag yang sudah banyak ditempuh oleh majalah hiburan dan gaya hidup? Dalam jenis majalah islami ternyata ada yang bahkan terbit mingguan. Namanya Alif (kependekan dari Alhamdulillah it’s Friday). Sesuai dengan nama lengkapnya, majalah Alif beredar setiap hari Jumat dan tidak perlu membeli untuk memilikinya, alias cuma-cuma. Di belakang media ini (formatnya semacam buku saku dengan art paper full colour) duduk Profesor Doktor Quraish Shihab. Tampaknya ia yang secara ’absolut’ memegang kendali syi’ar itu. Meskipun isinya sangat moderat, tetapi ada kekhususan pada tafsir Quran yang memang menjadi bidang keahlian Pak Quraish. Dalam setiap edisi terdapat ulasan tentang masjid yang dibuat semacam muhibah, dari satu ke lain wilayah budaya. Dari format dan isi tampak cukup menarik karena tidak terlampau berat membebani pembacanya. Mudah dibawa secara fisik, mudah dicerna secara analisa.

Sekarang tinggal majelis pembaca mau pilih yang mana di antara pelbagai majalah berbasis Islam itu? Mau yang selalu membuat jiwa kita bergelora untuk berjihad? Atau sekadar mengenal Islam dari mode pakaian, cara bergaul, atau memandang dunia dari sisi keindahannya? Atau mencoba membandingkan pelbagai kajian dari sumber-sumber yang secara historikal masih banyak mengandung multi tafsir?

Pada akhir Januari lalu, majalah Madina mensyukuri ulang tahunnya yang pertama. Media ini lahir dari tangan seorang yang sudah seperempat abad menangani penerbitan. Haidar Bagir salah satunya, dari Mizan Group. Dua belas nomor berlangsung selama setahun tanpa terdengar gaungnya sebagai majalah yang menjadi favorit para pembaca. Ia seolah melenggang secara anggun diam-diam, walaupun sesungguhnya banyak kajian yang ditawarkan dengan aneka ragam cara pandang.

Tidak ingin meraup pembaca melalui harga murah, misalnya, Madina begitu yakin dengan penampilan barunya. Ada slogan baru yang terdengar retorik: terbuka, cerdas, dan mencerahkan. Dari janji itu seperti hendak mengatakan bahwa keterbukaan itu dapat meluas sampai lintas agama. Cerdas tentu terkait dengan cara ulas yang tidak main-main, karena di balik meja redaksi ada nama-nama seperti: Komarudin Hidayat (penulis buku dan dosen Universitas Islam Negeri), Haidar Bagir (dosen tamu di perguruan tinggi Malaysia), Anis Baswedan (Rektor Universitas Paramadina), Imam Prasojo (dosen Universitas Indonesia), dan Hikmat Darmawan (kolumnis, pengamat buku dan komik), dengan pemimpin redaksi Ade Armando (pernah duduk sebagai Ketua Komisi Penyiaran Indonesia). Sedangkan Putut Widjanarko menjabat sebagai direktur.

Tampaknya cukup mantap. Setidaknya nama-nama itu menjamin isi majalah Madina sebagai bacaan yang mencerahkan. Pada malam ulang tahunnya, tampak hadir para intelektual muda Amerika dan beberapa negara lain. Semoga memang akan memberikan kualitas yang baik sebagai bacaan dan referensi. Kompetisi pemberitaan, rasanya akan sulit menyaingin Tempo dan Gatra, tetapi untuk kajian Islam yang moderat, barangkali memiliki harapan bagus.

Untuk edisi ulang tahun, sebagai topik utama, Madina menawarkan perbincangan tentang Charles Darwin pencetus buku tentang evolusi manusia. Tahun ini telah berusia dua ratus tahun, dan teorinya masih tetap menjadi kontroversi yang sangat populer.

Terlepas dari arah yang akan dituju Madina, sangat menarik ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh Imam Prasojo dalam pidatonya. Dengan gaya santai, penuh semangat ia meledek Ade Armando dan Komarudin Hidayat. Ia mengatakan bahwa dalam setahun ini najalah Madina telah ’tersesat’, kini saatnya kembali kepada khittah. ”Untuk itu, kelompok pembacanya jangan hanya intelektual yang minimal melaksanakan salat Jumat.” Ucapannya tentu disambut dengan derai tawa.

Imam memiliki pengalaman menarik tentang Borobudur yang belum dikunjungi untuk kesekian kali. Ternyata, dalam faktanya, pada dinding tiga pertala paling bawah terukir kisah yang bersumber dari agama Hindu. Selanjutnya, sampai tingkat tertinggi, semua merupakan ajaran Buddha.

”Jadi, dapat disimpulkan bahwa di situ ada jenjang, bagaimana ajaran yang satu memiliki pondasi ajaran yang lahir sebelumnya. Apakah mungkin terjadi ada sebuah masjid yang memiliki lantai bawah dengan kandungan ajaran Kristen, baru di atasnya merupakan implementasi Al-Quran?”

Terbuka, itulah inti yang hendak disampaikan secara cerdas oleh Madina. Pada akhirnya ingin mencerahkan. Tinggal ditunggu buktinya sebagai salah satu ragam media Islam yang kaya dengan ilmu dan hikmah.

(Kurnia Effendi)

 

Wednesday, February 04, 2009

Bersaing Kawan Seiring

Pembatalan pasal 214 Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, oleh Mahkamah Konstitusi; tampaknya akan memberatkan calon legislatif (caleg). Meraih suara terbanyak, itu kata kuncinya. Regulasi ini menjadi perubahan baru untuk Pemilu 2009 yang akan berlangsung April. Dan tugas untuk meraih suara terbanyak itu dibebankan kepada masing-masing caleg. Lalu bagaimana dukungan partai sebagai konstituen yang memayungi para caleg?

Ada risiko bagi setiap caleg yang akan saling bersaing untuk mendapatkan dukungan, walaupun mereka berada dalam satu partai politik. Ibarat ATPM mobil, biasanya ada kekhawatiran jika terjadi persaingan pasar justru terjadi pada merek sendiri. Umumnya ketika produk yang dikeluarkan masih dalam spesifikasi yang tak jauh berbeda, mereka akan salingmembunuh’.

Sebagaimana pengakuan Nurul Arifin, juga perjuangan Nova Riyanti Yusuf (Partai Demokrat) dan Rieke Dyah Pitaloka (PDIP), menjadi kian berat ketika nomor urut tidak lagi berperan sebagai kans untuk kemungkinan menjadi caleg. Dulu suara tercurah kepada partai dan dengan semakin banyak yang diraih akan semakin banyak pula calon legislatif yang menduduki kursi parlemen. Kini perjuangan bersifat individual, sehingga masing-masing caleg terpaksa melakukan investasi dana kampanye yang tidak sedikit.

Pada masing-masing daerah pemilihan, ia seharusnya bertarung dengan caleg dari partai lain. Itu wajar dan akan dilakukan dengan kesungguhan hati mempertaruhkan keperacayaan masyarakat. Apa saja yang dipertaruhkan, setidaknya akan meliputi empat hal: (1) dapat diandalkan (2) memiliki visi yang jelas (3) dipercaya, amanah dan bergaransi (4) masuk akal.

Seseorang yang dapat diandalkan akan menjadi sandaran banyak orang. Ia akan bertanggung jawab terhadap nasib rakyat, mampu mengatasi tantangan kehidupan bermasyarakat. Dengan visi yang jelas dan fokus, dukungan akan memperkuat kecepatan mencapai tujuan. Terujikah seorang caleg itu amanah dan memiliki jaminan tidak akan menyeleweng? Ini sebuah pilihan berisiko, karena hanya seorang caleg yang sudah pernah menjabat dapat dinilai pekerjaannya selama lima tahun ke belakang. Bagi caleg baru, perlu sosialisasi dengan frekuensi tinggi, dan mau tidak mau harus menjual prestasi kepada calon pendukungnya. Track record selama ini dalam bidang yang dikuasainya harus jelas menunjukkan kualitas yang dibutuhkan masyarakat.

Semua itu pada akhirnya harus realistis. Seorang caleg yang mengkampanyekan program muluk-muluk akan mencurigakan. Dengan apa dia membuktikan janjinya? Secerdas dan seterampil apa dia? Walaupun setiap usaha mencapai cita-cita tidak harus dilakukan sendiri, tim pendukung harus memperlihatkan kekuatan yang semestinya. Studi kelayakan yang masuk dalam ’proposal’ kampanye tak sebatas slogan saja, karena harus memenuhi syarat tahapan kerjanya. Sebut saja proyek Banjir Kanal Timur (BKT); tujuannya jelas untuk mencegah banjir yang selalu datang tiap tahun dan merendam kawasan di sekitar Jakarta Timur. Tetapi, kenyataannya program itu tak kunjung selesai. Banyak hal yang mudah dituangkan di atas kertas, namun pelaksanaannya membutuhkan diplomasi khusus di lapangan. Bagaimana sosialisasi itu dapat diterima masyarakat? Cukup layakkah imbalan yang diterima oleh pemilik tanah yang akan digunakan sebagai lokasi BKT? Itu sekadar contoh.

Bagaimana pun caleg berusaha saling menonjolkan janji untuk merebut simpati pendukung. Masyarakat yang jeli harus melihat benang merah antara satu dan lain caleg yang masih dalam satu partai politik. Apakah sejalan dan saling mendukung? Atau justru terlihat jalan masing-masing?

Persaingan antarpartai adalah yang semestinya terjadi untuk mendapatkan pemenang. Jika yang berlangsung persaingan antarcaleg, akan jadi kurang sehat. Bagi partai politik yang menganut asas keadilan, mungkin akan melakukan dukungan finansial bagi para calegnya secara merata. Dukungan yang tidak merata, apalagi disebabkan unsur like and dislike internal, akan menyebabkan rapuhnya organisasi. Kembali, kekuatan finansial akan memberikan keunggulan awal pada artis caleg.

Cukup masuk akal pendapat Samsudin Adlawi dari Jawa Pos, bahwa ada kecenderungan para caleg berduit lebih memiliki peluang untuk mendulang banyak suara. Kalaupun bukan semata dari faktor uang, popularitas sang tokoh bisa mendongkrak perolehan dukungan. Namun menurutnya, wacana itu secara tidak langsung justru mengambinghitamkan rakyat. Seolah-olah pikatan uang itulah yang akan menarik minat masyarakat menjadi pendukung.

Tetapi jangan salah menilai rakyat. Kembali mangambil analogi dunia otomotif, kenyataannya konsumen (dalam pemilu kita sebut calon pemilih) lebih pintar ketimbang wiraniaga. Sudah sejak awal, sebelum mereka masuk showroom, sudah berbekal pengetahuan seluruh merek sejenis. Mereka telah melakukan bench-mark terhadap kendaraan yang mereka sasar. Apa kelebihan Toyota dibanding Honda dan Suzuki, misalnya. Internet telah memudahkan semua usaha mereka untuk tahu barang yang hendak dibeli.

Memilih wakil di parlemen sama saja dengan menaruh aspirasi kepada orang yang dipercaya. Bolehlah kepercayaannya kita semua terhadap anggota DPR sudah luntur mengingat praktik perilakunya tidak menunjukkan sebagai orang yang patut dipercaya. Mulai dari kegiatan bisnis sampai penyimpangan moral, rasanya cukup lengkap untuk bicara tentang keburukan kinerja. Akan berbeda dengan kondisi di Australia. Salah seorang anggota parlemen yang terlambat hadir dalam rapat karena menunggu jadwal wawancara dari media setempat, harus menerima sanksi yang keras. Artinya, yang mula-mula harus ditegakkan di Indonesia adalah hukum dan keadilan.

Pendidikan rakyat sudah meningkat dan berkembang. Oleh karena itu sangat naif jika menganggap rakyat akan terpesona pada iklan yang didukung anggaran tinggi, sementara integritas manusianya justru dipertanyakan. Seiring dengan perkembangan rakyat kian pintar, lalu kembali golput menjadi bola salju (sehingga dikeluarkan fatwa bahwa golput itu haram—bagaimana dengan golongan hitam?), partai politik pun sangat menyadari. Itu sebabnya, selain menggalang artis yang cerdas, juga merekrut para profesional yang ahli di bidangnya masing-masing.

Sebenarnya fakta itu cukup menggembirakan jika tujuan menempatkan kaum cendekia sebagai wakil rakyat adalah untuk memenuhi harapan kemajuan dan kesejahteraan bersama dalam bernegara dan bermasyarakat. So, anggaran pribadi tak harus dipertaruhkan habis-habisan untuk saling sikut. Bahu-membahulah untuk mengemban misi dan visi.

(Kurnia Effendi)