Pandangan tentang Islam cukup beraneka ragam. Hal itu pula yang membuat media massa berbasis Islam juga tidak senada. Kita dapat merasakan kehadiran garis keras, pluralisme, moderat, atau yang bersifat eksklusif karena keterbatasan segmentasi. Dari yang cukup populer, terbagi pula menjadi bacaan gaya hidup (secara Islam) dan semi jurnal pemikiran yang bersifat esais. Lantas, ’mazhab’ apa yang ditempuh majalah Madina, yang baru saja meninggalkan usia satu tahunnya?
Telah beredar jauh sebelumnya beberapa majalah, antara lain Sabili, Hidayah, Annida, masing-masing membawa misi dan visi yang berbeda satu sama lain. Majalah Sabili, tersirat dari nama perang, terasa cukup keras dan tegas. Hidayah merupakan bentuk lain dari tayangan kisah-kisah mistik agama yang secara menjamur pernah muncul di televisi. Sedangkan Annida dan Ummi lebih menyasar remaja dan kaum ibu muda dengan memperbanyak cerita dan hikmah. Format ketiganya hampir sama, lebih kecil dari majalah umumnya.
Jauh sebelum itu juga telah terbit majalah berita Panjimas (sebelumnya Panji Masyarakat) yang pemimpin redaksinya dijabat oleh putri Mochtar Loebis, Uni Loebis. Posisinya dulu menjadi sparing partner majalah Tempo dan Tiras, kemudian Gatra. Untuk yang berselera feminin, muncul Amanah (berada pada segmen pembaca Femina, Famili, Sarinah, dan Kartini). Sedangkan untuk memenuhi bacaan remaja dan ibu muda muslimah, Femina Group membuat Noor yang kemudian dijajari oleh majalah Alila.
Sebetulnya ada majalah Islam yang lebih mengutamakan kajian intelektual dan mirip dengan jurnal. Ulumul Qur’an namanya, yang begitu elitis (bahkan nama yang dijunjung menunjukkan kekhususan). Namun sayang tidak berusia panjang. Selanjutnya muncul majalah Azzikra yang dikemas mewah dan lebih moderat. Di balik majalah itu, yang keredaksiannya pernah dipimpin oleh Eddy Soepadmo, ada sosok Arifin Ilham, sang penggerak dzikir Indonesia. Itu pun, entah mengapa tak berumur lama. Rasanya, kedua majalah itu memiliki dua hambatan: mencari penulis dan mendapatkan pembaca yang luas. Agaknya tidak mudah untuk menghimpun para pemikir Islam, jika tidak ingin nama yang itu-itu saja.
Bagaimana dengan model free-mag yang sudah banyak ditempuh oleh majalah hiburan dan gaya hidup? Dalam jenis majalah islami ternyata ada yang bahkan terbit mingguan. Namanya Alif (kependekan dari Alhamdulillah it’s Friday). Sesuai dengan nama lengkapnya, majalah Alif beredar setiap hari Jumat dan tidak perlu membeli untuk memilikinya, alias cuma-cuma. Di belakang media ini (formatnya semacam buku saku dengan art paper full colour) duduk Profesor Doktor Quraish Shihab. Tampaknya ia yang secara ’absolut’ memegang kendali syi’ar itu. Meskipun isinya sangat moderat, tetapi ada kekhususan pada tafsir Quran yang memang menjadi bidang keahlian Pak Quraish. Dalam setiap edisi terdapat ulasan tentang masjid yang dibuat semacam muhibah, dari satu ke lain wilayah budaya. Dari format dan isi tampak cukup menarik karena tidak terlampau berat membebani pembacanya. Mudah dibawa secara fisik, mudah dicerna secara analisa.
Sekarang tinggal majelis pembaca mau pilih yang mana di antara pelbagai majalah berbasis Islam itu? Mau yang selalu membuat jiwa kita bergelora untuk berjihad? Atau sekadar mengenal Islam dari mode pakaian, cara bergaul, atau memandang dunia dari sisi keindahannya? Atau mencoba membandingkan pelbagai kajian dari sumber-sumber yang secara historikal masih banyak mengandung multi tafsir?
Pada akhir Januari lalu, majalah Madina mensyukuri ulang tahunnya yang pertama. Media ini lahir dari tangan seorang yang sudah seperempat abad menangani penerbitan. Haidar Bagir salah satunya, dari Mizan Group. Dua belas nomor berlangsung selama setahun tanpa terdengar gaungnya sebagai majalah yang menjadi favorit para pembaca. Ia seolah melenggang secara anggun diam-diam, walaupun sesungguhnya banyak kajian yang ditawarkan dengan aneka ragam cara pandang.
Tidak ingin meraup pembaca melalui harga murah, misalnya, Madina begitu yakin dengan penampilan barunya. Ada slogan baru yang terdengar retorik: terbuka, cerdas, dan mencerahkan. Dari janji itu seperti hendak mengatakan bahwa keterbukaan itu dapat meluas sampai lintas agama. Cerdas tentu terkait dengan cara ulas yang tidak main-main, karena di balik meja redaksi ada nama-nama seperti: Komarudin Hidayat (penulis buku dan dosen Universitas Islam Negeri), Haidar Bagir (dosen tamu di perguruan tinggi Malaysia), Anis Baswedan (Rektor Universitas Paramadina), Imam Prasojo (dosen Universitas Indonesia), dan Hikmat Darmawan (kolumnis, pengamat buku dan komik), dengan pemimpin redaksi Ade Armando (pernah duduk sebagai Ketua Komisi Penyiaran Indonesia). Sedangkan Putut Widjanarko menjabat sebagai direktur.
Tampaknya cukup mantap. Setidaknya nama-nama itu menjamin isi majalah Madina sebagai bacaan yang mencerahkan. Pada malam ulang tahunnya, tampak hadir para intelektual muda Amerika dan beberapa negara lain. Semoga memang akan memberikan kualitas yang baik sebagai bacaan dan referensi. Kompetisi pemberitaan, rasanya akan sulit menyaingin Tempo dan Gatra, tetapi untuk kajian Islam yang moderat, barangkali memiliki harapan bagus.
Untuk edisi ulang tahun, sebagai topik utama, Madina menawarkan perbincangan tentang Charles Darwin pencetus buku tentang evolusi manusia. Tahun ini telah berusia dua ratus tahun, dan teorinya masih tetap menjadi kontroversi yang sangat populer.
Terlepas dari arah yang akan dituju Madina, sangat menarik ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh Imam Prasojo dalam pidatonya. Dengan gaya santai, penuh semangat ia meledek Ade Armando dan Komarudin Hidayat. Ia mengatakan bahwa dalam setahun ini najalah Madina telah ’tersesat’, kini saatnya kembali kepada khittah. ”Untuk itu, kelompok pembacanya jangan hanya intelektual yang minimal melaksanakan salat Jumat.” Ucapannya tentu disambut dengan derai tawa.
Imam memiliki pengalaman menarik tentang Borobudur yang belum dikunjungi untuk kesekian kali. Ternyata, dalam faktanya, pada dinding tiga pertala paling bawah terukir kisah yang bersumber dari agama Hindu. Selanjutnya, sampai tingkat tertinggi, semua merupakan ajaran Buddha.
”Jadi, dapat disimpulkan bahwa di situ ada jenjang, bagaimana ajaran yang satu memiliki pondasi ajaran yang lahir sebelumnya. Apakah mungkin terjadi ada sebuah masjid yang memiliki lantai bawah dengan kandungan ajaran Kristen, baru di atasnya merupakan implementasi Al-Quran?”
Terbuka, itulah inti yang hendak disampaikan secara cerdas oleh Madina. Pada akhirnya ingin mencerahkan. Tinggal ditunggu buktinya sebagai salah satu ragam media Islam yang kaya dengan ilmu dan hikmah.
(Kurnia Effendi)