Monday, January 29, 2007

Prihatin

PADA sebuah senja, ketika Jakarta diguyur hujan yang membuat sejumlah besar ruas jalan menjadi mampat, saya menerima pesan tertulis melalui seorang teman, Nino Graciano. Dia seorang aktivis Gerakan Integrasi Nasional yang demikian rindu terhadap kejayaan Indonesia yang damai dan mandiri. Tentu dia tidak sendirian. Nino bersama teman-teman yang memiliki kesadaran terhadap nasionalisme yang lebih membumi.

Lengkap saya kutip di sini suara sedihnya yang tertera melalui SMS: “Observasi selama mengikuti Global Peace Forum  di Bali, 21-23 Januari: Selamat pagi. Kondisi negeri kita sungguh sangat memprihatinkan. Setiap jengkal tanah kita, sumber alam kita, barangkali nurani kita pun telah terjual / digadaikan kepada orang-orang asing, saudara-saudara kita yang dulu begitu getol melawan ketidakadilan telah dipadamkan apinya oleh kekuatan-kekuatan asing yang ingin memperbudak Indonesia / dibeli oleh para politisi kita. Peta keterpurukan kita sudah makin jelas. Semoga Gusti Allah memberi kekuatan kepada kita untuk menyadarkan saudara-saudara kita yang masih terlena. Inilah jihad kita. Indonesia Jaya! Tolong sebarkan – National Integration Movement.”

Sesungguhnya, dekadensi semacam ini telah terjadi sejak saya kuliah, hanya mungkin belum semerata sekarang. Setidaknya saya ingat, bagaimana Lapangan Basket ITB menjadi arena yang bersejarah. Cukup legendaris sebagai bagian pondasi oposisi untuk gerakanperlawananterhadap kemapanan. Tentu yang dimaksud adalah kemapanan segelintir orang yang begitu dekat dengan kukuasaan. Sementara kekuasaan saat itu begitu solid, sistematis, dan melakukan penekanan (represif) dengan senyum terus tersungging di wajah yang tenang. Berhutang besar kepada negara-negara maju dan lembaga keuangan dunia untuk kesejahteraan (manipulatif) rakyat, sebagian untuk membangun imperium pribadi dan kroninya. Ah, itu masa lalu yang dampaknya terus berlarat-larat hingga hari ini.

Saya mungkin salah seorang yang turut menyaksikan bagaimana para politisi dan jajaran pimpinan partai politik di zaman reformasi ini yang semasa mahasiswa dulu begitu vokal menyerukan keadilan dan berapi-api membela rakyat. Bahkan seolah membenci uang ayahnya yang kebetulan pejabat, mungkin karena waktu itu biaya kuliah murah dan bisa mencarinya secara pribadi dengan menjadi guru kursus atau reparasi ini-itu. Namun sekarang, saya juga tahu siapa yang paling getol menyuarakan kepentingan pribadinya yang dibungkus dengan perisai rakyat. Jadi rupanya, rakyat di mana-mana sangat berjasa untuk meniti karir seseorang. Sementara sang rakyat bergeming di tempatnya yang paling terpuruk.

Nino, dalam beberapa kesempatan, selalu menginformasikan gerakan lembut namun perkasa, yang mencoba kembali kepada hati nurani. Di ujung tahun, ketika hampir semua orang memilih untuk merayakan Tahun Baru dengan gegap gempita, Gerakan Integrasi Nasional justru menandai dengan sebuah prasasti perdamaian dunia di Ground Zero, Kuta, Bali. Setidaknya seluruh wakil pemimpin agama turut mendukung upaya ini.

Sesungguhnya, kita agak jera dengan aspirasi besar yang tampak bombastis namun ujung-ujungnya ada maksud-maksud terselubung. Kita seperti tertampar oleh kata-kata sendiri, setiap kali melihat kenyataan yang sungguh terbalik dengan niat semula. Oleh karena itu, sebaik-baik gerakan, harus ditunjukkan melalui perilaku yang didasari akal budi dan ditunjukkan melalui bukti. Tak perlu hasil yang besar, namun sebaiknya konsisten dan bergerak secara akumulatif. Bukankah kita sudah berulang kali kecewa setelah mendewa-dewakan figur seseorang?

Kembali kepada kondisi Indonesia akhir-akhir ini, rasanya kita seperti anak durhaka yang sedang menerima kutukan Sang Ibu Pertiwi. Muka kita sedang disiram lumpur wirang, sebagai aib yang ditunjukkan oleh Tuhan. Sejumlah safari kita seperti disesatkan ke tempat-tempat yang menjadi berkerumunnya Sang Maut, sebagai bentuk menyimpangnya kita dari jalan Tuhan. Terus ke mana kita mesti sembunyikan wajah dan langkah dari sejarah perilaku yang sudah serba salah?

Saat ini kita tak hanya bisa merasa prihatin. Hidup terus bergerak bahkan gemuruh oleh tumpang-tindihnya cita-cita luhur dan keinginan untuk saling membuat hancur. Sebenarnya ada siapa di kepala dan hati kita? Hantu atau Tuhan? Tapi, rasanya, serendah-rendah empati yang dapat kita miliki adalah rasa prihatin. Setelah itu, lakukanlah yang kita mampu untuk mengembalikan Indonesia ke negeri loh jinawi.

(Kurnia Effendi, untuk tabloid Parle)

 

 

 

 

 

 

 

Di Ujung Senja

“Arga yang baik, aku tahu engkau akan datang sore ini. Aku kangen, seperti juga sahabat-sahabatmu lainnya yang lama tak berjumpa. Kamu mungkin ingin bertanya setelah menyatakan cinta padaku: ‘apakah kamu mencintaiku?’ Akan kujawab dengan setulus hati, ‘ya’. Tapi Arga, tahukah kamu? Gardin juga mencintaimu! Dan aku selama hidup tak bisa memiliki seseorang yang juga dinantikan gadis lain. Sementara aku sangat tahu, Gardin paling baik bagimu.

Arga tercinta, waktu sakit aku saling berbuka hati dengan Rina. Dan akhirnya aku menyadari, bahwa hatiku bukan sebuah pelabuhan yang cukup besar untuk menampung seluruh limpahan cintamu.

Arga, sahabatku, percayalah padaku. Aku tetap mencintaimu, asalkan kamu mau berjanji untuk tidak  mngecewakan dan tidak meninggalkan Gardin. Berjanjilah, Arga. Bahkan seandainya itu bukan karena aku. Aku akan turut berbahagia…”

Untuk sesaat Arga tak sanggup melanjutkan akhir kalimat Seruni.

Arga bisa bebas tertawa, marah, bersemangat, merenung dalam-dalam, gila-gilaan atau bahkan menangis, tapi tidak untuk peristiwa yang tak diduganya ini! Ya. Siapa yang mampu mengintip kedalaman hati seseorang, yang suatu ketika melahirkan kebijaksanaan? Siapa?

 

(Petikan dari cerita Di Ujung Senja, Kurnia Effendi)

 

 

Saturday, January 27, 2007

Hari-Hari Merah Jambu

SEMENTARA pesawat terus bergerak, bersiap-siap untuk take-off. Di ruang tunggu airport mulai ada sedikit keributan. Agaknya Bram bakal terlibat kesulitan. Petugas lapangan yang sedang memberikan gerakan tangan untuk sang pilot pun mulai curiga.

Benar. Ada beberapa mata dalam pesawat yang melihatnya.

“Teroris!”

“Siapa?”

“Mana?”

Laras meletakkan novel dan melonggarkan sabuk pengaman. Ia terpengaruh suara di sebelah-menyebelah, dan mencoba menengok ke luar melalui kaca jendela. Astaga!

“Bram!” pekiknya tanpa sadar.

Dilihatnya Bram tengah menyebar kuntum-kuntum bunga mawar yang telah dipatahkan dari tangkai mereka. Ditaburnya di aspal landasan dengan serabutan. Berusaha menggambar sesuatu. Menyerupai bentuk hati…

Laras tahu, Bram bermaksud mengucapkan selamat ulang tahun dengan bunga-bunga mawar itu. Tetapi kenapa dengan cara nekat dan merugikan diri sendiri? Pada saat kita minum kan bisa, pikirnya tak mengerti. Ini sungguh kejutan yang berbahaya! Sementara Laras makin tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia menganggap kejadian ini tidak masuk akal! Ia juga tak sadar kalau perubahan-perubahan wajahnya menjadi perhatian penumpang lain. Semua menatap dengan curiga. Juga was-was.

Pesawat terus bergerak. Sedangkan Laras merasa hatinya tidak turut meluncur.

….

LARAS pun merasakan matanya basah. Laras tak lagi menyaksikan apa-apa, selain gumpalan awan dan biru langit. Terdengar bisik-bisik penumpang di belakang. Selebihnya, adalah usaha mereka mengalihkan perhatian dan menenteramkan diri dari berbagai kemungkinan mengerikan. Barangkali kejutan senja di bandara yang baru lalu, tinggal menjadi cerita di benak masing-masing.

Sesuatu yang aneh sering muncul dengan tiba-tiba, bukan? Laras teringat ucapan Bram setengah jam yang lewat. Dan itu telah terjadi di depan matanya. Bahkan Bram yang melakukannya!

Ya, Tuhan. Apa yang terjadi atas Bram kemudian? Selamatkanlah dia! Dia bukan teroris! Dia bukan subversif! Diadiasesungguhnya orang yang paling romantis.

Hati Laras gelisah. Dan perjalanan pun jadi sangat panjang.

 

(Dipetik dari cerita Hari-Hari Merah Jambu, Kurnia Effendi)

 

 

Friday, January 26, 2007

Sekuntum Lily

SEKUNTUM lily itu masih di depan pintu. Di lantai lembab, dekat jejak sandal. Jatuh dari tangannya yang gemetar. Ia tidak menoleh lagi ke arahkuseseorang  yang pernah mencintai dengan tulusmelampaui jeruji, yang membuat kami terpisah ruang. Bertambahnya jarak, seperti terlepasnya daun kering dari tangkai, meluncur ke bumi, dan tak berdaya

….

AKU sedang bertimbang-timbang ikut yang mana, sewaktu Yulia menghampiri dan menyihirku: “Kutunggu lima detik, ikut atau tidak?”

Ke mana?”

Tinggal tiga detik! Makan sup iga di Cilandak.”

“Jauh amat!”

“Oke, waktu habis!” Yulia melesat ke arah koridor.

“Yulia, tunggu!” teriakku, dan kaget sendiri karena ini di tengah kampus yang cukup hening.

“Minus empat detik! Cepatlah!”

Aku mengejar Yulia seperti menggunakan sepatu roda. “Eh, sama siapa?”

“Jangan khawatir, banyakan kok. Edo, Fahri, Regi, Asoka…”

Tikungan demi tikungan, sampailah ke tempat parkir. Dalam sebuah Escudo, Yuda sudah menyalakan mesin. Jadi kami bertujuh? Mana cukup?

“Fahri nggak jadi ikut, sakit perut.” Ujar Yuda tanpa menoleh. Namun ia tahu kehadiran kami.

“Huh, klasik!” gerutu Yulia. “Tahu nggak? Ini giliran dia yang bayar.”

Edo dan Regi berjalan dari arah lain. Asoka masih asyik dengan ponsel di telinga. Lalu kulihat tangan Asoka melambai, seperti mengisyaratkan tak jadi ikut.

“Ya, sudah, kita berlima. Lebih enak, kan? Tak berdesak-desak,” kata Regi.

Seandainya aku seorang cenayang, mampu melihat sedikit saja ke masa depan, mungkin aku akan mengurungkan niat untuk ikut. Sebuah ketergesaan kadang-kadang menjebak. Itu hampir selalu kualami. Namun, karena kepergian kami ternyata bersama Yuda – setidaknya ia cukup populer di kampus – pikiranku berubah. Alangkah asyiknya!

 

 

(Petikan dari cerita Sekuntum Lily, Kurnia Effendi)

 

Langit Makin Ungu

SEBERSIT kerisauan kini mengganggunya. Ia menyukai tatapan elang itu. Ia amat menyukai suaranya. Tetapi ia tidak ingin mencintainya. Bertemu dengan Bas, akan selalu mengingatkannya pada Baskoro. Ingatan itu amat menyakitkan. Ia ingin, ini percakapan terakhir. Betapa pun rindunya, ia harus sanggup membunuh perasaan itu.

“Dan kamu berjanji untuk tidak bercinta lagi?” tanya Nana.

“Ya. Sebelum mengenalmu lebih jauh.”

Bibir Nana mengering tiba-tiba. Mengapa pertunjukan tak segera selesai? Mengapa Rien Djamain menyanyi terlalu panjang dan banyak improvisasi? Dan sewaktu acara usai, Nana tak bicara lagi.

“Terima kasih, Bas. Kamu harus segera pulang.” Nana melambai di depan pintu rumahnya.

“Besok kamu kuliah jam berapa?”

“Kuminta kamu tidak menemuiku lagi,” ucapan Nana terdengar getir. “Lupakan aku.”

“Aku tak pernah mengerti maksudmu, Nana.”

“Sejak malam ini kamu akan mengerti.” Mata Nana mengeras. Sepasang mata elang di depannya mendadak tak berdaya.

“Nana…”

“Kamu tidak boleh melanggar janjimu.”

Mata cokelat yang dulu tegar kini murung. Alisnya meluruh.

“Kamu menyakiti perasaan sendiri, Nana.” Suara Bas gemetar.

Nana menghela nafas. “Mungkin. Selamat malam.”

Di mata Bas, langit jadi tak berbintang. Ia tak pernah mengerti. Tak pernah.

....

NANA menangis di bantalnya. Ia ingat ketika Baskoro menggandeng pacar barunya di depan matanya, seorang gadis cantik, yang enam bulan kemudian resmi menjadi tunangan Baskoro. Hati Nana hancur. Laki-laki yang meremukkan hatinya itu seperti muncul lagi lewat kehadiran Basunondo. Aku mencintainya. Tapi aku takut mengalami kegagalan kedua kalinya. Bisa mengertikah dia?

Nana mengangkat wajah dari bantal yang basah. Lalu ia memutuskan berlari ke ruang tamu. Dilihatnya Sita berdiri termangu menatap bingkai jendela. Ia menoleh begitu mendengar langkah Nana.

“Aku telah mengatakan sesuatu yang kamu inginkan,” bisik Sita. Bibirnya gemetar. “Mungkin sejak hari ini dia tak akan pernah kelihatan lagi. Besok dia berangkat ke Timur Tengah.”

Nana terpaku. Dua anak sungai mengalir di pipinya. Kekerasan hatinya telah dibayar dengan mahal: perpisahan.

 

(Dipetik dari cerita Langit Makin Ungu, Kurnia Effendi)

 

 

 

Thursday, January 25, 2007

Gerimis Februari

GERIMIS turun lagi. Seperti percik air mata bidadari. Melompat di antara sela daunan. Terpelanting dari ujung genting. Terbanting di rumputan. Di aspal jalan. Di tanah dan kerikil. Di rambut para pejalan kaki. Membasahi sepatu. Perlahan-lahan membasahi sebagian kota Bandung.

            Adit berjalan cepat. Ia menutup kepalanya dengan tas. Gerimis membuatnya cemas. Ia tak ingin terlambat. Saat seperti ini, Jalan Ganesha terasa begitu panjang. Pohon-pohon mahoni tua, hanya sebentar menahan tetesan air. Daun-daun ramping itu menggulirkan butir gerimis. Mengikuti langkahnya yang tergesa.

Rara!” seru Adit. Pada panggilan ketiga, Rara menoleh. Ketika itu, hampir saja Rara naik ke angkutan kota yang menepi oleh lambaian tangannya. “Tunggu!”

Adit menemukan wajah Rara yang murung. Mirip langit mendung. Bibir indahnya tetap terkatup. Ada yang tak beres, pikir Adit. “Kenapa tidak menunggu di Columbia?”

Rara menggeleng. “Aku harus pulang ke Jakarta.”

Kening Adit mengernyit. “Ada apa? Hari Senin masih ada ujian mid semester, kan?”

“Ayahku sakit,” jawab Rara pendek. Matanya merebak basah.

Di rumah atau di rumah sakit?”

Rara menimang-nimang telepon selularnya. Di rumah, sih.”

Adit menarik nafas lega. Setidaknya lebih terasa menenteramkan dibanding jika harus rawat inap. Tapi, apakah Rara akan mengorbankan satu mata kuliah terakhir?

“Mau kuantar ke Jakarta?”

….

STASIUN Bandung memberikan bayangan-bayangan memanjang ke timur. Matahari senja memasuki rongga peron, terpantul di atas licin rel. Mata Adit menyipit oleh silau surya senja. Begitu lekas gerimis terusir. Meninggalkan selapis pelangi.

Maka sore ini perasaan Rara tidak terlalu diliput mendung. Ada teman perjalanan yang pasti sangat menyenangkan. Waktu pun melayang seperti putaran gasing, tak terasa mereka telah melampaui tiga setengah jam jarak BandungJakarta. Sebentar saja tiba di stasiun Jatinegara. Di dalam taksi menuju rumah Rara, jemari tangan mereka saling bertaut. Itu cara Rara menambah kekuatan hati. Dalam sedih, dalam lara, dalam kemurungan oleh persoalan apa pun, Rara menemukan kekuatan dari genggaman jemari Adit. Tak hanya rasa hangat, tapi juga perlindungan.

 

(Petikan dari cerita Gerimis Februari, Kurnia Effendi)

 

 

Angsa Putih

            PATUNG porselen sebesar dua genggaman itu kuberi nama Angsa Putih. Ia memang miniatur seekor angsa yang cantik, dengan seluruh permukaan bulu berwarna putih kemilau. Matanya jernih dan menjanjikan kesetiaan. Seolah-olah hidup, sehingga sering aku terbujuk melakukan hal-hal sinting, misalnya: mengajaknya bicara. Beribu cerita kuciptakan bersamanya di atas tempat tidur, sebelum mataku benar-benar terpejam. Dan kini..., lihatlah angsa putihku!

            Sekarang, apa lagi yang mesti kusimpan? Sesudah kamu menghilang dan almanak telah berganti lebih dari dua belas purnama, aku semakin kehilangan jejak. Surat-suratmu yang berharga selalu kamu tulis amat pendek, terasa sekali sebagai berita yang langka. Dan setahun terakhir ini tak ada apa-apa lagi kecuali patung angsa putih pemberianmu yang kini telah remuk. Apakah dengan demikian aku masih pantas berharap?

            "Cinta lebih sering menyakitkan," katamu, dua tahun lalu. "Aku hampir tak percaya lagi."

            "Aku belum bisa menilai apa-apa tentang cinta."

            "Kamu masih terlalu muda…"

            "Kukira bukan itu masalahnya." Aku membuka dompet, memberikan Surat Ijin Mengemudi kepadamu. "Sudah dua puluh satu."

            Kamu memandangku setelah mengamati pasfotoku. "Kamu belum pernah jatuh cinta?"

            "Mungkin pernah. Tapi sudah lama lewat. Aku masih remaja, ketika itu. Apakah itu cinta, aku sendiri kurang yakin."

            "Sampai saat ini kamu memikirkannya?"

            Siapa?”

            Pemuda itu.”

            "Tidak lagi."

            "Kenapa?"

            "Dia pindah sekolah setelah kami saling dekat."

            "Kamu bisa menulis surat, atau e-mail, bukan?"

            "Tanpa tahu alamatnya?"

            Kamu menarik napas dalam-dalam. "Tentunya kamu berduka sesudah dia pergi."

            "Ya," sahutku jujur. "Tapi aku menyimpan sesuatu. Lukisan angsa. Pemberiannya, ketika aku ulang tahun."

 

(Dipetik dari cerita Angsa Putih, Kurnia Effendi)

 

 

Wednesday, January 24, 2007

Rumah

MUNGKIN cerita ini sudah sering kita dengar. Biasanya menjadi ilustrasi ketika seorang motivator menyampaikan materi di depan para peserta seminar. Kadang-kadang kita mendapatkan melalui internet. Tetapi saya mendengarnya justru pada siaran radio pagi, untuk menandai perpindahan acara, tepat pukul tujuh. Pada saat yang sama, saya baru saja menurunkan anak-anak saya di depan sekolah mereka. Mobil kehilangan celoteh kakak-beradik itu, tinggal saya melanjutkan perjalanan ke kantor, melalui serangkaian kemacetan di beberapa tempat. Ah, Jakarta memang demikian.

Suara bariton yang sedap didengar, karena intonasinya menunjukkan sikap optimis, mengisi ruangan kabin mobil. Dengan bahasa saya sendiri, kira-kira demikian ceritanya:

Akhirnya pemuda anak tukang kayu itu menikah dengan seorang puteri pemilik pabrik. Sebuah pesta bernuansa mewah disiapkan, menunjukkan betapa saudagar itu memiliki harta yang berlimpah. Keluarga tukang kayu itu tentu seperti naik pangkat dengan mendadak. Cinta memang tumbuh di pelbagai tempat dan tidak membedakan si kaya dan si miskin.

“Seusai perhelatan, ayah sang perempuan bicara kepada menantunya yang mulai merintis karirnya sebagai anemer otodidak. Ia ingin dibuatkan sebuah rumah terbaik dan kuat yang dapat dibangun oleh kemampuan sang menantu. Ia minta bangunannya menggunakan bahan terbaik dan dipilih tenaga kerja yang andal untuk mewujudkannya. Ia ingin melihat sejauh mana keahlian menantu pilihan puterinya itu.

“Syahdan, pemuda yang telah menjadi suami bagi anaknya itu dengan gembira menyanggupi, seiring dengan merasuknya pikiran untuk melakukan trik demi mendapatkan keuntungan pribadi. Kapan memperoleh kesempatan emas seperti ini? Tak akan datang dua kali, bukan? Segera dibuat rancangan yang tampak spektakuler. Disusunlah anggaran yang luar biasa besar sebagai pertanda menggunakan bahan berkualitas unggul. Setelah seluruh proposal itu disetujui, mulailah lelaki muda itu bekerja. Lantas dia menunjuk sejumlah orang yang bisa diajak kongkalikong.

“Dengan mengganti semua material turun ke kelas tiga, banyak dana yang dapat ia lipat sebagai keuntungan. Dengan seluruh tukang yang bersedia melakukan kecurangan, rumah itu jadi dalam waktu yang lebih lekas dari jadwal. Rumah itu tampak megah meskipun dibangun dengan konstruksi yang rapuh. Penampilannya tampak menawan meskipun terbuat dari bahan-bahan murahan. Setelah melengkapi dengan pernak-pernik untuk mengelabui kelemahan struktur, tibalah saat ia menyerahkan hasil karyanya kepada sang mertua.

Seraya tersenyum arif, bapak yang dermawan itu menepuk-nepuk bahu menantunya dengan bangga. Selamat, katanya, kini aku ingin membuka rahasia. Rumah yang indah dan kuat ini, yang kaubangun dengan bahan-bahan terbaik, oleh tukang-tukang terbaik pula, kuberikan kepada kalian sebagai hadiah perkawinan. Tinggallah di dalamnya dengan tenteram dan semoga kalian menikmati hasil karya terbaik ini.”

Saya, yang mendengar kisah itu dan kini menceritakannya kepada anda, sempat tercengang. Apalagi sang menantu dalam kisah itu, tentu lebih terpana. Siapa menduga bahwa rumah pesanan itu akan diberikan kepadanya? Siapa menduga?

Duduk tercenung dalam rumah yang mengkhawatirkan, karena sewaktu-waktu akan rubuh oleh angin kencang atau getaran gempa, lelaki muda itu menyesal. Ia tak akan berterus-terang kepada isterinya, apalagi kepada mertuanya, tentangprestasi” yang telah dia lakukan, sampai saatnya yang tepat. Pertanyaannya adalah: Kapan tiba waktu yang dianggap tepat? Mungkin ketika ia terkubur oleh reruntuhan kecerobohan dan kecurangannya sendiri.

Sambil menyelesaikan sisa jarak menuju kantor, diam-diam saya menarik pelajaran dari kisah itu. Dan saya tak ingin memilikinya sendiri.

 

(Kurnia Effendi, untuk Jeda PARLE).  

 

Monday, January 15, 2007

Raksasa

Ada raksasa dalam dirimu, kata Anthony Robin. Mungkin ia tertidur. Mungkin sudah terjaga tapi tidak bangkit dan bekerja. Mulanya kita bergidik. Bagaimana mungkin dalam tubuh serapuh ini, dalam usia serenta ini, bermukim seorang (atau seekor) raksasa?

Siapakah raksasa itu? Kemauanmu! Ambisimu! Keinginanmu untuk berubah! Cita-cita untuk menjadi yang terbaik dibanding orang lain. Raksasa yang siap membuat dirimu berarti bagi kehidupan. Raksasa yang bersedia terjun dalam kancah kompetisi.

Untuk membangunkan raksasa itu, tidak ada cara lain kecuali meninggalkan sesuatu yang biasa-biasa saja menuju yang luar biasa. Mungkin saat ini kita sedang merasa nyaman, merasa pada posisi yang aman. Seterusnya kita terlena dengan kenyamanan itu, sementara di luar sana orang lain berlomba mendaki lebih tinggi. Ketika suatu saat bertemu dengan mereka yang lebih sukses, kita sudah jauh ketinggalan.

Apakah salah bila kita merasa nyaman dan aman pada saat ini? Tentu tidak salah. Hanya agak mengingkari sifat manusia yang sesungguhnya tak pernah puas. Apakah ketika telah menjadi pemain sinetron, Happy Salma berhenti bercita-cita? Ia sadar betul bahwa usia profesi peran tidak pernah langgeng, sehingga harus ada kemungkinan lain untuk menjaga pendapatan hari tuanya. Apakah setelah menjadi pelawak, Mi’ing Bagito merasa itu puncak kebahagiaannya? Tidak juga. Ia terus menggali ilmu dan melebarkan sayap keahliannya di bidang-bidang lain. Semua itu tidak lepas dari raksasa yang menggeliat dalam dirinya.

Cobalah bangun pagi sedini mungkin, minum air putih sebanyak mungkin, menghirup udara subuh sepuas mungkin. Pernah pada ujung dinihari kami meluncur dari bukit Ciater menuju Jakarta. Berharap menemukan berderet-deret kedai nenas untuk membelinya sebagai oleh-oleh. Dan ternyata, hanya yang terjaga lebih pagi yang mendapat rejeki. Satu-satunya kios yang buka subuh itu kami serbu dagangannya.

Cobalah menghadap ke arah cermin: adakah tergambar muka yang bersemangat dengan rekah senyum, atau sebuah paras layu yang tak seorang pun akan tergoda untuk memandang? Tariklah bibir menjadi senyum, biarkan raksasa dalam dirimu mengaum lalu ikrarkan sesuatu yang membuatmu ingin segera melompat ke luar rumah untuk menjemput sesuatu.

Jangan biarkan raksasa dalam diri kita hanya berguna di saat kita terserang takut. Ketika kerusuhan 1998 meletus, seorang kepala mekanik di suatu bengkel Cempaka Putih, sanggup melompati sebuah pagar besi yang tinggi demi menyelamatkan diri. Seorang nenek mungkin mampu mengangkat kulkas dari rumahnya yang terbakar.

Mario Teguh memberi tahu kita bahwa dalam setiap manusia ada semacam siklus berkala untuk melakukan revolusi. Umumnya tiga tahun sekali. Tetapi bagi manusia yang ingin berbeda dengan yang lain, yang selalu ingin berubah menuju keberhasilan berikutnya, tak sabar menunggu yang tiga tahun itu. Setiap individu seseungguhnya sedang membawa dinamit atau petasannya masing-masing. Api akan datang secara alamiah, dalam sebuah siklus. Tapi ada segelintir orang yang begitu giat mencari api agar dinamit atau petasannya segera meledak. Ledakan itu, sesaat membikin kita tidak nyaman, namun membuka seluruh kemungkinan: jalan bercabang, jendela yang lebih luas, cahaya lebih terang, tantangan yang lebih menegangkan. Ada apa di ujung sana? Tergantung bagaimana kita memilihnya. Dengan ledakan itu, seorang (atau seekor) raksasa dalam diri kita dibangunkan!

Saya selalu iri pada orang-orang yang gairahnya tak pernah padam. Saya selalu ingin belajar dari Anthony Robin, Robert Kyosaki, Yusuf Mansur, James Gwee, Tung Desem Waringin, Reza Syarif, Edward Linggar, Mario Teguh, Krishna Murti, Gde Prama... untuk mencapai setiap kesuksesan yang menjadi impian. Rasa syukur yang diimplementasikan dengan cara mendapatkan ilmu lebih banyak, membagikannya, mencari lagi, membagikannya, tentu tak melawan maksud Tuhan.

Andaikata raksasa dalam diri saya dapat dibangunkan, bangkit dan mengaum, mungkin saya akan menjadi penulis yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain setiap saat. Untuk itu, besok saya akan bangun lebih pagi. Besok saya akan memandang raut muka sendiri di depan cermin: adakah senyum penuh semangat di sana?

 (Kurnia Effendi, untuk kolem Jeda tabloid Parle)