Thursday, August 31, 2006

Selamat Jalan Imelda

Malam ini (30 Agustus 2006) adalah malam perpisahan Imelda Muhidin. Seorang Manager dengan tugas terakhir sebagai Koordinator Representatif Sales Area Jabotabek, telah mengabdi di Suzuki Mobil sepanjang 16 tahun. Memulai karir sebagai Fleet Sales yang bernaung dalam Sales Goverment Department, Imelda pernah menjadi Kepala Cabang outlet Suzuki di MT Haryono, menyiapkan operasional Suzuki Dewi Sartika, dan Kepala Cabang Suzuki Pondok Indah.

 

Ketika aku ditanya oleh seorang dokumentator acara, dalam sebuah funny-interview menjelang Farewell Party, kusampaikan: ”Imelda bagi saya adalah inspirasi. Di saat kepala saya blank, ide-ide buntu, dengan melihat senyum Imelda, gagasan begitu deras mengalir ke dalam pikiran. Karena itu, dalam meeting, saya tidak pernah duduk di sebelah Imelda, melainkan di seberangnya, agar tetap bisa menikmati senyumnya yang selalu segar.”

 

Ketika aku diminta oleh master of ceremony untuk menyampaikan ‘kado’, aku tak punya souvenir lain kecuali sebuah puisi. Lalu sedikit kuberi pengantar seperti ini:

”Setiap tanggal 21 Desember, saya akan membuka komputer dengan sebuah semangat. Saya pejamkan mata sebelum mulai menulis ucapan ulang tahun buat Imelda. Sekali waktu saya membayangkan sebuah padang rumput savanah yang luas menghijau sejauh pandangan mata. Lalu ada ilalang meruncing tinggi di tengah-tengahnya. Itulah Imelda, dengan kembang rumput putih kelabu, indah namun sederhana. Di waktu lain, saya menemukan lautan yang membentang biru. Imelda bukanlah gulungan ombak besar. Ia perumpaan riak kecil yang selalu menciumi bibir-bibir pantai. Demikianlah, lalu saya menulis kata pertama puisi untuk hadiah ulangtahunnya, yang saya kirim melalui email.

 

Malam ini saya ingin mengingatkan, bahwa sekitar dua tahun yang lalu, Imelda pernah mengaku menangis membaca salah satu cerita saya, yang berjudul ‘Aku Mulai Mencintaimu’ (dari buku ‘Bercinta di Bawah Bulan’). Agar Imelda tak lupa pada saya, dan Imelda tetap melekat di hati saya, puisi yang akan saya bacakan, adalah untuk mengenang kenangan. Saya mulai dari kata pertama dalam cerita pendek itu:

 

 

Kepergianku ini justru karena aku mulai mencintaimu.

 

 

Sahabat semua, ini langkah yang sungguh berat

Saat seluruh perasaan tertanam semakin erat

Tapi, percayalah, aku hanyalah bagian dari yang sementara

Meski selalu berharap untuk tidak pernah terlupa

 

Bertahun sudah kita lewati bersama

Perjalanan yang penuh tanya untuk saling memberi warna

Kita ternyata belajar melalui jatuh-bangun perasaan

Tak ada yang sungguh sempurna, sebagai kesetiaan

 

Beribu hari kita mencari

Tempat untuk tegak berdiri

Namun beribu kali kita tergoda

Untuk saling berburuk sangka

 

Kepergianku ini justru karena aku mulai mencintaimu

Dalam tawa kita, tentu ada haru-biru

Dalam rasa kehilangan itu, cahaya harapan tampak di mataku

Ah, tak ada yang keliru kecuali permainan ruang dan waktu

 

Satu hal yang sangat kuhindari adalah memperlihatkan air mata

Karena kita tak pernah sungguh berpisah

Selalu ada cara untuk tetap bersama, di mana dan kapan saja

Karena kita tak pernah sungguh-sungguh berpisah

 

Aku kan minta maaf untuk semua khilaf

Aku kan mohon doa untuk seluruh cita-cita

Aku kan ucapkan terima kasih untuk tahun-tahun indah

Percayalah, kepergianku ini karena aku mulai mencintaimu

 

 

Jakarta, 30 Agustus 2006

 

 

Selamat jalan, Imelda. Menyongsong tugas baru di Audi. Semoga jarak tidak pernah menjadi alasan untuk saling melupakan.

 

Kurnia Effendi

 

 

 

 

 

Embun Terik Hari

PERCAYA atau tidak, kita sedang memasuki tahun-tahun kerja keras. PARLE yang menggenapi dirinya menjadi satu tahun dalam penerbitan telah menjadi saksi pelbagai peristiwa di tanah air. Namun kita tahu, akhir-akhir ini negeri kita tercinta selalu dirundung malang, Seolah tak putus bencana alam menghampiri, seolah tak henti krisis menghadiri kondisi ekonomi.

Seperti baru kemarin kita dicemaskan krisis dan isu pasar bebas. Kita terseret waktu dan tahu-tahu telah berada pada posisi harus memutuskan. Justru dalam kepungan problematik yang – entah kenapasaling tumpang-tindih, overlapping. Lalu kita teringat ketika kecil dulu, betapa satu masalah sanggup menyebabkan kita sulit tidur atau dihimpit perasaan khawatir. Hanya karena lupa mengerjakan PR, misalnya, atau kalah bermain kelereng,…

Dengan mencoba menarik jarak, berdiri di titik posisi kita sekarang, memandang ilusi masa kanak-kanak, semua itu akan terasa lucu dan sepele. Dahulu, ada keinginan (mustahil untuk) segera secara instant menjadi dewasa. Dengan harapan, setelah lewat akil balig, tak ada masalah yang berani mampir, karena kita cukup pandai mengatasinya. Apakah kemudian terbukti benar demikian?

          Ujian tidak berhenti di sana. Tidak menepi ketika langkah kita semakin lebar. Justru sebaliknya: ia menghadang setiap kali kita melintas dan bermaksud mencapai harapan. Percaya atau tidak, sudah ribuan kali pikiran kita terperas keras, tenaga kita terpilin tandas, perasaan kita leleh tersadap. Untuk apa? Mungkinkah itu yang disebut survive dalam arti luas? Kita, juga mereka, yang betul-betul merasakan hidup, adalah yang menjalani semua pengalaman ini: bertemu jalan buntu, kehilangan tempat mengadu, dilukai teman sejawat, berlomba dengan waktu yang kritis, terhina dan tersisihkan, kesepian di tengah keramaian, gagal dalam target, mati langkah

          Di saat seperti itu, apa pun tampak gelap. Minat paling besar dalam diri kita hanyalah: lari dari kenyataan. Dan percaya atau tidak, lari yang paling indah seharusnya adalah menuju sumber cahaya. Kita ternyata memang bukan siapa-siapa. Karena ada yang paling berhak memiliki kita, Sang Pencipta.

SERING kali, dalam hidup sehari-hari, kita menghadapi sebuah paradoks. Ketika slogan masyarakat kita mengagungkan kepribadian Indonesia sebagai bangsa yang santun, ada penyanyi kita yang begitu tergila-gila ingin seperti Britney Spears. Tatkala cita-cita damai ditulis besar-besar pada spanduk di jalan raya, ternyata bom meledak dengan ratusan jiwa melayang. Kita demikian paham, betapa rokok bukan solusi untuk hidup sehat, akan tetapi justru menjadi investor terbesar dalam setiap perayaan olahraga. Asuransi jiwa memberikan rasa tenteram justru kepada ahli waris yang berduka karena sewaktu-waktu kita tinggalkan. Melahirkan bayi dan mengasuhnya tentu merepotkan secara fisik, namun menumbuhkan bunga-bunga kebahagiaan. Sebuah paradoks bisa kita ibaratkan sebagai tetes embun di tengah terik hari.

          Pada sebuah pelatihan kreativitas, ada satu babak pelajaran yang membicarakan mengenai sebuah pertentangan sifat. Semoga kita tidak menerimanya sebagai ambiguitas, melainkan sebagai paradoks yang melahirkan sinergi. Dispenser air mineral, bisa jadi berasal dari gagasan menggabungkan dua hal yang berlawanan: air panas dan air dingin dari satu tabung. Bukan tidak mungkin, tampilnya sebuah harmoni, berawal dari dua bagian yang berbeda. Seperti pasangan-pasangan di sekitar kita. Siang dan malam, lembut dan keras, terang dan gelap. Sesekali kita menjadi si tajam, lain kali menjadi si tumpul. Mungkin saja kita adalah biru, dan mereka kuning, sehingga lahir rona hijau.

          Jauh lebih sederhana dari segala kata-kata, apa pun yang kelak tampak berbeda, pasti bukan bermaksud membongkar yang tersembunyikan. Karena sesungguhnya, proses mengenal tak pernah selesai, seperti hausnya rasa ingin tahu kita. Proses menyesuaikan diri selalu butuh waktu. Percaya atau tidak, setiap hambatan yang menyongsong, sebaiknya dipandang dengan mata yang positif. Dengan demikian kita menuai pengalaman berharga saat mencari solusi. Mungkin dengan piranti keuletan, pantang putus asa, team work, dan kesediaan menerima masukan. Agar setiap langkah sukses, sekecil apa pun, selalu menjadi tetes embun yang sejuk pada terik surya tengah hari.

 

***

 

Kurnia Effendi – untuk kolom JEDA tabloid PARLE, edisi Senin 4 September 2006

 

 

 

 

 

 

 

Friday, August 25, 2006

C A N D U

SEGALA sesuatu yang membuat kita merasa ketagihan dan menyebabkan ketergantungan adalahcandu’. Oleh karena itu, ‘canduacap dijadikansenjatauntuk melumpuhkan.

Candu adalah sebuah nama untuk pelbagai jenis narkotika. Zat yang semula bertujuan untuk menahan rasa sakit, mengalihkan pikiran dari penderitaan, telah menciptakan dunia baru: meninggalkan kenyataan. Ada impian mirip pelangi, warna-warni semu yang dibangun melalui ambang bawah sadar, rangsangan yang memompa khayalan melampaui ukuran.

Namun ternyata kini, yang membuat kita ketagihan bukan semata opium, daun ganja yang dibakar dan dihirup, atau suntikan heroin ke dalam jalan darah. Ia adalah sesuatu yang membuat kita tak beranjak dari tempat duduk. Sesuatu yang sangat kita hafal jadwalnya, dan menumbuhkan disiplin baru, agar tidak ketinggalan barang semenit. Sebuah materi yang seolah lebih berharga ketimbang isi dokumen kantor, atau bahan kuliah esok pagi. Apa lagi jika bukan infotainment?

Dengan aneka ragam nama acara, infotainment di televisi hadir ke rumah kita rata-rata sehari tiga kali. Menjelang sarapan pagi, saat matahari sepenggalah, atau selepas Ashar. Informasi terkini mengenai pribadi public figure menjadi bahan percakapan yang – oleh situasi serba gegasserasa tak boleh ketinggalan dibanding rekan lain. Seolahtabuapabila teman sejawat dalam lift, menyampaikan kabar terbaru tentang artis A, sementara kita luput menyimak beritanya. Ke mana saja kamu?” Kuping sejenak memerah oleh celetukan itu, saat tatapan mata kita kosong informasi. Beredar, dong!”

Begitu pintar sang narator dan presenter mengaduk rasa penasaran penonton. Dengan nada sinis, teks yang mereka baca mengarah pada ungkapan provokasi: “Tega-teganya dia melakukan hal itu…” atauSiapa sih yang tidak berang bila pasangannya selingkuh…” atauDia bilang sih hanya teman biasa, tapi hati orang siapa tahu?”. Terdengar sepele, seperti diucapkan sambil lalu, bagai angin semilir yang bertiup dari padang ilalang saat senja, tapi apa yang terjadi selanjutnya? Ada aksi tentu timbul reaksi. Pernyataan awal akan memicu komentar yang melawan. Dugaan yang tergesa akan mengundang balasan yang sengit.

Setidaknya, melalui infotainment kita pernah mendengar kasus Gusti Randa dan isterinya Nia Paramita yang melibatkan tokoh partai, pertikaian Kiki Fatmala dengan sang ibu, perkara Dewi Persik dengan suaminya, membongkar hubungan pribadi Rhoma Irama dengan Angel, atau seteru Ahmad Dhani dengan ayahnya terkait Mulan Kwok. Percayakah kita pada pemberitaan itu? Atau sebaliknya: masihkah kita tidak percaya dengan gambar hidup yang menampilkan emosi wajah dan tegangnya kata-kata yang diucapkan di depan kamera?

Hidup mereka, para selebriti itu, ibarat sebuah akuarium. Setiap orang dapat memandang tembus ke dalam, menjenguk segala yang terjadi, secara detil dan privat. Mungkin akan sangat membanggakan, andaikata yang diangkat ke hadapan publik adalah prestasi mereka, kegiatan sosial dan budaya yang positif, keteladanan yang patut ditiru. Sesuatu yang tak hanya mengangkat nama keluarga, namun juga bangsa. Celakanya, yang berpihak justru centang-perenang nasib perkawinan mereka, keretakan hubungan antara sang bintang dengan orang tuanya, kasus narkoba

 

***

 

PERNAHKAH kita mencoba untuk hidup sehari saja tanpa televisi? Rasanya ujian yang kelewat berat, mirip puasa untuk menahan hawa nafsu.

Memang jauh berbeda materi yang ditayangkan oleh televisi hari ini dibanding saat awal kehadirannya di tahun enam puluhan. Dulu, televisi adalah teknologi sekaligus budaya baru yang masih bersifat menara gading. Ketika Kris Biantoro menyajikan kuis atau S Bagyo dan ketiga rekannya melawak, sejak jauh hari telah diumumkan acaranya. Kita akan menunggu peristiwa itu. Dan setelah menonton, akan menjadi kenangan yang awet. Tampil di televisi merupakan peristiwa bersejarah. Lagi pula, hanya untuk orang-orang terpilih. Dan saat pengambilan gambar (belum zamannya melakukan siaran langsung), mengutamakan perilaku santun untuk tontonan publik yang luas.

Ketika stasiun televisi membiak, masing-masing perancang program adu kreativitas. Kepala mereka dituntut untuk menciptakan gagasan-gagasan baru mengenai tayangan. Lantas lahir model penyiaran dengan dialog interaktif. Bahkan selanjutnya, urusan remeh-temeh begitu mudahnya tersaji di televisi. Percandaan yang melepaskan batas-batas formalitas sebuah kerangka tontonan, terasa lebih atraktif dibanding radio. Di layar kaca, tak hanya terdengar suara, melainkan juga paras muka dan tampilnya warna-warna dan fashion.

Seiring dengan berkembangnya iklim demokrasi, keterbukaan berlangsung di mana-mana. Entah bagaimana prosesnya, kini seperti menjadi konvensi, bahwa kehidupan para bintang bagian dari hak khalayak untuk mengetahuinya. Seolah-olah itu menjadi kepentingan umum. Dan karena rating (ukuranmutubagi acara televisi) selalu tinggi untuk tayangan infotainment, mereka berlomba mengemas berita yang sensasional.

          Serupa kisah bersambung yang selalu menerbitkan rasa penasaran, infotainment membangun rasa ketagihan itu. Infotainment, perlahan-lahan namun pasti menjadi semacam candu. Untuk sembuh dari pengaruh candu, tentu bukan perkara mudah. Sangat dibutuhkan kesadaran kedua belah pihak: penonton dan penyaji infotainment.

Sebagai penonton (atau penggemar) infotainment, mari belajar membayangkan kisah ini: Kita adalah seorang artis yang sedang naik daun. Oleh kesalahpahaman, sedikit bersitegang dengan pasangan kita. Hal itu tercium oleh wartawan. Mata pena mereka yang tajam segera mengorek orang-orang terdekat kita, hingga ditemukan mantan kekasih masing-masing.  Dari pihak-pihak ketiga itulah wartawan mengembangkan spekulasi cerita. Lantas kita pun terpancing untuk mengomentari ungkapan para mantan itudan seterusnya.

Pertanyaannya adalah: nyamankah perasaan kita? Padahal kita tahu, bahwa kebohongan yang diucapkan seribu kali, akan menjadikebenaran’. Dengan demikian, kapan kita mulai melepaskan diri dari aroma candu itu?

 

(Kurnia Effendi. Kolom JEDA tabloid PARLE  edisi 51)

 

 

 

 

 

 

 

 

Friday, August 18, 2006

Membaca dan Menulis

 

bung kef, maukah memberiku sebuah kalimat saja yang sedikit memberi semangat.--  teu pede wae euy mau nulis.

sepotong berhenti, sepotong nggak diterusin..

 

makasih,

dhenok

 

 

 

Dhenok,

Ini pengalamanku yang kemudian kujadikan pernyataan, semoga membuatmu tak ingin berhenti (dan selalu disiplin) menulis:

 

Membaca adalah 50% dari kebahagiaanku, sedangkan menulis telah melengkapi kebahagiaanku menjadi 100%”

 

Banyak orang punya waktu tersia untuk kegiatan yang tidak menghasilkan ilmu, padahal hanya dengan membaca kita bisasekolahsambil ngopi, menunggu panggilan dokter, berbaring menjelang tidur, membunuh waktu perjalanan yang membosankan, bahkan (maaf) saat kita berada di toilet. Andai semua manusia Indonesia, yang sekolah maupun telah berhenti sekolah tetap getol membaca, Insya Allah, Taufiq Ismail akan bicara lain. Karena menurut penelitian beliau, di antara warganegara Asean yang lain saja, masyarakat kita (Indonesia) paling malas membaca. Sehingga dalam perhitungan statistika, hanya sekitar 1 novel rata-rata dibaca oleh orang Indonesia dalam setahun. Dengan demikian,  wajar jika orang-orang di luar sana (Jepang, Amerika, Eropa) ‘sedikitlebih pintar ketimbang kita. Dengan demikian juga, bagaimana mungkin anak bangsa Indonesia akan mulai menulis? Membaca saja susah, tentu tak terpikir untuk menulis yang berarti akan dibaca oleh orang lain.

Setelah membaca, setelah menyerap segala ilmu (yang buruk menjadi referensi untuk tidak digunakan, sedangkan yang baik harus dikembangbiakkan), bolehlah dinikmati sendiri. Akan tetapi, tentu lebih baik jika kita tuangkan kembali dengan pelbagai nilai tambah dari benak kita sendiri, berdasarkan gagasan murni atau pengalaman hidup yang kaya ini, menjadi tulisan baru. Seperti kata Goenawan Mohamad, menanggapi tafsir yang disampaikan oleh Haidar Bagir atas Catatan Pinggir, bahwa tafsir terhadap karya adalah sebuah karya tersendiri.

Jadi, alangkah berharga dan terpujinya andaikata segala yang kita serap dari banyak buku atau peristiwa (membaca kan bukan hanya terhadap teks?), kita tuliskan sebagai karya baru: ‘anak-anakintelektual yang bernurani. Demi untukpencerahanpembacanya. Minimal, pembaca itu adalah diri kita sendiri juga, sebelum banyak orang turut membuka mata.

Nah, Dhenok Hastuti, aku dikenal sebagai penimbun buku. Banyak beli (dan diberi) buku, tetapi tidak selalu tuntas membaca. Ini  memang persoalan lain. Jam kerjaku di kantor, ditambah dengan perjalanan sehari-hari dari rumah ke kantor untuk kondisi Jakarta, akan menyita minimal 10 jam. Andai ada rapat yang melanggarkesejahteraan karyawandalam hal waktu, ya bakalan lebih. Sisanya tentu dibagi amat tidak merata untuk keluarga dan kegiatan pribadi yang lain, serta hal-hal yang membuat kita mengeluh: misalnya keran kamar mandi rusak, gambar televisi berbintik rapat, alarm mobil bermasalah, banyak tikus yang harus dibasmi, dsb. Jadi, aku akan membaca berdasarkan prioritas: untuk materi makalah diskusi, untuk sebuah resensi, atau yang akan diperbincangkan pada pertemuan sastra terbatas. Oleh karena itu, buku-bukuku bertebaran di mana-mana dengan pembatas yang terletak di halaman awal atau tengah. Di mana-mana ada buku: laci kantor, jok mobil, kamar tidur, rak buku (tentu), dekat ruang makan, sebelah komputer, di sofa tamu

Lantas kapan menulisnya jika membaca saja waktunya begitu memprihatinkan? Mungkin dikau dan juga teman-teman perlu tahu, bahwa andaikata aku punya waktu senggang 4 jam (sebuah kekayaan luar biasa), akan kubagi untuk membaca dan menulis masing-masing dua jam. Tetapi kalau hanya memiliki 2 jam saja, aku akan menggunakannya untuk menulis. (Terdengar pilih kasih, ya?). Itulah yang secara tanpa disadari kulakukan.

Kenyataannya, jarang sekali bisa bermewah-mewah seperti itu. Karena itu aku menyiasati dengan sedikit menyiksa diri: beranjak tidur lebih akhir. Sejak pukul 22an aku mulai menyalakan komputer dan mungkin menutupnya lagi saat kelopak mata memberat, sekitar 00.30an. Atau saat datang kepagian di kantor (karena wajib mengantar anak ke sekolah sebelum pukul 7 pagi). Menulis di kantor barang setengah sampai satu jam, kadang-kadang melahirkan satu kolom yang tiba deadline, atau awal sebuah cerpen. Nah, membaca akan kulakukan di saat jauh dari komputer atau ketika ditugaskan ke luar kota,

Mudah-mudahan, dengan sedikit membuka rahasia di atas, Dhenok dan teman-teman lain akan termotivasi untuk: MENULIS. Jangan berhenti menulis selagi sempat. Apalagi ketika kepala dan benak telah dipenuhi banyak gagasan untuk dituangkan. Jadikan menulis seperti kita ngobrol dengan kawan, sebuah kebutuhan yang tak tersadari dan dilakukan dengan ringan.

 

Salam,

Kef