Friday, April 27, 2007

Eksotisme Lokal sebagai Kekuatan Novel

EKSOTISME selalu menjadi daya tarik tersendiri untuk dinikmati (dilihat, dirasakan, dihayati), juga untuk digarap. Kita acapkali memandang dengan nilai lebih pada karya-karya seni yang mengusung unsur eksotisme. Umumnya, unsur-unsur unik seperti itu menjadi kekuatan yang ditonjolkan oleh para kreator di jalur indie (independent). Sebagai contoh, untuk Indonesia, karya-karya film Garin Nugroho—Puisi yang Tak Terkuburkan dan Opera Jawa—adalah film-film dengan nuansa eksotisme. Demikian pula dengan sastra, yang kerap disebut sebagai induk dari film dan seni peran, akan memiliki posisi tersendiri ketika mengangkat nilai-nilai eksotisme. Lalu, apakah eksotisme itu?

            Boleh jadi saya keliru memaknai eksotisme, karena jika sepintas dilihat dalam kamus, berarti sesuatu yang datang dari luar negeri, istimewa, ganjil, asing. Dengan pengertian lain, sebaliknya, orang asing (luar Indonesia) akan melihat keganjilan yang berasal dari Indonesia sebagai hal unik dan eksotik. Materi yang mengandung keunikan itu biasanya diambil dari khazanah tradisional, dan bagi tlatah Nusantara, kita sangat mudah menemukannya karena begitu banyak suku bangsa yang masing-masing memiliki tradisi berbeda satu sama lain.

            Ketika kita menyaksikan ritual sekte voo-doo atau upacara-upacara suku Indian dalam film Amerika, terasa ada nuansa unik karena perilaku ganjil yang disuguhkan. Begitu sebaliknya, upacara Ngaben di Bali menjadi kegiatan yang sangat menarik bagi turis mancanegara. Namun, justru oleh keanekaragaman budaya suku-suku di Indonesia, antara satu tradisi dengan tradisi yang lain saling memukau. Barangkali, bagi orang yang berasal dari Jawa seperti saya tetap akan melihat sisi eksotisme dari kehidupan tradisional Aceh (dengan akar budaya Islam) atau Bali (dengan akar budaya Hindu).  

            Saya kira, novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira dapat diposisikan sebagai karya sastra yang mengandung unsur eksotisme. Seperti halnya trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya masterpiece Ahmad Tohari, Sintren juga menggali realitas yang terjadi di tengah masyarakat Jawa Tengah (dalam hal ini Batang, tanah kelahiran pengarangnya) dengan mengambil tradisi yang paling menarik perhatian. Melalui novel Sintren, Widya seperti hendak menunjukkan kepada kita, bahwa pernah ada sejarah animisme dalam kehidupan masyarakat Nusantara di masa lalu. Karena Sintren (seperti juga Ronggeng, Tayub, Reog, Debus, Cokek, dan sejenisnya) tidak semata dikendalikan oleh kekuatan manusia biasa. Di sana ada unsur kesaktian, supranatural, mistis, atau kekuatan yang tak kasat mata.

            Melalui novel ini, Widya tidak hendak membuat disertasi mengenai sintren sebagai subkultur di tanah kelahirannya. Aroma cinta justru lebih kuat menghiasi seluruh kisah yang sangat khas dengan kehidupan pedesaan. Widya menggarap cerita dengan banyak tokoh yang masing-masing memiliki karakter, yang dengan mudah kita temui di wilayah pemukiman pesisir, yang penduduknya rata-rata miskin. Dengan tokoh utama Saraswati yang masih duduk di Sekolah Dasar di awal cerita, yang dipandang sebagai perawan cantik oleh ukuran mata Juragan Wargo dan hendak dilamar untuk Kirman, anaknya semata wayang, menjadi simpul dari untaian kisah panjang yang mengetengahkan friksi antartetangga.

            Cerita ini hidup karena seluruh kejadian berjalan sangat wajar, perpindahan adegannya mengalir dalam urutan waktu. Pembaca seperti terlibat di antara mereka, mendengar langsung naik-turunnya emosi para tokoh yang “dipermainkanoleh setiap kejadian. Hanya dengan “mendengar” percakapan (dan pertengkaran) antara suami-istri, tetangga, anak-ibu, setiap karakter muncul dengan kuat. Konflik demi konflik saling terkait, membangun nasib masing-masing tokoh, terutama Saraswati yang “ditemukan” oleh Mbah Mo dan Larasati untuk menjadi penari sintren, yang seolah menjadi solusi bagi kesulitan ekonomi yang dihadapi keluarganya.

            Hanya dengan pengalaman atau riset yang memadai, novel ini dapat menghadirkan dunia sintren dengan baik. Widya mampu merepresentasikan tradisi itu dengan sejumlah romantisme melalui penyajian yang komunikatif. Kesederhanaan ungkapan Widya justru memberi ruh pada novel ini, dengan tidak lupa mempertahankan idiom-idiom khas orang desa yang tentu akan bergeser makna jika dialihbahasakan. Namun yang terpenting dari novel ini adalah tidak memberikan pendapat mengenai baik-buruk manusia, apalagi yang terkait dengan agama. Antara dunia wadag dan alam halus berlangsung dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika Saraswati menjadi sintren yang tersohor dan tercium seorang wartawan, Yudha, yang gandrung berlarut-larut pada pesona kecantikan dan keluwesannya.

            Dalam novel Sintren, Widya menggambarkan takdir seorang perempuan (Saraswati) dengan begitu kompleks. Cita-citanya untuk sekolah tinggi nyaris kandas ketika orangtuanya menerima lamaran pemuda kaya, yang sesungguhnya hanya didasari hasrat orang tua (dalam hal ini Juragan Wargo dan Surti). Kedengkian tetangga telah membatalkan perkawinan itu. Sementara “tangan” nasib lain menangkapnya menjadi calon sintren, dan seterusnya, sampai pada kehidupan perkawinannya yang membuat para suaminya meninggal. Di pengujung kisah, jika boleh diungkap di sini, peristiwa kematian Saraswati cukup menjelaskan bahwa dunia magis pun tak luput dari  kehendak Tuhan.

***

KEMBALI kepada unsur eksotisme, saya menganggap kekuatan novel ini justru pada keberaniannya mengangkat subkultur sebagai perilaku masyarakat yang mungkin saat ini mulai tidak populer. Ketika para pengarang lain beramai-ramai menggagas dunia hedonisme dengan latar perkotaan yang lebih mencuatkan perilaku seks pada tokoh-tokohnya, Widya menggiring kita ke wilayah yang kini teralienasi.

            Boleh jadi, sebentar lagi sintren, dan sejumlah kesenian tradisonal lainnya lambat-laun akan punah. Tanpa jejak seperti yang dipetakan oleh Widya, kita bakal kehilangan kandungan nilai yang justru pada awalnya menjadi kekayaan Nusantara. Semakin lenyap suara peradaban lokal (digilas oleh arus globalisasi yang ditandai dengan teknologi informasi), akan semakin langka, dan justru itu semakin terasa eksotis ketika kita mencoba mengangkatnya kembali.

            Persoalannya, selalu ada pertentangan yang terjadi menyangkut perbedaan prinsip antara agama (khususnya Islam) dengan seni tradisional yang kerap mengandung ritual yang menghubungkan manusia dengan jin. Kekuatan-kekuatan tak tampak ini sejak nenek-moyang kita memang telah menjadi sandaran yang diandalkan dalam pelbagai kegiatan kehidupan. Oleh karena itu pula, menurut riwayatnya, masuknya Islam ke tanah Jawa pun yang dibawa oleh Walisongo disisipkan melalui seni-seni tradisi, satu di antaranya seni pertunjukan wayang kulit. Risalah Islam pun melebur dalam tembang-tembang Jawa yang dianggap lebih mudah diserap sebagai nilai kehidupan.

            Bagaimana cara mempertahankan sebuah budaya tanpa membawa serta unsur ritualnya memang memiliki kesulitan tersendiri. Kebetulan pula, kesenian tradisi pada sejumlah daerah di Nusantara ini lebih menonjolkan gerakan tubuh. Dari gerakan ini lahir erotisme, yang bermuara pada semacamekstase” yang ditandai dengan memuncaknya hasrat lelaki terhadap objek yang disaksikannya. Hal itu terjadi dalam kesenian ronggeng, tayuban, jaipong, dan tentu saja sintren. Bahkan, ada yang hanya mendengar suaranya saja, seorang lelaki bisa jatuh terpedaya, misalnya ketika kesengsem dengan alunan cengkok tembang seorang sinden. Dampak ini yang pasti akan berbenturan dengan nilai-nilai relijius dalam agama apa pun, terutama Islam. Kiranya ini akan menjadi tugas berat para budayawan untuk mencari jalan tengahnya.

            Dalam novel Sintren, Widya menggambarkan bagaimana proses menjadi sintren itu berlangsung. Setidaknya buku ini memberikan literasi penting bagi pembaca dari wilayah budaya yang berbeda. Cerita yang bermula dari cerpen (ditulis tahun 1998, dan menjadi nominasi lomba cerpen nasional yang diselenggarakan oleh Diknas dan Creatif Writing Institute beberapa tahun berikutnya) ini dikembangkan karena ada endapan memori dalam benak Widya. Sebagai pengarang, ia pernah mewawancara sintren dan orang-orang yang dekat dengan dunia itu. Sebelum menjadi buku, novel ini pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Republika. 

            Terus terang saya iri, sebagai sesama orang Jawa, tapi tidak memiliki penghayatan yang cukup untuk menulis karya yang menjunjung arus tradisi pada batang-tubuhnya. Padahal masa kecil saya habis di Yogya, Tegal, dan Semarang, wilayah yang kaya dengan unsur tradisi, unsur eksotisme. Terima kasih untuk Dianing Widya Yudhistira yang telah memperkaya sekaligus menggugah pikiran kreatif saya. ***

(Kurnia Effendi. Ditulis untuk acara launching novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira di Perpustakaan Daerah Banten, 24 Maret 2007)

 

 

 

   

 

 

 

Tuesday, April 24, 2007

Novel

SEORANG teman sedang menulis novel. Sesungguhnya ia orang yang sibuk, bekerja lebih dari sepuluh jam sehari. Oleh sebab itu, calon novelnya yang pernah dibocorkan dalam perjalanan bersama sekitar enam bulan lalu, belum juga rampung sampai hari ini. Ia, Arya Gunawan, seorang kordinator bidang jurnalistik untuk Unesco Indonesia yang membawahi wilayah Asean, hanya ingin menyampaikan anatomi cinta melalui idiom stasiun kereta api. Di sana, menurutnya, ada sebuah area yang akrab dengan kegembiraan di satu momen dan kesedihan di momen yang lain. Sejumlah orang yang bertemu dan sejumlah orang yang berpisah.

            Di tengah proses penulisannya yang tampak sudah utuh ituia begitu fasih menggambarkan plot novelnyaia justru membaca novel-novel lain. Satu di antara novel yang dilahapnya itu karya Orhan Pamuk, pemenang hadiah Nobel sastra tahun 2006. Pengarang Turki kelahiran 7 Juni 1952 itu telah memesonanya melalui Snow, setebal 400-an halaman. Begitu hebatnya novel itu baginya, ketika menceritakan kembali, tampak ekspresi wajahnya yang bersinar-sinar. Dan saya yang mendengarnya seolah sedang berada pada guguran salju yang menghiasi awal maupun akhir novel itu.

            Ada apa sebenarnya dengan novel yang dibacanya itu sehingga Arya berencana untuk menerjemahkannya? Pertama mengenai gaya penceritaan yang luar biasa. Sang pengarang berperan sebagai narator, bahkan mengungkapkan bagaimana setiap gagasan dari novel itu menghampiri benak dan pikirannya ketika menulis Snow. Kedua, ada sejumlah novel asing yang diterjemahkan secara buruk, sehingga kehilangan pancaran makna dan keindahannya. Mengenai hal yang terakhir itu, Alfons Taryadi, pakar penerjemah, pernah mengeluhkan kondisi penerjemahan karya sastra asing di Indonesia.

            Dalam pengamatan sepintas, segmentasi novel lebih luas. Novel lebih banyak diminati di antara genre karya sastra yang terbit di Indonesia. Mengalahkan kumpulan cerpen, puisi, atau esai sastra. Barangkali karena novel lebih utuh mengusung cerita / kisah hidup dibanding cerpen; lebih universal disbanding puisi yang bersifat personal; lebih menghibur ketimbang esai sastra yang sarat analisis. Pertanda itu dapat ditengarai dari kecenderungan para penerbit yang agak membatasi kelahiran buku-buku antologi puisi. Maraknya novel-novel lokal (Indonesia) dan terjemahan (asing) menunjukkan reaksi atas kegairahan sambutan pembaca. Bagaimanapun penerbit berbeda dengan pengarang. Ia merupakan lembaga komersial yang berpijak pada perhitungan untung-rugi.

            Kini tak hanya penerbit besar semacam Gramedia Group (GPU, Grasindo, KPG) atau Mizan Group (Mizan, Bentang Pustaka, Qanita, Hikmah), Serambi, dan Grafiti saja yang berlomba memenuhi rak pamer toko buku di Indonesia dengan novel-novel terjemahan. Pertumbuhan penerbit indie mulai menyemarakkan dunia perbukuan, melengkapi novel-novel kelas best-seller dunia. Kita tahu, mereka yang baru dan giat adalah KataKita, Banana Publisher, Ufuk Press, Dastan, dan sejumlah besar yang berkembang di Yogyakarta maupun Bandung, patut kita puji usahanya yang serius itu.

            Seorang teman, Pakcik Ahmad, yang telah membaca novel Bayang-bayang Pohon Delima menyampaikan pujian kepada pengarangnya, Tariq Ali. Ia berharap, di tanah air juga tumbuh novel-novel dengan nuansa Islam yang berakar pada sejarah perkembangannya. Saya sarankan untuk segera menyambungnya dengan Sultan dari Palermo dari pengarang yang sama. Dalam hal ini novel telah menggugah semangat sekaligus menumbuhkan perasaan rindu terhadap karya-karya bernas pengarang Indonesia.

            Sebuah komunitas yang menamakan diri Klub Sastra (bernaung di bawah Bentang Pustaka dan keluarganya) menyelenggarakan diskusi buku sastra sekali setiap bulan. Sekitar 80% bahan bahasannya adalah novel, baik dari pengarang Indonesia maupun terjemahan. Setidaknya, hampir secara berturut-turut membicarakan Sang Pemimpi (Andrea Hirata), Tsotsi (Athol Fugard) The Heart is A Lonely Hunter (Carson McCullers), dan yang hendak berlangsung: The Remains of The Day (Kazuo Ishiguro). Mengapa bukan buku puisi atau esai? Seperti yang telah disampaikan di depan, jumlahnya kurang memadai dan belum tentu yang terbit adalah karya dengan daya pikat tinggi untuk dibicarakan.

            Beberapa hari lalu, di bawah langit malam Aceh yang cerah, di tengah hiruk-pikuk para penyantap makanan khas buatan kedai-kedai kakilima Rex, dalam ruap aroma kopi telur yang menyergap hidung, kami lagi-lagi membicarakan pesona sejumlah novel dunia. Banyak pengarang yang telah melahirkan karya-karya besar, seperti Umberto Eco (The Name of The Rose), Victor Hugo (Les Miserable), Boris Pasternak (Doctor Zhivago), Milan Kundera (The Unbearable Lightness of Being), Gabriel Garcia Marquez (One Hundred Years of Solitude), Arundhati Roy (The God of Small Things), Maxim Gorky (Ibunda), Haruki Murakami (Norwegian Wood), James Joyce (Ulysses), Alexander Solzhenitsyn (Gulag) dan sederet daftar panjang lagi.

            Apa sesungguhnya yang kita peroleh dari teks-teksberatitu? Lebih jauh lagi, apa yang membuat mereka (para pengarang itu) menuliskan berjuta kata untuk kita para pembaca? Buat para pengarang, saya kira, buku-buku itu bakal menjadi jejak yang sangat berharga. Sementara bagi pembacanya diharapkan menjadi salah satu sumber cahaya yang menambah luas pandangan dan memperkaya cara berpikir.

            Memang ada semacam keheranan, mengapa dari Indonesia belum tumbuh novel-novel yang terpampang anggun di perpustakaan dunia selain Pramoedya Ananta Toer. Apakah lokalitas Indonesia belum sungguh-sungguh menarik bagi pembaca dunia sehingga hanya segelintir saja yang beroleh tempat itu, salah satunya The Dancer (Ronggeng Dukuh Paruk) karya Ahmad Tohari? Apa yang membuat para pengarang asing, termasuk dari Afrika, unggul dalam mengolah gagasan dari sumber-sumber tradisi lokalitas menjadi novel-novel kelas dunia?

            Bagaimana Orhan Pamuk sanggup menggambarkan sebuah kota dalam novel gemilang berjudul Istanbul? Bagaimana Milan Kundera mengakhiri novelnya di tengah, dengan cara bertutur yang demikian datar seolah tanpa emosi, selebihnya adalah flashback yang membuat segalanya terjadi. Agaknya gaya telah menjadi sisi yang perlu digarap, setelah materi sudah bukan persoalan lagi bagi mereka. Untuk kerinduan pada estetika yang memiliki kandungan isi berkualitas itu ingin saya sandarkan ke pundak para pengarang muda Indonesia agar tak berhenti mengeksplorasi. Kepada siapa lagi kalau bukan Seno Gumira Ajidarma, Oka Rusmini, Taufik Ikram Jamil, Gus tf Sakai, Andrea Hirata, Eka Kurniawan, Abidah el-Khalieqi, Sitok Srengenge, AS Laksana, Hermawan Aksan, Lan Fang, Dianing Widya Yudhistira…. Ditunggu, ditunggu selalu.

(Kurnia Effendi, untuk Tabloid Parle edisi 85)

 

 

Friday, April 20, 2007

Anya, BungaMatahari, Nuansa Gothic

SEORANG gadis cantik umumnya menggemari segala hal yang lucu dan romantis. Saya merasa surprised sewaktu mengenal Gratiagusti Chananya Rompas, alumnus S2 Jurusan Sastra Gothic di jazirah Inggris setelah sebelumnya menamatkan Jurusan Sastra Inggris di Universitas Indonesia. Gadis ramah dengan panggilan akrab Anya ini ternyata penggemar cerita horor.

Aku gemar membaca sejak kecil dan ekstra antusias ketika membaca kisah-kisah gelap. Misalnya serial Drakula Cilik yang melibatkan tokoh-tokoh penyihir, hantu atau makhluk-makhluk ajaib dari antah-berantah. Salah satu episode Unyil yang paling membekas pun adalah ketika Unyil dan teman-temannya disandera seorang nenek sihir di hutan.” Demikian pengakuannya dalam bincang-bincang santai. “Dan aku suka sekali karya-karya Edgar Allan Poe.”

Tetapi, Anya justru menggagas milis komunitas penggemar puisi dengan nama BungaMatahari (BuMa). “Selera gelapku ini juga terbawa ke dalam urusan puisi.“ Ujarnya sambil tertawa. Ia dan teman-temannya biasa melakukan pertemuan bertajuk “Kebun Kata“ sebulan sekali di kafe-kafe,untuk saling membahas puisi yang mereka baca.

Komunitas BungaMatahari berulang tahun ketujuh pada 19 April 2007. Namun perayaannya akan berlangsung tanggal 28 April 2007. Rencananya hendak meluncurkan “Rumah Kata“ sebagai program baru. “Ini lebih kepada bagaimana mengolah puisi dalam bentuk karya yang dapat dipamerkan.“ Mungkin semacam puisi grafis, ya?

Ketika ditanya mengenai bacaan favorit, ia menjawab: “Seandainya aku hanya boleh meminta satu buku ketika terdampar di pulau terpencil, kemungkinan besar kupilih The Little Prince karya Antoine de Saint-Exupery.” Sementara, hobi lainnya adalah memasak. Ia sering menemukan rasa-rasa baru bagi lidahnya, sebagai wisata kuliner.

Anya anak bungsu dari 3 bersaudara, lahir di Jakarta 19 Agustus 1979. Almarhum ibunya yang mula-mula memperkenalkannya dengan bacaan dan Bahasa Inggris. Kini, sambil menunggu pekerjaan yang cocok, setiap Jumat petang Anya mengajar Bahasa Inggris untuk karyawan kantoran di kawasan Jl. Sudirman.

Selamat ulang tahun, BungaMatahari! Semoga selalu mencerahkan seperti surya bagi bumi.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

Retro Sastra Indonesia, Realisme Tahun 50-an

            Lampion Sastra Jumat 13 April 2007, Dewan Kesenian Jakarta mengangkat karya sastra realis tahun 50-an sebagai tema acara. Sejumlah pengarang yang sebagian besar telah menjadi almarhum, dibacakan cerpennya oleh dua pembaca andal: Iman Soleh dan Epi Kusnandar.

            Seperti biasa, para peminat acara ini adalah sekaligus penggemar bajigur yang menjadi sajian pengunjung. Zen Hae membuka dengan sedikit prakata, menjelaskan, bahwa sastrawan masa lalu yang diangkat karyanya senja itu, merupakan tonggak-tonggak kuat. Seperti misalnya Ali Akbar Navis, dikenal sebagai tukang cemooh nomor wahid melalui cerpen-cerpennya yang selalu mengandung sindiran tajam. Kali ini, sudah tentu, Robohnya Surau Kami yang hendak dibacakan.

            Demikianlah, agaknya tak hanya karya arsitektur atau musik saja yang mengenal istilah “retro”, untuk menengok masa lalu, Dewan Kesenian Jakarta sengaja bernostlgia dengan Pramoedya Ananta Toer (“Sunat”, diambil dari kumpulan cerpen Cerita dari Blora), Asrul Sani (“Dari Suatu Masa, dari Suatu Tempat”), Sitor Situmorang (“Salju di Paris”), Subagio Sastrowardoyo (“Kejantanan di Sumbing”), dan Utuy Tatang Sontani (“Lukisandiambil dari kumpulan cerpen Orang-Orang Sial).

            Sejumlah siswa SMA yang menyimak pembacaan cerpen A.A. Navis oleh Epi Kusnandar, beberapa kali tergelak. Selain pembacaannya komunikatif, cerpen itu sendiri berisi satir, tentang seorang ahli ibadat yang tak terelak dari siksa api neraka. Ternyata, mereka dianggap tak memiliki kesalehan sosial, secara pribadi mengharap surga, namun  membiarkan tetangganya tetap melarat dan kekayaan tanah airnya diambil bangsa lain.

            Sementara pembaca yang tak kalah menariknya, Iman Soleh (adik seniman grafis dan instalasi Tisna Sanjaya, dari Bandung), membacakan cerpen Pramoedya Ananta Toer.

            Terlepas dari nilai-nilai yang dikandungnya, menengok kembali jejak sastrawan masa lalu adalah sebuah pelajaran yang sangat berharga. Sayang sekali pengarangnya yang masih hidup, Sitor Situmorang, tidak dihadirkan. Barangkali akan semakin menarik perbincangan kita dengan diskusi yang langsung bersentuhan dengan kreatornya. Kita akan banyak menggali, selain proses kreatif, semangat untuk mengungkap persoalan kemanusiaan berlatar situasi pemerintahan di masa itu.

            Masing-masing pengarang yang diketengahkan kali ini memiliki kekuatan sindiran. Misalnya Utuy dengan Lukisan, merupakan sindiran tajam untuk gaya hidup pejabat di era revolusi.

            Menurut Zen Hae, Ketua Komite Sastra DKJ, acara ini menjadi langkah awal untuk “Program Retro Sastra Indonesia”. DKJ akan menampilkan pembacaan seplilihan karya sastra Indonesia yang cemerlang di masa lalu, dibagi menurut sepuluh tahunan (bukan angkatan). Selanjutnya mereka berharap, kegiatan seperti ini akan mampu meningkatkan hasrat dan minat masyarakat terhadap karya sastra klasik maupun kontemporer. Dan berjasalah Pusat Dokumentasi HB Jassin yang telah menyimpan karya-karya klasik itu.

(Kurnia Effendi)

 

 

P u i s i

APAKAH puisi sanggup mengubah pandangan atau pola pikir masyarakat? Pertanyaan klasik ini berulang kali diucapkan oleh orang-orang yang pesimis sekaligus oleh orang-orang yang optimis. Biasanya terdengar di kalangan mahasiswa yang sedang giat-giatnya mengekspresikan sikap anti terhadap pemerintah yang memaklumkan kebijakan baru. Acap kali kebijakan atau peraturan itu tidak sejalan dengan harapan rakyat, sementara DPR tidak menunjukkan suaranya sebagai aspirator.

            Golongan yang pesimis akan beranggapan puisi semata karya seni yang sekeras apa pun isinya, tidak akan menyentuhperasaanpemerintah yang sudah telanjur kebal. Sementara kaum yang optimis sangat percaya bahwa puisi memang bukan alat untuk melawan pemerintah. Dengan kata lain, sang pesimis maupun sang optimis memiliki pendapat yang sama, namun berposisi pada dua tempat yang berbeda.

            Tetapi, bukankah ada pepatah mengatakan bahwa pena lebih tajam dari ujung pedang? Meskipun tidak dalam bentuk puisi, kata-kata yang tersurat bila disusun oleh pikiran kritis dan dibaca oleh nalar yang sadar, setidaknya mampu mengubah pertimbangan seseorang atau kelompok. Pena yang tajam itu biasanya ditorehkan oleh tangan para jurnalis yang pandangannya luas dan pikirannya jauh terentang ke depan. Sementara para penyair, menyuarakannya dengan sedikit tersembunyi dalam metafor dan majas.

            Kita tentu ingat, bagaimana sastrawan Angkatan 66 telah membawa generasinya pada gaung yang panjang dengan puisi-puisi kritisnya. Di sana ada Taufiq Ismail dengan kumpulan Benteng dan Tirani. Di sana ada aroma perjuangan mahasiswa yang masih murni mengusung cita-cita mulia. Lantas pada periode berikutnya, ketika pemerintahan Soeharto mulai mencapai titik jenuh, Rendra mengumandangkan puisi-puisi pamflet yang lugas dan keras.

            Saat itu puisi menjadi semacamkompor”, yang sanggup memanaskan jiwa kaum militan untuk memberontak, melepaskan diri dari tekanan. Saat itu puisi seolah-olah mampu mengubah pendapat masyarakat. Bahkan jauh di masa lalu, Chairil Anwar telah mengobarkan semangat pejuang Indonesia hanya dengan kata: “Ayo Bung!” yang diterakan di atas poster lukisan Affandi.

            Mungkin karena perannya yang “terselubungitu, puisi menjadi cukup penting. Selain hidup dalam khazanah sastra, puisi juga tumbuh dalam kehidupan manusia sehari-hari. Siapa yang dalam sepanjang hidupnya tidak pernah menulis puisi? Rasanya hampir setiap orang, walau sekali seumur hidup, pernah menulis puisi. Dalam buku harian, atau untuk keperluan yang lebih luas. Mengapa demikian? Tentu disebabkan puisi merupakan medium yang sifatnya personal dan efektif untuk mengekspresikan suara hati. Oleh karena itu, seseorang yang sedang jatuh cinta atau patah hati, akan demikianpiawaimenulis puisi danmendadak menjadi penyair”.

            Jadi, andaikata puisi tetap terpelihara di halaman-halaman sastra surat kabar maupun majalah, karena masih ada yang menulis dan membacanya. Sifatnya yang multi tafsir, menyimpan pelbagai makna, membuat puisi patut disimpan untuk sewaktu-waktu dibaca ulang. Siapa tahu, suatu saat, memiliki arti yang berbeda. Dalam siklus tertentu, kalimatHanya satu kata: lawan!” yang ditulis oleh Widji Thukul akan kembali relevan, terutama ketika ada tekanan-tekanan terhadap rakyat. Sementara bait-bait Sapardi Djoko Damono dalam puisi berjudulAku Ingintetap abadi untuk dipinjam oleh para pecinta.

            Kini, ketika banyak medium untuk mencurahkan perasaan melalui puisi, setiap orang boleh menjadipenyairhanya berbekal keberanian menyampaikan karyanya. Melalui media maya, internet, tumbuh komunitas mailing list para penggemar puisi, seperti Cyber Sastra, BungaMatahari, Komunitas Penyair, Fordisastra, dan banyak lagi. Bahkan sejumlah penulis puisi tidak lagi mengharapkan kemurahan hati para penerbit untuk mengulurkan tangan menjemput karya mereka yang berhamburan, karena zaman sudah memudahkan seseorang merilis karyanya sendiri. Diterima atau tidak puisi-puisi itu di jagat sastra, waktu dan pembaca yang akan menentukan.

            Baru-baru ini diresmikan lembaga pelatihan penulisan puisi, semacam bengkel dengan metoda lokakarya, di Banten. Dalam komunitas ini sudah disiapkan para pembimbing yang terdiri dari penyair lokal dan Jakarta. Ini pertanda bahwa puisi tak  akan mati, justru sebaliknya berkembang dengan baik. Penulisan puisi yang terus merebak ini ada baiknya diimbangi dengan pembacaan yang memadai. Mungkin sebagian besar puisi ditulis dengan kontemplasi tinggi yang melahirkan suasana renungan, suasana kamar. Tapi bukan berarti puisi-puisi dengan kedalaman eksplorasi itu tak merdu dibaca dengan suara lantang, bukan sekadar dibisikkan.

            Dulu ada seni deklamasi yang mengharapkan pembacanya hafal dengan larik-larik puisinya. Kini tidak musim lagi pembacaan tanpa teks yang nadanya terdengar stereotip, sehingga sulit dibedakan antara satu tema dengan tema lainnya. Poetry Reading kemudian lebih populer, apalagi beberapa penyair menulis puisi begitu panjang, sehingga sangat sulit untuk diucapkan di luar kepala. Sekitar tahun 90-an, lomba baca puisi marak di mana-mana, di sekolah, kampus, maupun lembaga-lembaga kebudayaan.

            Dewan Kesenian Jakarta, memang tetap memelihara tradisi pembacaan puisi dengan menghadirkan para penyair daerah, sebagai pertunjukan. Beberapa stasiun radio juga menyediakan waktunya, minimal sekali dalam seminggu, untuk pembacaan puisi, meskipun dikemas dalam acara yang lebih universal. Dalam acara tersebut, yang dibahas bukan puisinya, melainkan problema cinta seseorang (curahan hati pendengar) yang dihiasi dengan ilustrasi puisi sesuai temanya.

            Kembali pada pertanyaan awal, apakah puisi sanggup mengubah cara pandang masyarakat? Sebaiknya saya katakan: ya. Meskipun tidak secara serta-merta seperti doktrin. Boleh kita ingat kembali film Dead Poet Society yang dimainkan oleh Robin Williams dan Ethan Hawke. Dalam film itu, puisi telah menjadi ruh dari kegiatan belajar-mengajar, yang lebih memanusiakan cara berpikir seseorang. Puisi telah memberikan sentuhan humaniora. Puisi mungkin mampu menghaluskan rasa. Puisi mungkin menjadi selapis moral bagi perilaku kita.

(Kurnia Effendi, untuk Parle edisi 84)