Eksotisme Lokal sebagai Kekuatan Novel
EKSOTISME selalu menjadi daya tarik tersendiri untuk dinikmati (dilihat, dirasakan, dihayati), juga untuk digarap. Kita acapkali memandang dengan nilai lebih pada karya-karya seni yang mengusung unsur eksotisme. Umumnya, unsur-unsur unik seperti itu menjadi kekuatan yang ditonjolkan oleh para kreator di jalur indie (independent). Sebagai contoh, untuk Indonesia, karya-karya film Garin Nugroho—Puisi yang Tak Terkuburkan dan Opera Jawa—adalah film-film dengan nuansa eksotisme. Demikian pula dengan sastra, yang kerap disebut sebagai induk dari film dan seni peran, akan memiliki posisi tersendiri ketika mengangkat nilai-nilai eksotisme. Lalu, apakah eksotisme itu?
Boleh jadi saya keliru memaknai eksotisme, karena jika sepintas dilihat dalam kamus, berarti sesuatu yang datang dari luar negeri, istimewa, ganjil, asing. Dengan pengertian lain, sebaliknya, orang asing (luar
Ketika kita menyaksikan ritual sekte voo-doo atau upacara-upacara suku Indian dalam film Amerika, terasa ada nuansa unik karena perilaku ganjil yang disuguhkan. Begitu sebaliknya, upacara Ngaben di Bali menjadi kegiatan yang sangat menarik bagi turis mancanegara. Namun, justru oleh keanekaragaman budaya suku-suku di
Saya kira, novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira dapat diposisikan sebagai karya sastra yang mengandung unsur eksotisme. Seperti halnya trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya masterpiece Ahmad Tohari, Sintren juga menggali realitas yang terjadi di tengah masyarakat Jawa Tengah (dalam hal ini Batang, tanah kelahiran pengarangnya) dengan mengambil tradisi yang paling menarik perhatian. Melalui novel Sintren, Widya seperti hendak menunjukkan kepada kita, bahwa pernah ada sejarah animisme dalam kehidupan masyarakat Nusantara di masa lalu. Karena Sintren (seperti juga Ronggeng, Tayub, Reog, Debus, Cokek, dan sejenisnya) tidak semata dikendalikan oleh kekuatan manusia biasa. Di
Melalui novel ini, Widya tidak hendak membuat disertasi mengenai sintren sebagai subkultur di tanah kelahirannya. Aroma cinta justru lebih kuat menghiasi seluruh kisah yang sangat khas dengan kehidupan pedesaan. Widya menggarap cerita dengan banyak tokoh yang masing-masing memiliki karakter, yang dengan mudah kita temui di wilayah pemukiman pesisir, yang penduduknya rata-rata miskin. Dengan tokoh utama Saraswati yang masih duduk di Sekolah Dasar di awal cerita, yang dipandang sebagai perawan cantik oleh ukuran mata Juragan Wargo dan hendak dilamar untuk Kirman, anaknya semata wayang, menjadi simpul dari untaian kisah panjang yang mengetengahkan friksi antartetangga.
Cerita ini hidup karena seluruh kejadian berjalan sangat wajar, perpindahan adegannya mengalir dalam urutan waktu. Pembaca seperti terlibat di antara mereka, mendengar langsung naik-turunnya emosi para tokoh yang “dipermainkan” oleh setiap kejadian. Hanya dengan “mendengar”
Hanya dengan pengalaman atau riset yang memadai, novel ini dapat menghadirkan dunia sintren dengan baik. Widya mampu merepresentasikan tradisi itu dengan sejumlah romantisme melalui penyajian yang komunikatif. Kesederhanaan ungkapan Widya justru memberi ruh pada novel ini, dengan tidak lupa mempertahankan idiom-idiom khas orang desa yang tentu akan bergeser makna jika dialihbahasakan. Namun yang terpenting dari novel ini adalah tidak memberikan pendapat mengenai baik-buruk manusia, apalagi yang terkait dengan agama. Antara dunia wadag dan alam halus berlangsung dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika Saraswati menjadi sintren yang tersohor dan tercium seorang wartawan, Yudha, yang gandrung berlarut-larut pada pesona kecantikan dan keluwesannya.
Dalam novel Sintren, Widya menggambarkan takdir seorang perempuan (Saraswati) dengan begitu kompleks. Cita-citanya untuk sekolah tinggi nyaris kandas ketika orangtuanya menerima lamaran pemuda kaya, yang sesungguhnya hanya didasari hasrat orang tua (dalam hal ini Juragan Wargo dan Surti). Kedengkian tetangga telah membatalkan perkawinan itu. Sementara “tangan” nasib lain menangkapnya menjadi calon sintren, dan seterusnya, sampai pada kehidupan perkawinannya yang membuat para suaminya meninggal. Di pengujung kisah, jika boleh diungkap di sini, peristiwa kematian Saraswati cukup menjelaskan bahwa dunia magis pun tak luput dari kehendak Tuhan.
***
KEMBALI kepada unsur eksotisme, saya menganggap kekuatan novel ini justru pada keberaniannya mengangkat subkultur sebagai perilaku masyarakat yang mungkin saat ini mulai tidak populer. Ketika para pengarang lain beramai-ramai menggagas dunia hedonisme dengan latar perkotaan yang lebih mencuatkan perilaku seks pada tokoh-tokohnya, Widya menggiring kita ke wilayah yang kini teralienasi.
Boleh jadi, sebentar lagi sintren, dan sejumlah kesenian tradisonal lainnya lambat-laun akan punah. Tanpa jejak seperti yang dipetakan oleh Widya, kita bakal kehilangan kandungan nilai yang justru pada awalnya menjadi kekayaan Nusantara. Semakin lenyap suara peradaban lokal (digilas oleh arus globalisasi yang ditandai dengan teknologi informasi), akan semakin langka, dan justru itu semakin terasa eksotis ketika kita mencoba mengangkatnya kembali.
Persoalannya, selalu ada pertentangan yang terjadi menyangkut perbedaan prinsip antara agama (khususnya Islam) dengan seni tradisional yang kerap mengandung ritual yang menghubungkan manusia dengan jin. Kekuatan-kekuatan tak tampak ini sejak nenek-moyang kita memang telah menjadi sandaran yang diandalkan dalam pelbagai kegiatan kehidupan. Oleh karena itu pula, menurut riwayatnya, masuknya Islam ke tanah Jawa pun yang dibawa oleh Walisongo disisipkan melalui seni-seni tradisi, satu di antaranya seni pertunjukan wayang kulit. Risalah Islam pun melebur dalam tembang-tembang Jawa yang dianggap lebih mudah diserap sebagai nilai kehidupan.
Bagaimana cara mempertahankan sebuah budaya tanpa membawa serta unsur ritualnya memang memiliki kesulitan tersendiri. Kebetulan pula, kesenian tradisi pada sejumlah daerah di Nusantara ini lebih menonjolkan gerakan tubuh. Dari gerakan ini lahir erotisme, yang bermuara pada semacam “ekstase” yang ditandai dengan memuncaknya hasrat lelaki terhadap objek yang disaksikannya. Hal itu terjadi dalam kesenian ronggeng, tayuban, jaipong, dan tentu saja sintren. Bahkan, ada yang hanya mendengar suaranya saja, seorang lelaki bisa jatuh terpedaya, misalnya ketika kesengsem dengan alunan cengkok tembang seorang sinden. Dampak ini yang pasti akan berbenturan dengan nilai-nilai relijius dalam agama apa pun, terutama Islam. Kiranya ini akan menjadi tugas berat para budayawan untuk mencari jalan tengahnya.
Dalam novel Sintren, Widya menggambarkan bagaimana proses menjadi sintren itu berlangsung. Setidaknya buku ini memberikan literasi penting bagi pembaca dari wilayah budaya yang berbeda. Cerita yang bermula dari cerpen (ditulis tahun 1998, dan menjadi nominasi lomba cerpen nasional yang diselenggarakan oleh Diknas dan Creatif Writing Institute beberapa tahun berikutnya) ini dikembangkan karena ada endapan memori dalam benak Widya. Sebagai pengarang, ia pernah mewawancara sintren dan orang-orang yang dekat dengan dunia itu. Sebelum menjadi buku, novel ini pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Republika.
Terus terang saya iri, sebagai sesama orang Jawa, tapi tidak memiliki penghayatan yang cukup untuk menulis karya yang menjunjung arus tradisi pada batang-tubuhnya. Padahal masa kecil saya habis di Yogya, Tegal, dan Semarang, wilayah yang kaya dengan unsur tradisi, unsur eksotisme. Terima kasih untuk Dianing Widya Yudhistira yang telah memperkaya sekaligus menggugah pikiran kreatif saya. ***
(Kurnia Effendi. Ditulis untuk acara launching novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira di Perpustakaan Daerah Banten, 24 Maret 2007)