Perilaku manusia di dunia, seperti yang pernah diperkirakan oleh malaikat, lebih dominan membuat kerusakan. Bumi hijau ranum yang dihadiahkan Tuhan kepada umat manusia keturunan Adam sebagai satu-satunya planet yang dapat dihuni oleh kehidupan para makhluk, justru menjadi bulan-bulanan (bukan bumi-bumian). Eksplorasi tak kunjung usai, sejak untuk kemanfaatan sampai demi kerakusan manusia.
“Aku Mahatahu,” itulah firman Tuhan saat malaikat mengajukan ‘protes’ atas rencana-Nya menurunkan manusia ke Bumi. Dengan keseimbangan harapan bahwa tugas manusia di Bumi adalah menjadi wakil Tuhan, sebagai khalifah, agaknya telah memperpanjang usia jagat raya sampai detik ini. Sampai hari kemudian.
Untuk memelihara keseimbangan itu, tarik-menarik yang menyisakan usia entah sampai kapan, pasti ada semacam energi positif. Bahkan ada sedikit unsur mistik (bukan animisme, melainkan sesuatu yang gaib dan abstrak), misalnya: sepanjang azan masih berkumandang pada tiap waktu salat, dunia ini bertambah usia. Apa pun yang melatarbelakangi hal itu, saya pribadi sangat percaya bahwa hal-hal baik selalu akan menetralisir hal-hal buruk.
Dengan kata lain, energi positif akan selalu memudarkan energi negatif. Warna putih jika dituang terus menerus ke dalam warna hitam, lambat-laun akan berubah abu-abu. Percaya atau tidak, sebaiknya kita praktikkan saja. Mari kita awali setiap hari dengan tersenyum.
”Halo!” Sebetulnya tidak harus dengan kata ’halo’. Boleh dengan ’hai’ atau yang lebih indah, ’asalamualaikum’. Apa pun bahasanya, sesuai dengan tempat kita berpijak, sepanjang bermakna sapaan yang ramah dan tulus, akan menyembuhkan seribu penyakit hati. Ah, ini istilah saya saja, agar terdengar puitis. Namun saya teringat akan pendapat seseorang bahwa tersenyum itu sebaiknya tidak melulu akibat dari stimulan yang menyenangkan, tetapi justru sebagai pencipta kegembiraan. Jadi, tersenyumlah untuk mencairkan suasana yang murung. Tersenyumlah untuk mewarnai dunia ini menjadi gilang-gemilang.
Sapaan ramah itu alangkah indahnya bila dilanjutkan dengan menanyakan kabar lalu mendoakan agar kita (yang menyapa dan disapa) selalu dianugerahi kesehatan. Ternyata, sehat itu paling penting dari semua urusan. Mungkin karena semua yang kita lakukan dan kita rasakan menjadi buruk jika kita sakit. Sehat juga ternyata mahal setelah tahu tarif rumah sakit dan harga obat sering tak terjangkau oleh isi dompet kita.
Energi positif yang kita embuskan, percayalah, akan mengembalikan berkali-lipat kemanfaatan yang oleh kita sering disadari sebagai keajaiban. Jadi, janganlah merasa sayang atau pelit untuk menyapa anggota keluarga, tetangga kanan dan kiri, orang-orang yang berpapasan dengan langkah kita, teman sejawat di kantor, dan siapa pun yang jaraknya tak sampai satu meter dari kita.
”Tolong.” Perintah seberat apa pun ketika diawali dengan kata ’tolong’, serasa menjadi sebuah kelembutan yang meningkatkan derajat orang yang kita repotkan. Coba kita rasakan bedanya memaknai perintah atasan yang langsung menyuruh: ”Kef, siapkan laporan survei kemarin dalam lima belas menit ya!” dengan ”Kef, tolong bantu saya menyiapkan laporan survei kemarin. Akan sangat menyenangkan bila selesai sebelum lima belas menit.”
Apa reaksi saya untuk kedua permintaan itu? Tentu akan lebih memberi energi positif cara kedua dibanding cara pertama. Power atau kekuasaan tak perlu ditunjukkan dengan kencangnya suara, ketusnya nada ucapan, atau tajamnya kalimat. Keduanya bermakna sama, menyuruh-nyuruh juga, tetapi bakal diterima dengan perasaan berbeda. Perintah pertama akan membuat saya blingsatan dan mengerjakan tanpa rasa tulus, di bawah tekanan, dan ada bekas sakit hati yang berjejak. Sementara perintah yang kedua akan dilaksanakan penuh semangat, karena ada empati yang lebih dulu dibalurkan pada cara memintanya. Bos kita butuh bantuan, itu yang terasa untuk permintaan dengan kata ‘tolong’, bukan sedang ‘menyiksa’ kita.
Kata ‘tolong’ mengandung energi positif yang mengalir dengan efektif. Membuat yang diberi tugas terdorong lebih semangat dan merasa memiliki peran. Sama sekali jauh dari kesan ’pecundang’. Nah, sesungguhnya kita acap ”menyuruh-nyuruh” Tuhan melalui doa yang kita panjatkan. ”Ya Tuhan, ampuni dosa saya. Berikan saya kesehatan. Curahkan kepada saya rizki...” Memang, permintaan tolong yang paling tanpa batas hanyalah kepada Tuhan, meskipun kita sering tak paham saat Tuhan tidak mengabulkan permohonan kita.
”Maaf.” Begitu indah dunia dan kehidupan saat setiap orang mudah meminta maaf. Kesalahan tidak selalu kita sadari karena tidak setiap perilaku buruk dan tak menyenangkan itu direncanakan. Perilaku aneh-aneh yang terbit dari sifat egois kita kerap muncul di jalan raya (bagi yang hidup di kota). Oleh kepentingan pribadi kadang-kadang kita tega mengesampingkan prioritas orang lain. Jadi, apa salahnya jika menjadikan ucapan ’maaf’ sebagai refleks lidah dan mulut?
Kita masuk berlawanan arah dalam sebuah gang sempit. misalnya. Segeralah mengambil tindakan mengalah, karena itu jauh mempercepat selesainya masalah ketimbang kita menilai siapa yang salah. Lantas, setelah kita bersimpangan, ucapkan ’maaf’ meskipun kita tahu dia yang melanggar. Tidak disampaikan dalam nada sindiran, tetapi keluarkanlah dengan nafas ketulusan. Mungkin bagi orang yang beradab akan membuat dirinya malu, tetapi bukan itu tujuan kita. Dengan mengucap ’maaf’, kita telah terbebas dari jalinan rasa tak nyaman yang sempat sengkarut.
Energi maaf, yang disemburatkan melalui pintu hati yang terbuka lebar, sekaligus membuat kita terlepas dari beban. Mendadak menjadi lega. Apakah dengan kata ’maaf’ berarti kita bersalah? Belum tentu. Ungkapan maaf lebih bermakna silaturahmi untuk saling membersihkan hati. Dengan kenyamanan orang lain otomatis kita bakal menerima dampaknya yang lebih manis.
”Terima kasih.” Mungkin inilah puncak dari kenikmatan hidup; yakni ketika kita sanggup mensyukuri semua yang kita terima. Bayangkan, sejak membuka mata dinihari, kita sudah dilimpahi kenikmatan oksigen yang kita hidup, sinar matahari yang membuat segala benda mudah terlihat, hawa yang membuat tubuh kita nyaman. Semua itu gratis dari Tuhan.
Kita juga wajib berterima kasih kepada sang Pencipta lantaran bisa bangun kembali dari tidur dengan semua organ tubuh berfungsi baik: otak, jantung, paru-paru, ginjal, persendian, pancaindra, dan semuanya. Bagi yang tidak sempurna, pasti memiliki kebahagiaanya yang lain. Dengan menyadari itu semua, tak pantas kita menyia-nyiakan semua fasilitas dengan mengisi hidup ini tanpa manfaat.
Sebagai manusia, apalagi yang merasa berjasa kepada lainnya, didambakannya diam-diam ucapan terima kasih dari orang lain. ”Boro-boro membayar, terima kasih saja tidak.” Kita sering mendengar keluhan atau umpatan semacam itu. Itu terlontar karena ketika memberikan bantuan dan jasa tidak menggunakan ilmu ikhlas. Maka, ketika penerimaannya tidak sesuai dengan ekspektasi, yang muncul adalah rasa sesal. Padahal ketulusan justru akan menolong kita dari beban yang tak penting. Dengan keingina dibalas budi. kita jadi sibuk mengingat-ingat sesuatu yang lantas tergerus pahalanya. Mungkin yang lebih tepat adalah: pamrihlah kepada Tuhan. Sebab, Tuhan memang tempat meminta yang tak pernah kehabisan stok.
Tuhan saja ’senang’ dipanjatkan alhamdulillah, apalagi sesorang yang dihargai dengan ucapan terima kasih. Boleh jadi, jasanya hanya kecil. Sebagai contoh, ia hanya memberi sedikit tempat dalam kabin lift yang penuh, kita wajib menyampaikan terima kasih. Apalagi jika dia telah menolong kita terbebas dari bencana dahsyat (tentu banyak contohnya), rasanya tak akan cukup kita sampaikan terima kasih berulang-ulang setiap hari. Penting diketahui, ucapan terima kasih yang wajar tanpa harus membuat orang itu sungkan dan salah tingkah, akan memekarkan dadanya. Itu artinya, sebuah energi positif sedang kita tuangkan untuk mengganti sel-sel rusak menjadi gumpalan semangat baru.
Dengan terima kasih yang kita dermakan, orang-orang akan semakin ringan tangan membantu kita. Apa artinya? Mulai dari sapaan ramah, permintaan tolong yang sopan, ungkapan maaf atas ketidaknyamanan orang lain, dan rasa terima kasih yang mendalam, membuat hidup ini indah tanpa harus menghiasinya dengan dekorasi yang mahal. ***
* Kurnia Effendi, Ketua Asosiasi Penulis Cerita (ANITA)