Tuesday, September 23, 2008

100 Tahun Salim

Perjalanan Pelukis Indonesia di Paris

 

Apakah Salim seorang pelukis Indonesia? Dengan yakin dapat dijawab: ya! Jawaban itu boleh disebabkan oleh tempat kelahirannya. Tanggal 3 September 1908, Salim dilahirkan oleh orang tua asli Indonesia di dekat kota Medan. Fakta lain yang mendukung keindonesiaannya adalah ia beberapa kali pulang ke tanah air. Hal paling penting, pada 1931, ia bersama Mohammad Hatta bergabung dalam Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Sebelumnya, Salim bertemu dengan Bung Hatta dan Bung Syahrir di Amsterdam (1929), yang membangkitkan semangatnya untuk perjuangan Indonesia.

Cukupkah itu sebagai penanda keindonesiaan Salim? Meski dengan pernyataan heroik yang (mungkin) ditulis oleh Magdalena dalam sebuah album di sudut pameran lukisan 100 Tahun Salim di Galeri Nasional Jakarta:

Warga Negara Indonesia yang berjuang sendirian… di pusat seni lukis dunia,

Paris, walaupun tak pernah pulang ke tanah air namun tetap Indonesia

Sejumlah sahabat, termasuk dosen sastra semacam Toety Heraty dan Ajip Rosidi, yakin benar, bahwa Salim sangat Indonesia. Dan di bawah ini adalah petikan surat ringkas Affandi (pelukis maestro Indonesia) kepada Yasir, sahabatnya:

Apa yang akan saya tulis ini kepada Sdr Yasir ialah pengalaman saya di Aris

 tahun 1950. ini adalah pertama kali saya menginjak Paris. Langsung saya

 kepingin sekali ketemu Sdr. Salim pelukisa Indonesia yang ada di Paris dan

 belum pernah pulang ke Indonesia. Begitu saya ketemu saya kaget luar dugaan

 dan merasa bahagia. Apa sebab? Saya kira tadinya, Sdr Salim dalam seninya

(beraliran)  Barat. Betul-betul tidak. Dia tetap timur Indonesia. Dalam garis-

garisnya saya  lihat inti-inti batik, yang zoodanis verwerk menjadi khas

pribadinya. Linier sekali  drawingnya. Inilah pendapat saya, Affandi, 1983

            Surat di atas melegitimasi bahwa Salim adalah pelukis Indonesia. Karya-karyanya tetap bernapaskan Indonesia, meskipun obyeknya (tentu saja) banyak mengambil lanskap di wilayah Eropa. Terutama Paris. Ada beberapa mengambil lokasi Belgia, Spanyol (Catalugna/Catalonia).

            Salim ikut ke Eropa bersama orang tua asuhnya yang berkebangsaan Jerman pada usia 12 tahun, setelah ayahnya meninggal. Itulah awal mula hidupnya di luar tanah air. Ia sekolah di sana, ketika Indonesia sedang gemuruh menyiapkan putra-putra muda untuk melahirkan sebuah republik. Namun di usia 20 tahun ia ingin mandiri dan memutuskan garis hidupnya sendiri untuk menjadi pelukis. Jalan itu yang kemudian ditempuhnya.

            Salim muda menggelandang di Paris, kota pusat seni budaya dunia masa itu. Ia berulang kali belajar kepada para pelukis melalui sejumlah atelier (studio kerja), sampai akhirnya di tahun 1929 magang di Academie Fernand Leger sebagai pembantu umum tanpa dibayar. Fernand Leger adalah seorang pelukis Prancis yang cuku tersohor saat itu. Kesempatan belajar bagi Salim sangat terbuka, meskipun secara pribadi Salim tidak menyukai aliran lukisan Leger. Oleh karenanya, gaya lukisan Salim sama sekali tak terpengaruh “guru”-nya. Di tempat itu ia mengenal teknik melukis dan pelbagai macam kecenderungan seni lukis dapat terakses untuk mengisi batin dan pikirannya.

            Kehidupan Paris memperkenalkan kepadanya tradisi minum kopi di kedai-kedai tepi jalan. Dari sana pula kemudian Salim mengenal sastra, melalui seorang teman berkebangsaan Belanda. Untuk perkara sastra, Ajip Rosidi menilai positif. Menurutnya, Salim adalah pembaca sastra serius. Demikianlah, Salim hidup dalam kekayaan rasa seni, rupa dan sastra. Ia mulai mempelajari karya dan teknik para pelukis hebat yang hidup dan berkembang di Eropa. Di antaranya Picasso dan Monet.

            Seperti dikatakan oleh Toety Heraty, sahabatnya, tahun 2008 memang seabad para pembuat sejarah. Selain Kebangkitan Nasional, ada dua tokoh lain di luar Salim. Mereka adalah Sutan Takdir Alisyahbana dan Affandi. Seabad terbitnya pencerahan, pemikiran baru, dan ikon yang seharusnya menjadi pemicu semangat untuk membangun kembali Indonesia dari kerapuhan sendi-sendi kebangsaan oleh krisis segala bidang, terutama moral.

            Salim memang dianggap “tak pernah pulang” ke Indonesia. Ketika Hatta dan Syahrir diasingkan ke Boven Digoel oleh Hindia Belanda, Salim justru kembali ke Eropa dan meneruskan cita-citanya menjadi pelukis. Ia berpendapat, lebih baik mati kelaparan di kota pusat seni dunia ketimbang tertekan hidup dalam negeri jajahan. Sempat tujuh tahun hidup di Belanda dengan jaminan, namun setelah Indonesia merdeka, Salim kembali ke Paris. Trisno Soemardjo, sastrawan dan pelukis, menganggap istilah ‘nasional’ terlalu banyak memperoleh bunyi politis. Jadi nasionalisme Salim perlu pula dikaji dari latar belakang kerohaniannya.

            Perjalanan Salim sangat panjang. Di negeri orang ia bekerja pada studio desain tekstil, desain grafis, sampai akhirnya menjadi pelukis berkelas internasional yang dikagumi. Pameran tunggalnya yang pertama berlangsung di Sete, kota di Prancis Selatan (1948). Lalu berturut-turut di Amsterdam (1949), Paris (1951), dan Jakarta (1951). Pada tahun 1956, Salim berpameran tunggal di Geneva, Jakarta, dan Bandung. Di Bandung itulah Salim bertemu dengan generasi muda Seni Rupa ITB, seperti AD Pirous dan But Mochtar. Ia didaulat untuk memberikan ceramah di sana.

            Menurut catatan AD Pirous, diskusinya yang bersejarah di Galeri Soemardja dihadiri juga oleh Ries Mulder. Di tengah pergunjingan tentang mazhab Bandung yang kebarat-baratan, ajakan Salim untuk menghangatkan isi pada karya lukis Indonesia sangat menggugah. Jangan tenggelam pada pengunggulan teknik saja, katanya. Walaupun Salim bermukim di Paris, ia mencipta dengan nalar yang lebih terbuka.

            Salim menawarkan penyederhanaan bentuk dengan garis-garis liris dan puitis. Mencipta ruan-ruang arsitektural. Menyemburatkan perasaan damai, suara batin yang senilai dengan napas religius, pada lukisan gereja maupun masjid. Itulah pandangan Pirous tentang lukisan Salim.

Pelukis Salim melanjutkan pameran tunggalnya ke beberapa negara, seperti Belgia dan Jepang. Sebelum pameran peringatan 100 tahun ini, Salim menggelar lukisannya di Galeri Cemara Jakarta, dibuka oleh Ajip Rosidi (2005). Pamerannya kali ini menyertakan sejumlah pelukis muda yang mengapresiasi dan berpendapat tentang Salim dalam berbagai ekspresi ungkapan rupa. “Siapa Salim” itulah tajuk untuk memberi ruang kaum muda. Mereka antara lain: Eddie Harra, Syahrizal Pahlevi, Bibiana Lee, Indra Gunadharma, Helmut Huang, Nurhidayat, dll.

Salim yang tampan dan gagah dan tetap eksis sebagai maestro pelukis Indonesia berkelas dunia tak dapat diabaikan dalam perjalanan seni lukis Indonesia.

(Kurnia Effendi)

  

 

           

 

 

 

Monday, September 22, 2008

Adakah Ramadan Memengaruhi Kejujuran Parlemen?

Berada dalam bulan Ramadan, diharapkan ada perubahan menuju perbaikan di segala bidang. Masjid bertambah jamaah. Kaum muslimin yang biasanya diam di rumah atau terlalu larut dalam pekerjaan kantor, kini menjadi pengunjung mushola. Mereka meramaikan suasana bulan puasa. Secara psikologis dan sosiologis, ini merupakan perubahan yang mengharukana. Perubahan yang menunjukkan bahwa orang-orang (dalam hal ini kaum muslimin) memiliki kesadaran untuk menghormati dan terlibat kegiatan ritual.

Mengapa perubahan itu terasa signifikan? Tentu karena terlihat secara fisik. Orang-orang berduyun ke masjid di waktu subuh dan maghrib, atau salat berjamaah di kantor, memperlihatkan kepada mata kita sebuah gerakan massa. Di balik semua itu, masih muncul pertanyaan: apakah serta-merta hati dan pikiran kaum muslimin juga berubah menuju kebaikan?

Kualitas pekerjaan fisik akan menurun, karena secara logika kondisi kebugaran orang berpuasa berbeda dengan hari-hari biasa. Selain menahan lapar dan dahaga, umumnya jam tidur berkurang. Tetapi, setiap individu yang bekerja terkait dengan berbagai pihak tetap dituntut bertanggungjawab sesuai wewenang yang diembannya. Bagaimana dengan anggota parlemen—yang di luar bulan Ramadan sering tampak ketiduran dalam ruang sidang—menjalankan tugas harian?

Sesungguhnya segala yang didasari niat baik pasti akan menghasilkan nilai pekerjaan yang baik. Bulan Ramadan menjadi kesempatan pembelajaran yang tepat untuk kebaikan kinerja yang dimulai oleh niat baik. Andaikata kelemahan fisik cukup memengaruhi hasil kerja, mungkin perlu disiasati dengan kekuatan body-set (kebalikan dari mind-set). Gerakan aktif tubuh kita akan memancing seluruh energi perasaan (mood) untuk mengikuti aliran semangat bekerja.

Ketika akhir-akhir ini seluruh jajaran departemen dalam pemerintahan Indonesia masuk ke dalam kondisi buruk karena tindakan korupsi para pejabatnya, apakah pekerjaannya dapat dinilai dengan baik dan benar? Pejabat pada departemen ”basah” dan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) memang rawan dengan godaan harta, tahta, dan wanita. Dengan warisan budaya KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme) yang terbangun sejak ”imperium” Orde Baru, sangat sulit melepaskan diri dari perilaku korupsi kolektif. Bila seseorang hendak berbuat bersih, ia mirip ”pahlawan kesiangan” yang terasing dari lingkungannya. Itu yang terjadi di kalangan eksekutif.

Eksekutif bekerja dengan pengawasan lembaga yang setara, yakni legislatif. Sayangnya, anggota legislatif kita telah terkontaminasi praktik KKN. Bukan satu-dua orang, tetapi nyaris merata ke seluruh sendi-sendi. Bahkan di dalamnya terlibat kepentingan partai yang diwakili suaranya. Dalam hal ini, sekelompok rakyat yang merasa telah memilihnya dengan kepercayaan penuh, pasti akan kecewa. Namun kekecewaan itu baru akan usai dalam lima tahun ke depan, sesuai dengan jatah masa jabatan yang berlaku.

Bagaimana kiranya jika sang pengawas yang bertugas memonitor kinerja para eksekutif justru main tawar-menawar dengan pihak yang diawasi? Contoh paling akhir adalah terkuaknya kasus pembagian uang milyaran untuk anggota DPR seiring dengan pemilihan pejabat tinggi Bank Indonesia beberapa tahun lalu. Partai dengan suara mayoritas terserempet, bahkan mengaku menerima bagian. Sementara sang eksekutif masih berputar-putar untuk berkilah.

Dapat disimpulkan bahwa kursi panas jabatan strategis selalu ada ”kontrak” politik yang dinilai dengan uang dan fasilitas. Pada saat praktik itu terjadi, masihkah anggota DPR berjuang untuk kesejahteraan rakyat yang diwakilinya dan konsisten dengan misinya itu? Boleh jadi mereka akan berdalih, bahwa upayanya untuk mencapai tempat itu, harus ”membeli” suara. Kharismatik yang diciptakan melalui kedermawanan palsu itu memang mengandung pamrih. Ada hitung-hitungan matematik serupa berniaga. Investasi yang ditanam harus kembali dalam waktu memangku jabatan. Bahkan ada yang serakah sehingga ingin lebih cepat kembali dan masih dapat untung.

Apakah mereka salah? Lepas dari urusan moral, mungkin dapat dianggap tidak keliru dalam pandangan bisnis. Persoalannya, bagaimana yang telah sama-sama menginvestasikan harta dan tenaga untuk berkompetisi menuju kursi parlemen namun kalah? Dari mana dia memperoleh modalnya kembali? Seperti pemain judi, kekalahan itu akan menimbulkan semacam dendam, sehingga menghalalkan segala cara untuk menjatuhkan lawan yang sedang berada di kursi jabatan. Atau ditempuh dengan cara lain, melalui perjanjian politik.

Katakanlah, sang legislator menangkap eksekutor korup untuk diadili sesuai dengan kesalahannya. Muncul persoalan baru. Lembaga yang harus menegakkan keadilan dalam sebuah negara dan pemerintahan, ternyata dapat juga ”dibeli”. Lengkap sudah ”lingkaran setan” saling mencari keuntungan yang ujung-ujungnya hanya membuat negara ini bangkrut. Percaya atau tidak, rakyat sudah hampir putus asa melihat dan mendengar perilaku buruk para pejabat dan politisi yang hanya bermain kepentingan pribadi atau partainya sendiri.

Pada bulan Ramadan ini, mungkin waktu terbaik untuk melangsungkan dua hal penting yang menjadi masalah krusial di negeri ini. Penegakan keadilan dan memulai langkah baru untuk menembalikan kehormatan parlemen. Apa pun perkaranya, besar atau kecil, yang nyata-nyata merugikan rakyat dan negara, sebaiknya diproses saat ini. Rakyat ingin tahu, apakah antara mulut dan hati masih berbeda suara? Inilah saatnya kebenaran menjadi panglima dan keadilan menjadi prioritas.

Demikian juga dengan memilih calon legislatif, calon petinggi negara, calon pemimpin pemerintah daerah; masihkah hendak melakukan ”transaksi” yang menipu rakyat di bulan suci ini? Karena Ramadan memberi jalan rahmat kepada semua umat (tidak semata kaum muslimin), rakyat boleh berharap untuk sekali lagi percaya pada tangan-tangan bersih yang akan melakukan tindakan politik demi kesejahteraan, keadilan, dan kemajuan bersama. Kepada para politisi, rakyat berharap penuh agar mereka meluruskan niat, menjaga kebersihan batin dan pikiran, untuk menyelenggarakan ipoleksosbud (ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya) Indonesia dengan sebaik-baiknya. Jangan takut untuk merasa terasing karena menjalankan kebenaran.

Pengakuan para anggota DPR dan gerakan mengembalikan ”uang panas” yang pernah diterimanya dalam rangka ”proyek” pemilihan pejabat atau dalih-dalih lain yang bersifat politis merupakan langkah terpuji. Rasa malu kepada Tuhan di bulan Ramadan ini patut dijadikan momentum untuk membersihkan diri secara sungguh-sungguh, bukan semata ”cuci tangan” untuk menghindar dari tanggung jawab publik. Rakyat sebagai pemilik ”suara Tuhan” akan menjadi saksi.

Kini Ramadan memasuki pekan terakhir. Dalam pelbagai karikatur di surat kabar tampak ada semacam ”kesinisan”, bahwa mereka yang sempat meredam perilaku ugal-ugalan hendak bernapas lega kembali. ”Belenggu” untuk berbuat baik dan lurus akan segera lewat, maka kontrol diri bakal terlepas. Mudah-mudahan, untuk sekali lagi berharap, pencucian diri di bulan Ramadan memang sampai ke hati nurani.

(Kurnia Effendi)

 

Thursday, September 18, 2008

Cut Mini sebagai Ibu Muslimah

Belum selesai demam buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, tak lama lagi filmnya akan beredar di seluruh negeri sejak akhir September 2008. Film Laskar Pelangi akan dipertunjukkan pertama kali untuk wartawan pada tanggal 25 September 2008 di EX-Teater, Plaza Indonesia.

Siapa yang menjadi tokoh sentral dalam film untuk semua umur itu? Tentu Ibu Muslimah, guru 10 anak SD Muhammadiyah Desa Gantung, Belitong. Anak-anak itulah, terutama Harun, sebagai murid ke-10, menjadi penyelamat keberadaan sekolah yang bangunannya nyaris roboh itu. Ibu Muslimah yang mengajar dengan penuh kasih sayang walau dengan gaji 15 kg beras sebulan, telah memukau Ikal (tokoh Andrea Hirata dalam novel) untuk menuliskan pengalamannya sebagai persembahan khusus.

Pertanyaan berikutnya, siapa pemeran Ibu Muslimah dalam film Laskar Pelangi? Ini dia: Cut Mini! Melalui seleksi  casting, akhirnya Cut Mini berhasil terpilih menjadi Ibu Muslimahpalsu”, demikian istilah yang dipergunakan oleh adik Cut Rizki Theo ini. Kepiawaian berdialek Melayu itu barangkali salah satu faktor “keberuntungan”-nya.

Debut Cut Mini sebelumnya dalam film Arisan! (2002) garapan Nia Dinata, dilanjutkan dengan mini-seri Arisan! untuk televisi. Ia yang dikenal sangat cerewet, suka becanda, dan lincah dalam bergerak, agak jauh dari gambaran Ibu Muslimah sebagai pendidik yang tampaknya sangat serius. Film Tri Mas Getir adalah salah satu contoh cerita komedi paling baru yang pas dibintanginya.

”Bagaimana perasaan anda ketika harus memerankan Ibu Muslimah?” tanya seorang peserta diskusi ketika Cut Mini dihadirkan dalam peluncuran buku Laskar Pelangi The Phenomenon beberapa hari lalu.

”Bagaimana, ya? Ibu Muslimah itu seorang guru yang saat ini dicintai oleh banyak guru di Indonesia. Ia menjadi sosok teladan. Sementara saya lebih dikenal sebagai komedian. Ya, pertama saya berterima kasih telah dipercaya untuk memerankannya. Kedua, ada beban sangat berat untuk mewakili sosoknya dalam film itu. Alhamdulillah saya dapat menjalaninya.”

Cut Mini mengaku baru bertemu secara resmi dengan Ibu Muslimah di Belitong pada hari keempat shooting. Tentu sebelumnya dia harus banyak meraba-raba. Membaca skenario sampai 10 kali untuk menghayati perannya. ”Tetapi saya pernah melihat senyum Ibu Muslimah yang manis dan tulus waktu kesempatan uji kamera. Saat itu saya sudah mengenakan pakaian bergaya Ibu Muslimah.”

Bagi Cut Mini, ini film yang sangat mengesankan. Selain diangkat dari sebuah novel memoar yang bagus dan laris (telah terjual hampir sejuta copy), film ini digarap oleh sutradara Riri Riza dengan produser Mira Lesmana. Ketika hadir dalam acara selamatan menjelang shooting, Cut  Mini terbata-bata dan air matanya meleleh saat mendapat giliran bicara. ”Mungkin spirit Ibu Mus telah masuk ke dalam jiwa saya. Sungguh saya rindu, ingin segera menemui anak-anak saya di Belitong...” demikian ujarnya.

”Adakah scene paling sulit yang dialami oleh Cut Mini?” seorang audiens lain bertanya.

Dengan mantap dan pasti, Cut Mini menjawab: ”Ada. Scene 68!”

Rupanya scene itu merupakan adegan ketika ada seorang guru hendak pamit untuk mendapatkan penghasilan lebih besar di luar Muhammadiyah. Adegan yang dimulai dari dalam kelas sampai keluar kelas itu sangat menguras emosi. Dalam latihan sudah bagus, namun ketika pengambilan gambar, tak seorang pun yang mendapatkan feel-nya. Scene itu diulang sampai 3-4 kali.

”Setiap saya baca jadwal dari asisten sutradara, ada pengambilan gambar untuk scene 68, sudah grogi duluan. Apalagi ketika diminta mengenakan baju kebaya biru, ada semacam trauma, karena akan mengalami acting paling sulit.” Cut Mini mengaku.

Cut Mini lahir 30 Desember 1973. Film terbarunya, Kawin Kontrak, baru saja selesai berproses. Sebentar lagi akan sibuk dengan kegiatan promosi di berbagai kota, tentu sebagai ”Ibu Muslimah”, bersama peredaran film Laskar Pelangi.

”Jadi saya belum punya rencana lain dalam waktu dekat ini. Satu per satu diselesaikan dulu,” ujarnya mengakhiri percakapan.

(Kurnia Effendi)

 

Tuesday, September 16, 2008

The Enterprise, Tempat Melahirkan Gagasan

Untuk mendapatkan ide hebat, baik seorang awam maupun pekerja seni, bisa di mana saja. Bedanya, barangkali, seorang awam akan berusaha lebih gigih untuk memperoleh inspirasi. Ia akan berpikir keras, mengumpulkan seluruh referensi yang pernah diserap, kemudian melahirkannya kembali dalam bentuk yang berbeda. Sementara bagi pemilik talenta seni, seolah-olah ilham datang sendiri. Kepekaan daya tangkapnya lebih tinggi lantaran ada proses latihan yang setengah disadari telah menabung insprasi dari hari ke hari. Ada kuntinuitas yang berjalan seiring bakat dan minat.

Bagaimana dengan Yori Antar? Ia seorang arsitek, seperti banyak arsitek lain di Indonesia dan dunia, bekerja memadukan antara seni dan teknik. Pendidikannya mengajarkan tentang konstruksi, perhitungan, gaya, fisika, pengetahuan bahan (materi), yang hampir semua bersifat teknikal. Perancangan dengan rumus angka-angka dan fakta kekuatan jenis material, sifat-sifat bahan, yang digabung menjadi semacam rekacipta. Seorang arsitek belajar memahami konsep ruang (skala, dimensi, batas, bentuk) untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikologi sekelompok manusia.

Dalam sebuah gerakan yang mengakhiri masa-masa klasik (barok, art deco, art neuvo, dsb), muncul era modern yang salah satu penggiatnya adalah Charles Jenks. Pada masa itu, akhir abad 20, dikenal desain dengan “bentuk mengikuti fungsi”. Ini semacam desain terapan yang menghamba kepada kebutuhan operasional manusia, baik untuk individu maupun keperluan kolektif.

Bentuk yang mengikuti fungsi akan sangat efisien. Semua desain didasari konsep yang sederhana, karena bertumpu pada ergonomikal tubuh manusia. Kursi berfungsi untuk duduk. Dari kegiatan duduk itu terukurlah dimensi yang paling membuat seseorang nyaman. Ukuran umum panjang tungkai, lipatan lutut, lebar pantat, posisi punggung, dan fleksibilitas yang memadai untuk semua gerakan orang duduk. Standar itu diaplikasikan dengan bahan tertentu, kaku atau elastis, dengan derajat kemiringan tertentu, selesai sudah. Hasilnya adalah sebuah desain “tidak kurang tidak lebih” dengan tujuan nyaman digunakan. Bentuknya akan menyesuaikan fungsinya.

Untuk konsep yang lebih meruang, sedikit lebih unik dan kadang-kadang justru melahirkan bentuk desain yang menakjubkan. Dinding yang berfungsi ganda, tangga yang multiguna (misalnya ruang di bawah tangga dapat dimanfaatkan untuk lemari). Sudut yang terbentuk oleh fungsi ruang di sebaliknya, dan seterusnya.

Perkembangan dari era modern adalah post modern (pasca modern), ketika semua elemen diacak. Dalam penggunaan bahan tidak lagi tabu mencampur antara yang kaku dan lembut, yang klasik dan yang baru, atau dengan sengaja menabrak sistem, sehingga logam dan keramik dapat bertukar fungsi. Post modern tak hanya melanda dunia arsitektur, karena pada dasarnya gerakan seni selalu meliputi semua cecabangnya: grafis, fashion, musik, patung, dan audio-visual. Seni instalasi adalah salah satu anak kandung dari post modern, seperti halnya puisi bebas yang menghalalkan bentuk di luar aksara.

Kini lahir aliran minimalis, sebagai jawaban dari kebosanan manusia (terutama para kreator) terhadap hal-hal yang serba memuja. Pemujaan terhadap bentuk dan warna, juga terhadap asas awal tentang “bentuk mengikuti fungsi”. Minimalis, dari maknanya sudah menjurus pada simplisiti: penyederhanaan bentuk. Oleh karena bentuk sangat sederhana (misalnya meja hanya berupa kubus yang terbuat dari kayu atau logam berongga), kepiawaian seorang pekerja finishing menjadi taruhan. Sebuah meja yang tidak “neko-neko” akan sangat biasa terletak dalam sebuah ruang, sehingga perlu ada tambahan nilai. Martabat itu terletak pada proses kerja yang baik dan akurat, sehingga sambungan yang sudah sangat gampang akan tabu bila tampak tak rapi. Biasanya akan diakhiri dengan polesan natural yang memperlihatkan karakter bahan. Apabila terbuat dari kayu, serat-serat itu akan dibiarkan hadir dipandang mata. Jika meja itu terbuat dari serat gelas, maka cat yang menjadi selaput terakhir harus luar biasa halus. Kemahiran ini, pada akhirnya menjadi tanggung jawab seorang ahli kriya dalam workshop.

Pada tanggal 10 Agustus 2008, Yori Antar membuka kantor barunya di bilangan Puri Bintaro, Sektor 9. Tepatnya di Jalan Palem Puri. Menempati areal yang tak sampai satu hektar, tanah berkontur naik-turun itu diolah menjadi sebuah bangunan yang estetik sekaligus memenuhi semua fungsi yang dibutuhkan.

Dalam presentasinya, Yori mengatakan bahwa The Enterprise dibangun untuk memberikan daya gugah bagi yang bekerja di dalamnya demi mendapat inspirasi. “Ini tempat untuk melahirkan gagasan.”. Bangunan yang memadukan antara teknologi dan unsur alam (air, udara, tanah, dan tumbuhan), mengharmonikan bentuk-bentuk geometris dasar (segi empat, segi tiga, lingkaran) itu, dibuat selama 15 bulan, sejak Januari 2007.

Sang kontraktor, Johanes Triprihandoko, sebagai owner “Hanny dan Rekan” telah mewujudkan impian Yori Antar dengan hasil presisi sekaligus bagus.  “Semua garis, bentuk, pertemuan sudut harus memilik alasan desain yang bertanggung jawab,” ujarnya. Ia mengaku bangga dapat menyelesaikan proyek obsesi Yori Antar itu. “Tingkat kesulitannya luar biasa. Kami diskusi sangat intens dan selalu ada pengembangan di lapangan.” Hanny, panggilan akrabnya, terlibat dalam proyek ini sejak pembelian tanah, pengurusan IMB, sampai membangun lengkap dengan interior dan furniturnya.

”The Enterprise ini adalah kantor arsitek Han Awal dan Rekan,” kata Yori Antar. Ia memang mempersembahkan karyanya ini untuk sang ayah, Han Awal, arsitek tersohor tahun 60-an, pencipta bangunan Universitas Atmajaya. Dalam gubahan massa The Enterprise, terhimpun studio gambar (ruang kerja yang inspiratif), galeri, perpustakaan, ruang alat, gezebo untuk rehat kreatif, taman atap, kolam renang, foyer, kolam ikan, ruang presentasi, ruang temu klien, ruang makan, dapur terbuka. Dan tentu saja ruang kerja Han Awal dan Yori Antar yang dari jendelanya dapat memandang hampir seluruh wajah bangunan yang berbentuk U.

Bicara tentang Yori Antar sebenarnya membincang tentang reputasi. Arsitek muda alumnus Universitas Indonesia angkatan 82 itu telah banyak memberi sumbangan pemikiran dan konsep bagi banyak pengembangan hunian dan kawasan yang semula terlantar. Beberapa proyek yang telah digarap di antaranya merupakan hasil sayembara. Misalnya Kota Bawah di Manado, Monumen Maluku untuk simbol perdamaian, Rumah Kupang (pelestarian budaya), dan sejumlah bangunan yang berkarakter.

The Enterprise, sebagai tempat untuk melahirkan gagasan, memang tak membosankan untuk dipandang. Bagi yang bekerja di sana, barangkali benar-benar tak akan kehabisan inspirasi. Materi desain yang berasal dari pelbagai sumber: Bali, Yogya, Bandung, dan Kalimantan, tentu merupakan perpaduan yang akan membawa aura positif. Sesuai yang dikatakan oleh Hanny, semua dibikin dan diwujudkan untuk sebuah alasan kenyamanan dan ikon arsitektural yang ramah lingkungan.

(Kurnia Effendi)